Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

ORANG-ORANG SESAT YANG PALING MERUGI

“Katakanlah hai Muhammad: Maukah kami beritahu kalian dengan keadaan orang-orang yang paling merugi amalannya? Yaitu orang-orang yang sesat upaya mereka dalam kehidupan dunia dan mereka menyangka bahwa mereka sedang berbuat dengan sebaik-baik amalan.” (Al-Kahfi: 103 – 104)
BEBERAPA PENGERTIAN
Hal nunabbi’ukum: “Maukah kami beritahu kalian.” Yakni kaum Muslimin disuruh memberitahukan kepada segenap orang yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak diridlai oleh-Nya. Yaitu orang-orang yang telah menyimpang dari tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam. (Al-Alusi, dan Ibnu Katsir dalam tafsir keduanya).
Al-akhsarina a’maala: “orang-orang yang paling merugi amalannya”. Yakni orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka dalam beramal dalam rangka tujuan mereka untuk mencapai keuntungan dan keutamaan. Sehingga akibatnya beramal dengan cara demikian itu, mereka terjatuh dalam kerusakan dan kehancuran dan mereka tidak akan mencapai tujuannya. (Al-Imam At-Thabari dalam Tafsirnya)
Alladzina dhalla sa’yuhum: “Yaitu orang-orang yang sesat upaya mereka”. Yakni segala upayanya untuk mencapai keutamaan di sisi Allah akan batal dan sia-sia. (Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir).
Fil hayatid dun-ya: “Dalam kehidupan di dunia”. Yakni segala upaya mereka selama di dunia ini akan diketahui batal dan sia-sianya nanti di akhirat. (Al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani).
Wahum yahsabuuna: “Dan mereka menyangka”. Yakni mereka dalam beramal tidak berdasarkan ilmu, tetapi hanya berdasarkan perkiraan dengan tanpa dasar ilmu dan juga berdasarkan sangka baik kepada pimpinannya yang diikutinya dengan membabi buta. Padahal para pimpinan mereka itu mengerti mana yang benar dan mana yang bathil. Namun karena demi kepentingan ambisi ketokohannya, maka sang pemimpin lebih mengutamakan kebathilan dan meninggalkan kebenaran. (Abul Faraj Ibnul Jauzi Al-Baghdadi dalam Zadul Masir fi Ilmit Tafsir).
Annahum yuhsinuna shun’a: “Bahwasanya mereka merasa melakukan sebaik-baik amalan”. Yakni mereka merasa di atas kebenaran dalam menjalankan amalannya dan mereka menyangka sebagai pihak yang dicintai Allah Ta`ala dengan amalannya itu. Di sini menunjukkan bahwa adanya orang yang beramal dengan sangkaan bahwa amalannya adalah sebaik-baik amalan, akan tetapi amalannya itu ternyata sia-sia di sisi Allah Ta`ala. Yang menyebabkan sia-sianya amalan itu adalah karena kerusakan aqidah atau karena amalan itu diniatkan untuk dilihat orang demi mendapat pujian dari mereka. (Ibnu Katsir dalam Tafsirnya dan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi dalam tafsirnyaAl-Jami’ li Ahkamil Qur’an).

BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT KITA AMBIL

1). Surat Al-Kahfi ayat ke 103 dan 104 ini berkenaan dengan keadaan orang-orang yang sesat dalam beragama. Adapun orang-orang yang sesat dalam beragama berkenaan dengan konteks ayat ini adalah:

a. Para pendeta dari kalangan Yahudi dan Nashara yang mengasingkan diri di tempat peribadatan mereka dengan niat untuk mensucikan diri dari dosa. Padahal mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada Allah dan kufur kepada kenabian Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam. Demikian diriwayatkan penafsiran ini oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dari Sa’ad bin Abi Waqqas radliyallahu `anhu, Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu.
b. Al-Allamah Muhammad bin Ali Asy-Syaukani rahimahullah meriwayatkan dalam Fathul Qadirnya, bahwa sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa yang dituju oleh ayat ini adalah kaum musyrikin Makkah yang merasa yakin di atas agama Nabi Ibrahim `alaihis salam, padahal perbuatan syirik yang mereka lakukan telah menggugurkan segenap amalan shalih mereka.
c. Al-Imam Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa sayyidina Ali bi Abi Thalib menafsirkan pula bahwa yang dituju ayat ini adalah orang-orang Khawarij, yang beribadah kepada Allah berdasarkan sangkaan mereka sehingga tersesat dalam kebid’ahan yang demikian besar dan akhirnya menjerumuskan mereka untuk menjadi anjing-anjing neraka.
d. Al-Imam Ismail bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya, bahwa yang dituju oleh ayat ini ialah semua pihak secara keseluruhan dan bukan satu pihak tertentu saja. Yaitu semua pihak yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak diridlai-Nya, tetapi dia menyangka bahwa dia dalam kebenaran dan merasa yakin pula bahwa amalannya bakal diterima oleh Allah, padahal dugaannya itu salah.
2). Al-Qur’an diturunkan dan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam diutus oleh Allah Ta’ala sebagai penutup para Nabi dan Rasul, adalah untuk memberikan kepastian kepada manusia dan jin tentang apa itu kebenaran dan apa pula yang dinamakan kebathilan. Hal ini difirmankan oleh Allah Ta`ala dalam beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka dari itu janganlah kamu menjadi golongan orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Di samping meyakinkan kita bahwa agama yang datang daripada-Nya itu adalah kebenaran, Allah Ta`ala juga meyakinkan kita bahwa apa saja yang disembah selain Allah adalah bathil.
“Yang demikian itu menunjukkan bahwa Allah itu adalah sesembahan yang haq dan yang disembah selain Allah adalah bathil dan bahwasanya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (Luqman: 30)
Kemudian Allah Ta`ala memastikan pula bahwa orang-orang kafir (yakni yang menentang) agama Allah, mereka dalam kekafirannya karena mengikuti kebathilan. Sedangkan orang-orang yang beriman kepada agama Allah itu, mereka mengikuti kebenaran.
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah, mereka itu telah sia-sia amalannya. Sedangkan orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan meyakini bahwa apa yang diturunkan kepada Muhammad itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka, bagi mereka Allah ampuni segala dosanya dan Allah akan menjadikan keadaan mereka semakin baik. Yang demikian itu terjadi karena orang-orang kafir itu mengikuti kebatilan dan orang-orang yang beriman mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah memberikan permisalan bagi manusia tentang keadaan mereka.” (Muhammad: 1 – 3)
Jadi dengan demikian, kebenaran itu ialah yang pasti datang dari Allah Ta`ala dan yang pasti datang dari-Nya hanyalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam. Sedangkan segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang datang dari Allah adalah bathil. Kebenaran itu akan menang dan kokoh sedangkan kebatilan itu akan hancur dan sirna (sebagaimana dinyatakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya di surat Al-Anbiya’ 18).
3). Setiap orang siapapun dia, selama hayat masih dikandung badan, tetap terancam oleh kemungkinan tersesat dari jalan Allah tanpa menyadari bahwa dirinya sedang tersesat. Bahkan meyakini bahwa dirinya dalam kebenaran, padahal dirinya sedang tersesat. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya di surat Al-Kahfi 57:
“Dan siapakah yang lebih dzalim dari orang yang diberi peringatan dengan ayat-ayat dari Tuhannya, kemudian dia berpaling dari peringatan itu dan melupakan apa yang pernah dia lakukan dari perbuatan-perbuatan yang jelek. Kami menjadikan di hati orang yang demikian ini tabir agar tidak dapat memahami Al-Qur’an dan pada telinga mereka ada ketulian untuk tidak dapat mendengar nasehat. Dan bila engkau ajak mereka kepada petunjuk Allah, mereka tidak akan mau menerima petunjuk itu selama-lamanya.” (Al-Kahfi: 57)
Demikian dahsyatnya kesesatan itu, sehingga nasehat apapun tidak akan berguna bagi orang yang celaka ini. Kesesatan yang demikian itu adalah karena lebih menyenangi penyimpangan dari ajaran agama Allah. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah dalam firman-Nya sebagai berikut (yang artinya):
“Dan bahwasanya agama ini adalah Jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan jangan mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan yang lain itu akan memisahkanmu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan kepada kalian agar kalian bertaqwa.”
Dalam menafsirkan ayat ini Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah diberitakan oleh Abdullah bin Mas’ud dan Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhum demikian: “Kami bersama Nabishallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam di suatu hari. beliau membikin garis di tanah dengan jari beliau, kemudian beliau menyatakan: “Ini adalah jalan Allah (yakni agama Allah).” Kemudian beliau membikin garis ke sebelah kanan dan garis ke sebelah kiri, dan beliaupun menyatakan setelah itu “Ini adalah jalan-jalan penyimpangan. Di atas setiap jalan-jalan penyimpangan itu ada syaithan yang menyeru orang untuk menempuhnya.” Kemudian beliau membaca ayat ini.” (HR. Al-Ajurri dalam As-Syari’ah riwayat ke 11 – 13, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya juga dalam Musnadnya jilid 1 halaman 435 - 465, dan diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya jilid 2 halaman 318. Juga diriwayatkan oleh yang lainnya).
Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwa masing-masing jalan penyimpangan itu mempunyai juru dakwah yang menyerukan manusia untuk menempuh jalan itu. Para juru dakwah yang demikian ini dinamakan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dengan nama “syaithan”. Yang berarti bisa jadi dari kalangan manusia dan bisa jadi pula dari kalangan jin.
4). Oleh karena itu dalam beragama kita tidak boleh memegang suatu keyakinan hanya dengan dugaan semata tanpa mempunyai kepastian dalil. Dan tidak boleh hanya dengan ikut-ikutan, tanpa mengerti duduk permasalahannya secara ilmiah. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada adanya hari akhirat itu mereka akan menamakan para Malaikat dengan nama-nama perempuan. Padahal mereka tidak punya ilmu tentangnya. Mereka hanya mengikuti dugaan semata dan sesungguhnya dugaan itu tidak akan berguna sedikitpun untuk mencapai kebenaran.” (An-Najm: 27 – 28).
Juga Allah Ta`ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti segala sesuatu yang kamu tidak ada ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan serta akal pikiran, semua itu adalah nikmat Allah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat.” (Al-Isra’: 36)
Karena bila orang dalam beragama itu hanya ikut-ikutan, maka dia dengan mudah akan terjatuh kepada kesesatan yang melalaikannya dari ancaman masa depan kehidupan akhirat yang mengerikan.
5). Juga dalam menilai segala sesuatu, apakah ia sebagai sesuatu yang baik ataukah sebagai sesuatu yang buruk. Apakah seseorang itu sebagai kawan ataukah lawan, semua ini haruslah diputuskan dengan kepastian ilmiah dan tidak boleh hanya dengan ikut-ikutan semata. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, bila datang kepada kalian orang fasiq dengan membawa satu berita, maka telitilah kebenaran berita itu. Agar jangan sampai kalian menghukumi satu kaum dengan ketidakmengertian, sehingga akibat perbuatan kalian itu, akhirnya kalian menyesal karenanya.” (Al-Hujurat: 6)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam juga telah memperingatkan:
“Cukup seseorang itu dikatakan telah berdusta, bila dia menceritakan apa saja yang dia dengar.” (HR.Muslim dalam Shahihnya juz 1 hal. 15 no. 5 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu).
Yakni setiap menerima berita, tanpa meneliti kebenaran beritanya langsung menyampaikannya tanpa memiliki rasa tanggung jawab dengan pemberitaannya itu.
6). Adalah termasuk ancaman serius yang menyebabkan orang itu tersesat, bila dia berteman dengan orang-orang yang telah terjatuh dalam kesesatan beragama, apakah itu ahlus syirik (yakni orang-orang yang berbuat kemusyrikan), ataukah ahlul bid’ah (yakni orang-orang yang menjalankan agama dengan cara yang sesat), ataupun ahlul ma’ashi (yakni orang-orang yang suka bermaksiat melanggar larangan-larangan agama). Duduk bercengkerama dengan orang-orang yang demikian itu dilarang oleh Allah Ta`ala dan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam. Hal ini dinyatakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan atas kalian Kitab (yakni Al-Qur’an) yang bila kalian mendengar ayat-ayat Allah padanya, maka orang-orang kafir mengingkarinya dan memperolok-olokkannya. Maka dari itu janganlah kalian duduk dengan mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lainnya. Karena bila kalian tetap duduk dengan mereka dalam keadaan mereka memperolok-olok ayat-ayat Allah itu, maka berarti kalian serupa dengan mereka (yakni serupa dalam kekafiran). Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di neraka Jahannam.” (An-Nisa’: 140)
Juga Allah Ta`ala memperingatkan:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka sehingga mereka berpindah pembicaraan pada masalah lain. Dan apabila syaithan menjadikan kamu lupa dari larangan ini, maka janganlah kamu duduk dengan orang-orang yang dzalim itu setelah engkau teringat (dengan larangan tersebut). Dan tidak ada pertanggungan jawab sedikitpun atas orang-orang yang bertaqwa terhadap perbuatan orang-orang yang memperolok-olok ayat-ayat Allah itu, bila meninggalkan majlis yang memperolok-olok itu. Akan tetapi kewajiban orang-orang yang bertaqwa itu adalah mengingatkan mereka dengan meninggalkan majlis mereka itu, semoga dengan peringatan demikian itu mereka dapat kembali bertaqwa.” (Al-An’am: 68 – 69)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda:
“Dari Anas beliau memberitakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah bersabda : …….Dan permisalan teman yang shalih seperti orang yang membawa minyak wangi misik. Kalaupun tidak mengenai kamu minyaknya, engkau terkena bau wanginya. Sedangkan permisalan teman yang jelek, ialah seperti tukang las, yang bila tidak terkena angusnya, ya terkena asapnya.” (HR.Abu Dawud dalam Sunannya juz 4 hal. 260 hadits ke 4829 Kitabul Adab Bab Man Yu’maru An Yujaalas).
Juga Beliau shallallahu `alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda:
“Seseorang itu di atas agama teman dekatnya, oleh karena itu hendaknya setiap orang dari kalian memperhatikan, siapa teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dalam Sunan keduanya dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu, lihat Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul juz 6 hal. 667 no. 4967 karya Al-Imam Al-Mubarak bin Muhammad ibnul Atsir Al-Jazari).
Yakni bila seseorang berteman dekat dengan orang yang rusak pemahaman dan pengamalan agamanya, maka dia akan demikian pula keadaan agamanya. Demikian pula bila dia berteman dekat dengan orang yang lurus pemahaman dan pengamalan agamanya, maka diapun akan demikian keadaan agamanya.

Penutup

Demikianlah berbagai peringatan dari Allah dan Rasul-Nya kemudian para Ulama’ tentang bahaya kesesatan yang kerap dikemas oleh syaithan dengan berbagai keindahan yang menarik. Sehingga bila kita tidak ditunjuki oleh Allah dan diberi hidayah dan taufiq-Nya kepada kebenaran, niscaya kita akan mudah terjerumus dalam berbagai kesesatan yang menggiring kita kepada kemurkaan Allah dan adzab-Nya. Hidayah dan taufiq Allah itu akan dapat kita raih dengan pertolongan-Nya dan ijin-Nya melaluitaqwallah yang disertai ilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah serta merujuk kepada bimbingan para Ulama’ Ahlil Hadits yang telah wafat maupun yang masih hidup.
Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar