Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

Apakah Ada Bid'ah Hasanah ?

Pembicaraan kita kali ini berkenaan dengan perbincangan di seputar ada tidaknya bid'ah hasanah. Karena dengan adanya istilah ini, banyak menimbulkan kerancuan dalam memahami apa itu bid'ah dan dalam mewaspadai bahaya bid'ah terhadap Islam dan Muslimin. Oleh sebab itu dalam materi kali ini kami menurunkan pembahasan tentang permasalahan ini untuk kiranya dapat menjadi nasehat bagi pembaca yang budiman dalam memahami permasalahan yang sangat genting dan berbahaya tersebut.
AWAL MULA ADANYA PENDAPAT TENTANG BID'AH HASANAH
Mula pertama adanya istilah bid'ah hasanah itu sesungguhnya dari ijtihad Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah . Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Nu'aim Al-Asfahani rahimahullah dalam kitab beliau Hilyatul Auliya' jilid 9 halaman 113 dengan sanadnya dari Harmalah bin Yahya bahwa dia menceritakan: Aku mendengar Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i menyatakan:
“Bid'ah itu ada dua: Bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela. Maka apa saja yang mencocoki As-Sunnah, berarti dia itu adalah bid'ah yang terpuji; dan yang menyelisihi As-Sunnah, maka ia adalah bid'ah yang tercela.” Kata Abu Nu'aim: “Beliau berpendapat demikian, karena berhujjah dengan omongan Umar bin Al-Khattab yang mengatakan tentang Qiyam Ramadhan (yakni shalat tarawih): “Bid'ah yang baik itu adalah yang seperti ini.”
Di samping omongan Umar bin Khattab radliyallahu `anhu yang menjadi landasan bagi Asy-Syafi'i, juga omongan Al-Imam Al-Hasan Al-Basri rahimahullah , Imam dari kalangan Tabi'in yang menyatakan:
“Membikin majlis di masjid yang isinya kisah-kisah yang mengandung pelajaran adalah perbuatan bid'ah, akan tetapi betapa bagusnya bid'ah yang satu ini. Berapa banyak saudara kita yang mendapat manfaat dari majlis ini. Dan betapa doa yang dipanjatkan di majlis ini dikabulkan oleh Allah Ta'ala.”
Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Amru bi Ittiba' wan Nahyu Anil Ibtida' halaman 88.
Dengan keterangan yang demikian ini, khususnya yang bermadzhab Asy-Syafi'i, mereka sangat getol dalam berpendapat bahwa bid'ah itu ada yang dinamakan bid'ah hasanah dan ada pula yang dinamakan bid'ah madzmumah (yakni tercela).
Perkataan Imam Asy-Syafi'i tersebut di atas sangat berbeda dengan sabda Nabi Muhammadshallallahu `alaihi wa alihi wasallam tentang bid'ah. Beliau bersabda:
“Dan hati-hatilah kalian dari perkara agama Islam yang baru diadakan (yakni perkara agama yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam atau tidak pernah dikenal oleh para Shahabat beliau). Karena segala perkara yang baru itu adalah bid'ah dan seluruh yang dinamakan bid'ah itu adalah sesat dan segenap orang yang sesat dan mati dalam keadaan tidak taubat dari padanya, maka ia di neraka.” (HR. An-Nasa'i dan At-Tirmidzidan beliau mengatakan: Hadits HASAN SHAHIH)

Perbedaannya terletak pada sisi, dimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallammenyatakan bahwa semua bid'ah itu adalah sesat. Sedangkan Imam Syafi'i menyatakan bahwa tidak semua bid'ah itu sesat, tetapi ada yang hasanah (baik) dan ada yang madzmumah(tercela). Maka bila kita konsisten dengan pengakuan kita bahwa kita bermadzhab Syafi'i, tentunya kita berpegang dengan apa yang menjadi prinsip Imam Asy-Syafi'i rahimahullah . Prinsip beliau dalam memahami Islam telah dinyatakan dalam beberapa penegasan beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Hafidh Abu Nu'aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfahani rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Hilyatul Auliya' jilid 9 halaman 106 s/d 107 sebagai berikut:
“Bila telah pasti keshahihan satu hadits bahwa itu dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , maka aku pun berpendapat seperti yang tertera di hadits itu dan aku bermadzhab dengannya dan aku tetap berpendapat dengannya. Dan bila satu hadits itu tidak aku yakini keshahihannya, aku pun tidak berpegang dengannya dalam berpendapat.”
Juga beliau menyatakan:
“Setiap aku berpendapat dengan suatu pendapat, dan ternyata pendapatku itu berbeda dengan riwayat shahih dari sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , maka hadits Nabi yang shahih itu lebih utama untuk kamu ikuti dan jangan kalian bertaqlid (yakni ikut membabi buta –pent) kepadaku.” ( Al-Hilyah jilid 9 hal. 106 – 107)
Juga beliau menegaskan:
“Apabila engkau dapati ajaran dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , maka ikutilah ajaran itu dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorang pun.” ( Al-Hilyah jilid 9 hal. 106 – 107)
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi rahimahullah juga meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Siar A'lamin Nubala' jilid 10 hal. 34 pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah sebagai berikut:
Ar-Rabi' bin Sulaiman Al-Muradi meriwayatkan: Aku mendengar Asy-Syafi'i menyatakan: “Apabila kalian mendapati dalam kitabku perkara yang berbeda dari Sunnah Rasulillah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam (yakni ajarannya), maka hendaknya kalian berpendapat sesuai dengan Sunnah itu, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan padanya.”
Maka dengan berbagai riwayat pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i tersebut, mestinya bila kita konsisten dengan madzhab Syafi'i, kita merujuk kepada sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam tentang kenyataan bahwa bid'ah itu semuanya sesat. Dan kita meninggalkan pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i yang menyatakan bahwa bid'ah itu tidaklah semuanya sesat, akan tetapi ada yang sesat dan ada yang hasanah (yakni baik). Apalagi Imam Syafi'i dalam berijtihad sehingga melahirkan pendapat yang demikian itu berdalil dengan omongan Umar bin Khattab dan bukan berdalil dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kita meninggalkan pendapat seorang Imam karena pendapatnya tidak mencocoki Sunnah Nabi, bukanlah berarti kita mecerca atau menghina Imam tersebut. Akan tetapi kita meninggalkan pendapat beliau dalam satu masalah, adalah karena bimbingan beliau juga dalam mentaati Sunnah Nabi. Kita juga menilai pendapat seorang Imam itu tidak mencocoki Sunnah Nabi, bukan berarti kita menilai bahwa Imam tersebut telah menyimpang dari Sunnah Nabi. Akan tetapi kita menilai demikian karena kita diajari oleh beliau-beliau para Imam itu, bahwa seorang Imam itu tidaklah ma'shumma'shum itu maknanya ialah terjaga dari kemungkinan lupa dan salah dalam berijtihad memahami Islam) seperti ma'shum nya Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Bahkan Nabi kita mengajari kita bahwa kekeliruan dalam berijtihad itu sebagai orang yang mengemban ilmu Al-Qur'an dan As-Sunnah bukanlah tercela bahkan sebagai amalan yang diberi pahala oleh Allah dengan satu pahala. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallambersabda:
“Apabila seorang hakim menetapkan satu hukum dengan berijtihad kemudian ijtihadnya benar, maka dia mendapat dua pahala. Dan apabila dia menetapkan satu hukum dengan berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya salah, maka dia dapat satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dalamShahih nya kitab Al-I`tisham bil Kitab was Sunnah bab Ajril Hakim Idzajtahada fa Ashaba wa Akhta'a hadits ke 7352 dari Amr bin Ash radliyallahu `anhu )

BAGAIMANA PARA SHAHABAT NABI MEMAHAMI HADITS TERSEBUT
Bila ada permasalahan dalam memahami hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , maka kita dituntunkan beliau untuk merujuk kepada pemahaman para Shahabat beliau. Bahkan beliau menerangkan, bahwa jalan keselamatan dari fitnah pertikaian dalam memahami agama Allah itu ialah dengan merujuk kepada pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Hal ini dinyatakan dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Sungguh akan datang pada ummatku seperti yang telah datang pada Bani Israil, seperti pasangan sandang satu dengan lainnya. Sampaipun bila dulunya dari mereka ada yang menzinai ibunya dengan terang-terangan, niscaya akan ada dari ummatku yang berbuat demikian. Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah dalam tujupuluh dua golongan, sedangkan ummatku akan terpecah menjadi tujupuluh tiga golongan. Semua mereka akan masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.” Para Shahabat bertanya kepada beliau: Siapakah satu golongan yang selamat dari api neraka itu wahai Rasulallah? Beliaupun menjawab: “Yaitu golongan yang beragama dengan caraku dan cara para Shahabatku.” (HR.Tirmidzi dalam Sunan nya jilid 5 hal 26 no 2641 bab Kitabul Iman Bab Ma Jaa'a fiftiraqi Hadzihil Ummah dari Abdullah bin ‘Amru bin Ash).
Demikianlah penegasan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bahwa yang selamat dalam kondisi perpecahan ummat Islam, adalah yang merujukkan pemahaman agamanya kepada Rasulullah dan para Shahabatnya. Dengan demikian, adalah perkara yang sangat penting untuk merujuk kepada pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam mencari kepastian tentang pengertian satu hadits. Inilah dasar pemikiran yang paling aman dalam mencari kepastian tentang pengertian satu hadits. Maka dalam memahami apa sesungguhnya pengertian hadits tentang bid'ah itu sebagai kesesatan seluruhnya, mari kita merujuk kepada penjelasan para Shahabat.
1). Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi bertanya kepada Abdullah bin Ukaim: “Bagaimana Umar bin Khattab menyatakan?” Dijawab oleh Abdullah bi Ukaim: “Umar menyatakan: “Sesungguhnya omongan yang paling benar, adalah omongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam perkara agama. Dan semua yang baru dalam perkara agama adalah bid'ah. Dan semua bid'ah itu adalah sesat.” (Riwayat Al-Imam Al-Lalikai dalam Syarah I'tiqad Ahlus Sunnah wal Jama'ah riwayat ke 100).
2). Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhuma menegaskan: “Semua bid'ah itu adalah sesat, walaupun banyak orang memandangnya sebagai hal yang baik.” (Riwayat Al-Lalikai dalam Syarah Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah wal Jama'ah riwayat 126).
3). Abdullah bin Mas'ud radliyallahu `anhu menyatakan: “Ikutilah Sunnah Nabi dan jangan kamu membikin bid'ah. Karena sesungguhnya kalian telah dicukupi dengan Sunnah Nabi dan semua bid'ah itu adalah sesat.” (Riwayat Al-Lalikai dalam Syarah Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah riwayat ke 104).
Pemahaman para Shahabat Nabi tersebut karena adanya hadits lain yang meriwayatkan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang berbunyi:
“Barangsiapa yang membikin sesuatu yang baru dalam agama kami ini, padahal ia bukan bagian dari agama ini, maka sesuatu yang baru itu adalah sesuatu yang tertolak.” (HR.Bukhari no 2697 dan Muslim no. 1718 dari A'isyah radliyallahu `anha ).
Jadi di samping dinilai sebagai sesuatu yang sesat, maka sesuatu yang baru itu juga dinilai sebagai sesuatu yang tidak diterima oleh Allah amalannya. Maka para Shahabat Nabi yang tentunya lebih paham tentang pengertian sabda Nabi, mereka memahami hadits Nabi tersebut sesuai dengan apa yang tersurat dalam lafadhnya. Yaitu semua yang baru dalam perkara agama itu adalah bid'ah, dan semua bid'ah itu adalah sesat.

MENDUDUKKAN OMONGAN UMAR BIN AL-KHATTAB TENTANG BID'AH
Dalam menilai ijtihad para Imam itu, ialah dengan memahami dalil yang dipakai sebagai landasan pengertian tentang bid'ah itu. Dalam hal ini ialah dalil yang dipakai oleh Imam Asy-Syafi'i untuk menyatakan bahwa bid'ah itu ada yang sayyi'ah dan ada yang hasanah . Dan sebagaimana diketahui, bahwa dalil beliau dalam hal ini ialah omongan Umar bin Al-Khattab yang bunyi riwayatnya demikian:
Aku pernah keluar rumah bersama Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhu di malam Ramadlan menuju masjid. Ternyata didapati padanya kaum Muslimin sedang shalat terpisah-pisah di masjid masing-masing shalat tarawih sendiri-sendiri . Dan ada pula yang shalat diikuti oleh sekelompok orang. Maka ketika melihat pemandangan demikian, berkata Umar: “Aku berpandangan seandainya mereka disatukan dengan satu imam, niscaya yang demikian itu lebih bagus.” Kemudian beliau bertekad menjalankan pandangannya itu dengan disatukan dalam satu jama'ah shalat tarawih dengan imam yang beliau pilih, yaitu Ubay bin Ka'ab. Kemudian aku di malam lain keluar lagi bersama Umar ke masjid dan kaum Muslimin sedang shalat tarawih dengan satu jama'ah dan satu imam. Maka Umar pun menyatakan: “Sebaik-baik bid'ah itu adalah yang demikian.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih nya, Kitab Shalatit Tarawih babFadhlu Man Qaama Ramadhaan , hadits ke 2010 dari Abdurrahman bin Abdul Qari radliyallahu `anhu ).
Dalam menjelaskan riwayat ini, Al-Imam IbnuTaimiyah rahimahullah menyatakan:
“Adapun omongan Umar radliyallahu `anhu Sebaik-baik bid'ah itu adalah ini , maka mayoritas orang-orang yang berhujjah dengannya, bila kita hendak menetapkan suatu hukum dengan omongan Umar yang omongannya tidak mengandung unsur menyelisihi Sunnah Nabi, niscaya mereka akan mengatakan: Omongan Shahabat bukanlah hujjah (yakni dalil agama) . Tetapi mengapa sekarang omongan Umar justru menjadi hujjah bagi mereka dalam perkara yang menyelisihi omongan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Bahkan mereka yang meyakini bahwa omongan Shahabat itu adalah hujjah, dia tidak akan meyakininya sebagai hujjah bila ternyata omongan itu menyelisihi Hadits Nabi. Maka baik yang berpendapat bahwa omongan Shahabat itu hujjah ataukah yang berpendapat bahwa omongan Shahabat itu bukan hujjah, mereka yang berpendapat dengan kedua pendapat ini pun meyakini bahwa tidak boleh mempertentangkan hadits Nabi dengan omongan seorang Shahabat. Memang benar, boleh menjadikan omongan Shahabat itu sebagai takhsis (yakni memberi batasan makna yang umum menjadi khusus, pent) terhadap makna yang umum pada hadits Nabi, tetapi hanyalah omongan Shahabat yang tidak menyelisihi hadis Nabi.” Demikian Al-Imam Ibnu Taimiyah menerangkan dalam kitab beliau Iqtidla' Shirathal Mustaqim jilid 2 hal. 592. Kemudian beliau menambahkan keterangannya sebagai berikut:
“Kemudian kita mengatakan: Penamaan Umar terhadap perbuatan Shalat Tarawih dengan satu imam itu sebagai bid'ah hasanah, adalah bid'ah dalam arti bahasa dan bukan bid'ah dalam pengertian Syari'ah. Dimana pengertian bid'ah secara bahasa ialah segala perbuatan yang baru dilakukan dengan tidak ada yang menduhuluinya. Sedangkan bid'ah dalam pengertian Syari'ah ialah semua perkara agama yang tidak ada dalilnya dari dalil-dalil Syar'i.” ( Iqtidla' Shirathal Mustaqim , jilid 2 hal. 593).
Selanjutnya beliau menambahkan:
“Kalau begitu, maka kita dapati kenyataan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan para Shahabatnya telah pernah menunaikan shalat qiyam Ramadlan (yakni Tarawih, pent) baik dalam berjamaah maupun sendiri-sendiri. Ketika mereka shalat Tarawih berjamaah di belakang Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sejak hari pertama Ramadhan sampai hari ketiga atau hari keempat, Beliaupun akhirnya tidak keluar ke masjid ketika mereka sudah berkumpul untuk melaksanakan shalat Tarawih. Beliau mengemukakan alasannya mengapa tidak keluar ke masjid:
“Sesungguhnya aku mengerti bahwa kalian berkumpul di masjid. Akan tetapi aku takut diwajibkannya shalat tarawih itu atas kalian. Dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu menunaikannya. Oleh karena itu, silakan kalian shalat di rumah-rumah kalian. Karena seutama-utama shalatnya seorang pria itu adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya dari Zaid bin Tsabit. Lihat Fathul Bari juz 13 no.7290Kitabul I`tisham bil Kitab was Sunnah bab Ma Yakrahu Min Kasyratis Su`al wa Man Takallifu Ma La Ya`nihi hal. 264)
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam mengemukakan alasan mengapa beliau tidak keluar ke masjid untuk memimpin shalat Tarawih adalah karena takut diwajibkannya shalat Tarawih tersebut. Dengan demikian diketahuilah bahwa beliau sebenarnya tetap ingin keluar ke masjid. Dan seandainya tidak karena takut diwajibkannya Tarawih itu, niscaya beliau akan keluar ke masjid. Maka ketika di masa pemerintahan Umar radliyallahu `anhu , beliau menyatukan mereka dengan satu imam. Masjid pun di malam Ramadhan, diberi lampu. Maka jadilah model pengamalan semacam ini, yaitu berkumpulnya mereka di masjid untuk melaksanakan shalat Tarawih dengan dipimpin oleh satu imam dan diteranginya masjid, sebagai amalan yang tidak pernah mereka kerjakan sebelumnya. Sehingga dinamakanlah amalan tersebut sebagai bid'ah. Karena secara bahasa memang demikian maknanya. Tetapi tidaklah istilah bid'ah yang dipakai dalam perkara ini adalah bid'ah dalam pengertian Syariah. Karena Sunnah Nabi telah mengkatagorikannya (yakni shalat Tarawih dengan berjamaah itu, pent) sebagai amalan shaleh, seandainya tidak dikuatirkan untuk diwajibkannya amalan itu. Dan kekuatiran untuk diwajibkannya amalan shalih ini telah hilang dengan telah wafatnya Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , sehingga penghalang untuk dilaksanakannya amalan shaleh ini telah hilang.” Demikian Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan dalam Iqtidla' Shirathal Mustaqim jilid 2 halaman 594.
Cukuplah dengan keterangan ini untuk sebagai kejelasan, bahwa kata bid'ah hasanah yang dipakai oleh Umar bin Al-Khattab itu dalam menilai shalat Tarawih berjamaah di masjid, bukanlah bid'ah dalam pengertian syar'i. Tetapi adalah pengertian semantik (secara bahasa). Karena amalan shalat Tarawih berjamaah di masjid itu telah dilakukan oleh Rasulullahshallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan para Shahabat beliau di masjid beliau. Jadi shalat Tarawih berjamaah itu tidaklah dikatakan bid'ah secara syar'i, bahkan dikatakan Sunnah Nabishallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Karena bid'ah dalam pengertian syar'i telah dikatakandlalalah (sesat) semuanya oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Jadi dalam pengertian ini telah dinafikan adanya bid'ah hasanah. Sehingga dengan demikian, omongan Umar yang menilai shalat Tarawih berjamaah di masjid itu tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang menafikan adanya bid'ah hasanah. Karena omongan Umar itu adalah berkenaan dengan bid'ah dalam pengertian bahasa, sedangkan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam itu adalah keterengan beliau tentang bid'ah dalam pengertian syar'i. Umar menyatakan bahwa shalat Tarawih berjamaah sebagai “sebaik-baik bid'ah” dalam keadaan mengerti bahwa amalan tersebut telah penah dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Jadi tidak mungkin Umar maksudkan dengan pernyataannya itu adalah bid'ah dalam pengertian syar'i. Sebab dalam pengertian syar'i, amalan yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam itu tidaklah dinamakan bid'ah. Dan lagi Umar juga telah mengerti tentang sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang menegaskan bahwa semua bid'ah itu adalah sesat dan tertolak. Maka dengan demikian mustahil Umar mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan ilmu yang ada pada dirinya. Dengan cara demikian pula kita memahami perkataan Al-Hasan Al-Bashri dalam menilai majlis yang khusus untuk dibawakan padanya berbagai cerita-cerita yang mengandung nasehat dan pelajaran bagi pendengarnya. Majlis yang demikian ini dikatakan oleh beliau sebagai “bid'ah yang baik”.
Maka kalau perkataan Umar dan Al-Hasan Al-Basri tersebut tidak diartikan demikian, maka perkataan itu berarti menyelisihi sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Dan semua perkataan yang menyelisihi sabda Nabi, haruslah kita membuangnya.
PENUTUP
Demikianlah mestinya dalam bersikap terhadap pendapat para Imam yang mulia. Kita dilarang mengikuti siapa pun dalam menjalankan agama ini, tanpa mengerti dalilnya. Dan dalil yang diterima dalam keterangan agama Allah ini, hanyalah Al-Qur'an dan Al-Hadits saja. Perkataan atau pendapat dan ijtihad siapapun yang menyelisi dalil, haruslah ditinggalkan dalam rangka ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a'lamu bis-shawab .


Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar