Powered By Blogger

Rabu, 02 Februari 2011

Meniti Jejak Generasi Terbaik

Dalam pembahasan yang lalu, “Melacak Jejak Generasi Terbaik”, telah dijelaskan bahwa para Shahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in adalah para pendahulu kaum Muslimin yang telah dijamin kebaikannya oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam. Baik secara ilmiah maupun amaliah. Hal ini merupakan sebesar-besar keutamaan yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di dunia. Keutamaan tersebut berkat ilmu yang mereka warisi dari sebaik-baik manusia, serta keberhasilan mereka dalam mendampingi ilmunya dengan pengamalan yang benar.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka sudah sepatutnya bagi kaum Muslimin untuk meniti jejak para pendahulunya yang shalih dan menyerupai mereka dalam kebaikan. Ini merupakan satu-satunya jalan untuk memecahkan segala problem yang menimpa kaum Muslimin dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam Malik rahimahullah (guru Imam Syafi’i):
لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها
“Tidak akan menjadi baik nasib akhir umat ini, melainkan dengan apa yang telah memperbaiki nasib generasi awalnya.” (Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kama Rawaaha ‘anhu Jabir radhiyallahu ‘anhu 1/103)
Tiada lain yang memperbaiki nasib para pendahulu kaum Muslimin pada generasi pertama adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Sebelum datangnya Islam, para Shahabat dalam keadaan terpecah belah, saling menyerang antara satu dengan yang lainnya karena semangat kesukuan dan fanatisme golongan. Darah dan kehormatan begitu murah, sehingga dengan mudah terjadi pembunuhan dan kehormatan dilecehkan. Namun setelah datangnya Islam dan keimanan telah menghujam dalam hati mereka, maka keadaan berbalik kondusif. Para Shahabat bersatu di atas Islam dan Iman, persaudaraan mereka tidaklah dibatasi dengan kesukuan ataupun golongan. Solidaritas jahiliyah yang selama ini mengikat kuat, mulai terlepas secara perlahan, darah dan kehormatan sangat mahal, sehingga kebiasaan-kebiasaan buruk yang sebelumnya kerap terjadi dapat dikendalikan.
Hal ini menjadi bukti sejarah bagi umat Islam bahwa persatuan hakiki, kewibawaan dan kemenangan hanya dapat diwujudkan dengan meneladani Salafus Shalih.
Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf dalam Beragama
Manhaj secara bahasa maknanya sistem pemahaman atau cara beragama, adapun Salaf adalah ringkasan dari kata Salafus Shalih. Jadi Manhaj Salaf itu pengertiannya sistem pemahaman atau cara beragama yang dituntunkan oleh para pendahulu yang shalih dari kalangan Shahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.
Pada prakteknya, umat Islam dalam beragama harus merujuk kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, karena mereka adalah murid-murid Nabi yang secara langsung belajar dari beliau tentang Islam ini. Sehingga merekalah orang-orang yang paling mengerti tentang ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, dan paling mencintai beliau, paling menyerupai beliau dan paling mengikuti ajaran beliau ketimbang generasi-generasi yang ada setelahnya. Demikian pula para Tabi’in, mereka adalah murid-murid Shahabat Nabi yang mewarisi ilmu dari para Shahabat tersebut dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh gurunya. Begitu pula Tabi’it Tabi’in, mereka adalah pihak yang mewarisi ilmu dari para Tabi’in, dan mengamalkan ilmu tersebut dengan bimbingan guru-guru mereka. Maka silsilah ilmu dan keguruan para Shahabat, Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in berujung pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, sehingga ilmu dan pengamalan agama mereka amat pantas untuk diteladani, baik dalam beraqidah, beribadah, berakhlaq maupun bermu’amalah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَي
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menerangkan bahwa semua Shahabat Nabi adalah orang-orang yang kembali kepada Allah, maka wajib mengikuti jalan mereka, perkataan mereka, serta aqidah mereka. Dan aqidah mereka adalah yang paling penting untuk diikuti dari jalan mereka.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/393)
Maka kita diperintah oleh Allah Ta’ala untuk mengikuti jalan para Shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum, dengan mengikuti atsar mereka dan menempuh manhaj mereka dalam beragama. Dan Allah telah memperingatkan kita dari menyelisihi jalannya para Shahabat, dan mengancamnya dengan neraka Jahannam. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalannya orang-orang Mu’min (para Shahabat Nabi). Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Allah telah memberitakan bahwa keridhaan-Nya itu bersama orang-orang yang mengikuti jalannya para Shahabat, dan akan memberikan kepada mereka pahala yang besar. Allah Ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Dan para pendahulu yang pertama kali (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin (para Shahabat yang hijrah ke Madinah) dan Anshar (para Shahabat yang menjadi penduduk asli kota Madinah) dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam beriman dan beramal dengan sebaik-baiknya. Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun juga telah ridha kepada Allah. Dan Allah telah menjanjikan bagi mereka itu taman-taman surga yang mengalir di bawah taman-taman itu sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”. (At Taubah: 100)
Allah telah memberikan ancaman terhadap orang-orang yang menyelisihi jalan para Shahabat Nabi tersebut dengan ancaman adzab Jahannam, sebagaimana Allah juga telah menjanjikan surga dan keridhaan-Nya bagi orang-orang yang menempuh jalannya para Shahabat Nabi ridhwanullah ‘alaihim ajma’in. (Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah hal. 46)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam telah memerintahkan umatnya untuk mengikuti jejak beliau dan para Khulafa’ur Rasyidin ketika melihat percekcokan pemahaman yang terjadi sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, sebagaimana telah ditegaskan dalam sabdanya:
“Barangsiapa yang masih hidup sepeninggal aku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian (ketika melihat perselisihan itu) berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidin Al-Mahdiyin sepeninggalku, gigitlah ia (sunnah-sunnah itu) dengan gigi-gigi gerahammu, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama (bid’ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676 dan beliau berkata “hadits hasan shahih”, Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami’ 2546)
Gigitlah sunnah-sunnah itu yakni sebagai ungkapan agar berpegang kuat dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidin. Artinya selama sunnah para Khulafa’ tersebut mencocoki sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, maka wajib atas kaum Muslimin untuk berpegang teguh dengannya, karena yang demikian itu merupakan jaminan keselamatan dari fitnah perselisihan dan pertikaian yang terjadi sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam.
Lebih tegas lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam menyatakan tentang keadaan umatnya sepeninggal beliau dalam sabdanya:
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Sesungguhnya bani Isra’il telah terpecah menjadi tujuhpuluh dua aliran agama dan umatku akan terpecah menjadi tujuhpuluh tiga golongan. Semuanya di neraka kecuali satu golongan aliran pemahaman saja yang selamat dari neraka.” Para shahabat bertanya kepada Nabi: “Siapakah golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang berjalan pada apa yang aku dan para shahabatku jalani.” (HR. Tirmidzi 2565)
Maka fitnah perpecahan dan percekcokan pemahaman yang menimpa kaum Muslimin hanya dapat diatasi dengan menempuh cara beragamanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dan para Shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Dan orang-orang yang beragama dengan cara (manhaj) seperti itu disebut Al-Firqatun Najiyah yakni golongan yang selamat.
Al-Imam Al-Auza’i telah menasihatkan:
عَلَيْكَ بِاْلأَثَرِ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ وَإِيَّاكَ وَآَرَاءَ الرِّجَالَ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ بِالْقَوْلِ فَإِنَّ اْلأَمْرَ يَنْجَلِيْ وَأَنْتَ فِيْهِ عَلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ
“Wajib atas engkau untuk berpegang dengan atsar, walaupun orang-orang menolakmu. Dan hati-hati engkau dari pikiran-pikiran orang, walaupun mereka menghiasinya dengan berbagai omongan. Karena perkara agama ini telah sangat jelas dengan atsar dan engkau bila beragama atas dasar atsar itu, maka engkau akan berjalan di atas shirathal mustaqim (yakni jalan yang benar).” (Al-Adabus Syar’iyah 2/70)
Kendati demikian, tidaklah berarti kita menganggap “sakral” para Shahabat Nabi, berhubung mereka tidak ma’shum (terjaga dari kesalahan). Namun kita tetap meyakini bahwa para Shahabat adalah orang-orang yang adil dan telah dijamin kebaikannya oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam sebagaimana dalam penjelasan yang lalu.
Bersambung, Insya Allah.
Fikri Abul Hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar