Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

Hukum Seputar Haidh & Nifas (2)

KEBOLEHAN DALAM KEADAAN HAID DAN NIFAS :
Adapun perkara yang dibolehkan bagi wanita yang dalam keadaan haid dan nifas adalah sebagai berikut :
1. Berdzikir kepada Allah Ta'ala dan berdo'a kepadaNya. Hal ini diterangkan demikian oleh para Ulama' antara lain Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta'ala :
“Tidak pernah ada hadits yang menyatakan larangan terhadap wanita yang sedang berhaidl untuk berdzikir dan berdo'a. Bahkan adanya hadits yang menyatakan perintah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepada para wanita yang sedang berhaidl untuk keluar ke lapangan di hari raya Ied, sehingga mereka bertakbir bersama kaum Muslimin. Juga beliau sallallahu alaihi wa aalihi wasallam memerintahkan kepada mereka untuk tetap melaksanakan segenap manasik haji kecuali thawaf di seputar ka'bah sehingga merekapun bersama jama'ah haji yang lainnya ikut mengucapkan lafadl talbiah (yang mengandung lafadl dzikir –pent). Demikian pula beliau memerintahkan mereka untuk melaksanakan segenap manasik haji di Muzdalifah dan di Mina serta tempat-tempat lain dari tempat tempat suci dari pelaksanaan manasik haji (yang ditempat-tempat tersebut para jama'ah haji banyak melafadlkan dzikir dan do'a –pent)”. Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 21 halaman 460.
Beberapa riwayat yang diberitakan oleh Syeikhul Islam tersebut di atas adalah sebagai berikut ini :
a. Riwayat Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 971 dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 890 dan riwayat Abu Dawud dalam Sunannya hadits ke 1138 : “Dari Ummi Athiyyah telah menyatakan : Kami diperintah di zaman Rasulillah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam untuk mengeluarkan para wanita ke lapangan pada hari raya (yakni Iedul Fitri dan Iedul Adlha) sehingga kami mengeluarkan para perawan dari rumah tinggalnya juga kami mengeluarkan para wanita yang sedang haidl sehingga mereka tinggal di belakang shaf sehingga mereka bertakbir menirukan kaum Muslimin bertakbir dan mereka berdo'a bersama do'anya kaum Muslimin dimana mereka mengharapkan untuk mendapatkan barakah dan kesucian pada hari itu”.
b. Riwayat Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1650 dari A'isyah Ummul Mu'minin radhiyallahu anha beliau memberitakan : “Aku telah sampai di Makkah dalam perjalanan haji dari Al Madinah An Nabawiyah bersama Rasulillah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dalam keadaan aku belum thawaf di ka'bah dan juga belum sa'ie antara Shafa dan Marwa. Maka akupun mengadukan hal ini kepada Rasulillah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, maka beliaupun bersabda : Kerjakanlah segala manasik haji, hanya saja jangan kamu thawaf di ka'bah sehingga engkau bersuci dari haidlmu”.
2. Membaca Al Qur'an dan memegang mushaf Al Qur'an, hal ini sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hazem dalam Al Muhallanya jilid 1 halaman 94 – 99 :
“Dan membaca Al Qur'an serta sujud dalam membaca ayat-ayat sajdah (yakni sujud tilawah –pent) dan menyentuh mushaf Al Qur'an dan berdzikir kepada Allah Ta'ala adalah boleh. Semua itu boleh dilakukan dengan berwudlu' terlebih dahulu ataupun tidak berwudlu. Dilakukan oleh orang yang dalam keadaan junub ataupun wanita yang sedang dalam keadaan berhaidl, juga boleh. Keterangan yang menunjukkan kesimpulan demikian itu ialah, bahwa pada asalnya menurut hukum Syari'ah : membaca Al Qur'an dan sujud bagi Allah ketika melewati ayat sajdah dan menyentuh Al Qur'an serta berdzikir kepada Allah Ta'ala adalah amalan-amalan yang baik serta disunnahkan untuk mengamalkannya dan diberi pahala bagi mereka yang mengamalkannya. Maka barangsiapa yang beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah terlarang dalam keadaan-keadaan tertentu, dia harus mendatangkan dalil yang menerangkan tentang terlarangnya perbuatan yang demikian”.
3. Bermesrahan dengan suami. Maka seluruh tubuh istri yang dalam keadaan haidl atau nifas itu adalah halal untuk dinikmati oleh suami, kecuali qubul (lubang kemaluan depan) dan dubur (lubang kemaluan belakang). Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang hukum suami yang bermesrahan dengan istrinya ketika istrinya dalam keadaan haidl / nifas :
(tulis haditsnya dalam Sunan Abi Dawud jilid 2 halaman 256 nomor hadits 2165)
“Perbuatlah segala sesuatu terhadap istrimu kecuali berhubungan seks”. HR. Abi Dawud dalam Sunannya hadits ke 2165.
4. Melakukan berbagai aktifitas yang baik, selain perkara-perkara yang terlarang atas wanita yang dalam keadaan haidl / nifas. (lihat berbagai larangan atas wanita yang haidl dan nifas dalam SALAFY edisi 03 / th ke 5 / 1425 H / 2004 M, halaman 67 – 69).

AMALAN YANG DIANJURKAN DALAM KEADAAN HAIDH DAN NIFAS

Para wanita yang dalam keadaan haidl dan nifas dilarang menunaikan shalat, padahal shalat itu adalah penghubung antara hamba dengan Allah Ta'ala. Sehingga dalam keadaan demikian sangat dikuatirkan para wanita mengalami kekosongan rohani sehingga mudah ditunggangi syaithan untuk berbuat berbagai kejahatan dan pelanggaran agama. Oleh karena itu para Imam Ahlis Sunnah Wal Jama'ah menganjurkan para wanita yang dalam keadaan haidl dan nifas untuk beribadah dengan beberapa amalan ibadah selain shalat. Anjuran-anjuran itu adalah sebagai berikut :
  1. Diriwayatkan oleh Al Imam Abdur Razaq bin Hammam As Shan'ani dalam Mushannafnya jilid 1 halaman 319 riwayat ke 1222, bahwa Ibnu Juraij menceritakan : “Aku pernah bertanya kepada Atha' : Apakah wanita yang haidl itu diperintahkan untuk berwudlu' pada setiap masuknya waktu shalat yang lima kemudian duduk untuk di tempat shalatnya guna mengucapkan takbir dan berdzikir kepada Allah sesaat ? Atha' menjawab : belum pernah ada yang sampai kepadaku satu riwayatpun yang menganjurkan demikian, meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang baik, sedangkan Ma'mar menyatakan bahwa telah sampai kepadaku riwayat bahwa wanita yang haidl dianjurkan untuk berbuat demikian pada setiap masuk waktu shalat yang lima”.
  2. Diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi dalam Sunannya jilid 1 halaman 231 – 232 dari Muhammad bin Yusuf, beliau menceritakan bahwa Yahya bin Ayyub telah berkata : Aku mendengar Al Hakam bin Utbah berkata : “Mereka para Shahabat Nabi sangat senang bila wanita yang dalam keadaan haidl, untuk berwudlu' seperti wudlu'nya untuk shalat, kemudian bertasbih mensucikan nama Allah (yakni mengucapkan lafadlsubhanallah –pent) dan bertakbir (ya'ni mengucapkan lafadl Allahuakbar –pent) pada seiap masuk waktu shalat yang lima”.
Ad Darimi meriwayatkan pula (di halaman 232) dari Abdullah bin Yazid, beliau menceritakan bahwa Said bin Abi Ayyub menceritakan bahwa Khalid bin Yazid As Shadafi memberitakan dari bapaknya yang menceritakan bahwa Uqbah bin Amir Al Juhani memerintahkan kepada wanita yang haid pada setiap masuk waktu shalat yang wajib untuk berwudlu' dan duduk di tempat shalatnya (di rumahnya) kemudian berdzikir kepada Allah dan bertasbih mensucikan Allah.

MASA HAIDL DAN NIFAS YANG NORMAL :
Dalam pembahasan tentang hukum haidl dan nifas, dibicarakan juga tentang masalah berama lama masa haidl dan nifas. Yakni minimalnya berapa lama dan maksimalnya berapa lama. Tentang masalah ini para Ulama' dari kalangan Salafus Shaleh menerangkan demikian :
  1. Al Imam Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi rahimahullah dalam Al Hawi Al Kabir jilid 1 halaman 482 menerangkan : “Bila warna darah yang keluar dar kemaluan wanita itu berwarna merah kehitam-hitaman dan masa keluarnya minimal sehari semalam dan maksimal tidak lebih dari lima belas hari, maka yang demikian ini dinamakan haidl. Tetapi bila masa keluarnya darah itu kurang dari sehari semalam, maka tidak dinamakan haidl tetapi diistilahkan dengan darah yang rusak. Dan bila masa keluarnya darah itu lebih dari lima belas hari maka yang demikian itu dinamakan istihadlah dan bukan haidl”.
  2. Al Imam Abil Qasim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdil Karim Ar Rafi'ie Al Qazwaini Asy Syafi'ie rahimahullah dalam Asy Syarhul Kabier jilid 1 halaman 311 menerangkan : “Bila seorang wanita berhaidl dalam masa yang minimal yaitu sehari semalam, maka gugurlah kewajiban shalatnya. Dan kebiasaannya keumuman wanita masa haidlnya ialah enam atau tujuh hari. Dalam hal ini telah diriwayatkan bahwa Hamnah bintu Jahsyi telah menceritakan : Aku pernah keluar darah haidl dengan sangat deras. Maka akupun minta fatwa dari Rasulillah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang apa yang aku alami ini. Maka beliaupun bersabda : Engkau jalanilah masa haidlmu sebagaimana ketentuannya ada dalam ilmu Allah, yaitu enam atau tujuh hari. Kemudian mandilah setelah itu. Maka bila engkau telah melihat bahwa dirimu telah suci dari haidl, maka shalatlah selama dua puluh empat hari (dalam sebulan), atau dua puluh tiga hari (dalam sebulan), dan berpuasalah dan shalatlah pada hari-hari yang suci dari haidl itu. Yang demikian itu adalah amalan yang kamu akan dibalas dengan pahala Allah Ta'ala”.
  3. Al Imam Al Hafidl Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al Kufi Al Abbasi rahimahullah dalam Mushannafnya jilid 4 halaman 188 telah membawakan riwayat dari Waki' bin Al Jarrah bahwa beliau mendengar riwayat dari Ismail bin Abi Khalid yang mengatakan bahwa beliau mendengar riwayat dari Amir bin Syarahil As Sya'bi yang menceritakan : “Telah datang seorang wanita meminta fatwa kepada Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib, dia melaporkan bahwa dia telah dicerai oleh suaminya dan dia mengaku bahwa dia telah berhaidl dalam sebulan sebanyak tiga kali dan telah bersuci dari setiap haidl itu dengan menjalankan shalat pada masa bersuci itu. Maka berkatalah Ali kepada Syuraih (beliu adalah menjabat sebagai qadli / hakim pada Mahkamah Syari'ah di masa Ali bin Thalib -pent) : Katakan pendapatmu tentang masalah wanita ini. Maka berkatalah Syuraih : Apabila dia membawakan saksi dari keluarga terdekatnya yang pengamalan agamanya baik serta terpercaya, yang mereka menyaksikan bahwa wanita ini memang telah berhaidl dalam sebulan tiga kali dan telah bersuci pada setiap selesai berhaidl itu dan mengerjakan shalat pada setiap masa suci dari haidl itu, maka dengan persaksian mereka yang membenarkan pernyataan wanita ini, berarti dia benar dengan pernyataannya. Dan kalau dia tidak dapat mendatangkan saksi yang demikian, berarti dia dusta. Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan tentang jawaban Syuraih ini : Ya, benar kau”.
Syaikh Shaleh bin Fauzan Al Fauzan hafidlahullah menjelaskan pengertian riwayat ini dalam kitab karya beliau berjudul Asy Syarhul Mukhtashar Ala Matni Zadil Mustaqni' jilid 1 halaman 250 sebagai berikut : “Dan keterangannya ialah, bahwa wanita tersebut berhaidl sehari semalam, kemudian bersuci tiga belas hari, kemudian haidl lagi sehari semalam, kemudian bersuci selama tiga belas hari berikutnya, yang berarti dua puluh delapan hari, kemudian haidl lagi yang ketiga pada hari ke dua puluh sembilan selama sehari semalam, sehingga lengkaplah masa iddahnya selama tiga kali haid dan tiga kali suci dalam masa sebulan”.
Syeikh Shaleh bin Fauzan Al Fauzan dengan riwayat ini meyakini bahwa batas minimal masa haidl itu adalah sehari semalam.
  1. Al Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'ied bin Hazem Al Andalusi rahimahullah telah menerangkan dalam Al Muhalla bil Atsar jilid 1 halaman 405 : “Dan masa haidl itu adalah ketika darah haidl itu telah keluar. Maka bila wanita itu telah melihat darah berwarna merah kehitam-hitaman keluar dari kemaluannya, dia harus meninggalkan shalat dan meninggalkan puasa serta haram atas suaminya untuk berhubungan seks dengannya. Maka bila wanita itu melihat darah berwarna merah segar atau berwarna seperti air bekas mencuci daging, atau melihat cairan kuning atau berwarna keruh atau cairan berwarna putih atau bahkan kering samasekali, maka berarti wanita itu telah suci dari haidl dan segera mandi atau bertayammum kalau dia dari orang yang dibolehkan tayammum, kemudian mengerjakan shalat dan puasa Ramadhan dan digauli oleh suaminya. Dan demikian selamanya sehingga dia melihat kembali keluarnya darah berwarna kehitam-hitaman dari kemaluannya, yang demikian dia masuk kembali kepada masa haidl. Namun bila dia melihat darah dengan warna yang lainnya, maka dia berarti telah suci dari haidl itu dan dianggap sah putusan cerai yang dijatuhkan oleh suaminya. Maka bila terus berlangsung keluarnya darah berwarna kehitam-hitaman sampai tujuh belas hari maka yang demikian ini dinamakan masa haidl. Tetapi bila darah yang demikian itu kurang dari sehari atau lebih banyak dari tujuh belas hari maka ia tidak dinamakan haidl”.
Al Imam Ibnu Hazem kemudian menjelaskankan alasannya, mengapa beliau meyakini bahwa batas maksimal masa haidl itu adalah tujubelas hari :
“Dan tidak ada penetapan dari Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tentang batas maksimal masa haidl. Oleh karena itu adalah suatu kemestian untuk kita berpegang dengan berita tentang berapa lama maksimal wanita menjalani masa haidl. Dan kita tidak mendapati berita tentang ini kecuali berita bahwa batas maksimal masa haidl itu adalah tuju belas hari”. Kemudian beliau membawakan riwayat bahwa Abdurrahman bin Mahdi memberitakan bahwa orang yang terpercaya bagi beliau telah memberitahu beliau bahwa masa haidl itu adalah tujubelas hari. Juga diberitakan bahwa para wanita keluarga Majisun menjalani masa haidl maksimal selama tuju belas hari.
  1. Tentang masa nifas bagi wanita yang sehabis melahirkan anak, keumuman wanita menjalani masa nifasnya selama empat puluh hari. Pendapat yang demikian berdasarkan riwayat keterangan Ummu Salamah Ummul Mu'minin radhiyallahu anha yang menyatakan bahwa para wanita di zaman para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam menjalani masa nifasnya selama empat puluh hari, dimana mereka di masa tersebut meninggalkan shalat dan puasa serta dilarang untuk berhubungan seks dengan suaminya. Keterangan Ummu Salamah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya hadits ke 311 dan Tirmidzi dalam Sunannya hadits ke 139, Ibnu Majah dalam Sunannya hadits ke 848, Musnad Imam Ahmad jilid 6 halaman 300, 304, 309, 310, Al Hakim dalam Mustadraknya jilid 1 halaman 175. Al Hakim menshahihkan hadits ini dan penshahihan beliau disepakati oleh Adz Dzahabi. Al Khatthabi dalam Ma'alimus Sunan menyatakan : “Al Bukhari telah memuji hadits ini. Adapun sekelompok ahli fiqih yang melemahkan hadits ini, maka pendapat mereka tertolak dengan kenyataan shahihnya hadits ini. Namun ada juga wanita yang menjalani masa nifasnya lebih dari empat puluh hari atau kurang dari masa tersebut. Maka ukurannya ialah selama keluar dari kemaluan wanita itu darah yang sifatnya sama dengan darah haidl, maka selama keluarnya darah yang demikian itu, wanita dilarang shalat dan puasa serta dilarang pula berjima' dengan suaminya. Demikian diterangkan oleh Ibnu Hazam dalam Muhallanya jilid 1 halaman 413 – 415.
KESIMPULAN DAN PENUTUP :
Demikianlah keterangan para Ulama' yang bila disimpulkan adalah sebagai berikut :
  1. Batas minimal masa haidl itu adalah sehari semalam, dan batas maksimal keluarnya darah haidl itu adalah tuju belas hari. Sehingga bila ada darah yang menyerupai warna darah haidl keluar dari kemaluan wanita dalam masa kurang dari sehari semalam atau lebih dari tujuh belas hari, berarti itu bukan darah haidl. Sehingga tidak dihukumi sebagai keadaan haidl. Oleh karena itu harus bersuci dan kemudian menunaikan shalat dan berpuasa di bulan Ramadhan.
  2. Batas maksimal masa nifas adalah tidak diketahui batasnya, sehingga wanita dalam masa nifasnya meninggalkan shalat dan puasa serta tidak berhubungan seks dengan suaminya, selama melihat keluarnya darah yang sifatnya seperti darah haidl dari kemaluannya.
  3. Wanita yang dalam keadaan haidl dan nifas semestinya tidak mengurangi kegiatan dzikir dan do'anya serta membaca Al Qur'an serta hadir di majlis ilmu yang di luar masjid. Walaupun di masa itu wanita dilarang shalat dan berpuasa dan duduk di masjid.
Wallahu a'lamu bis shawab.

Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar