Powered By Blogger

Rabu, 02 Februari 2011

Tauhid Menentukan Awal dan Akhir Perjuangan

Dakwah Salafiyah senantiasa mengedepankan dakwah tauhid dengan tanpa mengabaikan sisi lain yang merupakan bagian dari agama, karena tauhid merupakan inti perjuangan dakwah yang dijalankan oleh para Rasul ‘alaihimus shalatu wassalam dalam berbagai waktu dan lintas generasi.
Berangkat dari dakwah tauhid, Allah mengutus para RasulNya guna mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Kitab-kitab suci Allah turunkan demi menerangkan perihal tauhid berikut keutamaannya, segenap pembatalnya serta perkara-perkara yang dapat mengurangi kesempurnaannya. Demikian pula jihad di medan perang yang dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dan para shahabatnya dalam menghadapi orang-orang kafir, juga masih dalam misi dakwah tauhid [1] dan sama sekali bukan bertujuan untuk mendirikan negara, sehingga dengan sebab itu keadilan merata di seluruh penjuru alam, dan tersingkirlah kezaliman yang porosnya berasal dari perbuatan syirik.
Jika kita membaca Al-Qur’an dan memahaminya dengan benar, maka akan kita dapati mayoritas isinya berkenaan dengan tauhidBaik berita tentang sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna dan nama-namaNya yang mulia, atau seruan untuk beribadah kepada Allah semata dengan niat yang ikhlas dan bersih dari segala unsur syirik. Pembahasan tentang hak-hak tauhid yang wajib ditunaikan oleh segenap hamba dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Berita tentang ahli tauhid yang dimuliakan oleh Allah di dunia dan akhirat, dan berita tentang orang-orang yang menentang dakwah tauhid serta ancaman Allah berupa adzab yang ditimpakan kepada mereka ahli syirik [2].
Hal di atas cukup menunjukkan kepada kita bahwa betapa tingginya kedudukan tauhid dan upaya dakwah kepadanya, sehingga menjadi sebab mengapa Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitabNya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam beserta para Shahabat berjihad di jalan Allah demi menegakkan kalimat tauhid. Maka sungguh mengenaskan jika perkara tauhid ini dianggap remeh dengan sikap lalai dari keharusan mempelajarinya, atau bahkan menentang dakwah tauhid karena memang sudah terlalu jauh tenggelam dalam perbuatan syirik. Padahal bekal tauhid inilah yang menentukan awal dan akhir perjuangan hidup seseorang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam:
“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya.” (HR. Al-Bukhari 6233)
“Barangsiapa yang akhir perkataannya “Laa Ilaaha Illallaah” (tidak ada sesembahan yangbenar melainkan Allah) dia masuk surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, Syaikh Al-Albani menilai hadits ini Hasan, Irwa’ul Ghalil hadits 687)

Memahami Makna Tauhid
Syaikh Abdullah bin Jarullah Al-Jarullah menerangkan bahwa pengertian tauhid adalah mengesakan Allah yang Maha Suci dalam beribadah. Para Ulama mendefinisikan tauhid dalam tiga klasifikasi:
1. Tauhid Rububiyah yakni meyakini bahwa Allah sebagai satu-satuNya pihak yang menciptakan segala sesuatu, memberi rizki, dan mengatur alam ini. Tauhid inilah yang diyakini oleh kaum musyrikin, namun semata-mata meyakini tauhid ini belum dapat memasukkan mereka kedalam Islam. Dalilnya firman Allah Ta’ala:
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka, siapa yang menciptakan mereka, niscaya mereka akan menjawab Allah”. (Az-Zukhruf: 87)
2. Tauhid Asma’ was Shifat yakni mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Allah sifati tentang diriNya dalam kitabnya, atau yang disifatkan oleh RasulNya shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam sesuai dengan keagunganNya yang maha sempurna dan kemuliaanNya. Tauhid inilah yang ditetapkan oleh sebagian musyrikin dan diingkari oleh sebagian yang lain dari mereka karena kejahilannya atau penentangannya.
3. Tauhid Uluhiyah yakni mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun dalam segenap amalan ibadah, seperti mahabbah (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan), tawakkal dan doa, dan selain itu dari jenis-jenis ibadah. Tauhid inilah yang ditentang oleh kaum musyrikin [3].
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa tauhid yang menjadi sebab diutusnya para Rasul adalah menetapkan peribadahan hanya untuk Allah semata. Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Dia, tidak beribadah melainkan kepadaNya, tidak bertawakkal melainkan atasNya, tidak menyatakan wala’ (loyalitas) melainkan untukNya, tidak mengadakan permusuhan melainkan di dalamNya, dan tidaklah beramal melainkan karenaNya [4].

Tauhid Bagai Pondasi dari Sebuah Bangunan
Karena begitu asasinya perkara tauhid sehingga kedudukannya bagaikan pondasi dari sebuah bangunan. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan:
“Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunan, maka wajib untuk memantapkan pondasinya, mengokohkannya dan selalu mengawasinya. Karena tingginya sebuah bangunan itu tergantung pada mantap dan kokohnya pondasi. Maka segenap amalan dan derajat itu bagaikan bangunan, dan pondasinya adalah iman…”
Orang yang bijak lebih besar perhatiannya untuk memperbaiki pondasi dan mengokohkannya, sementara orang yang jahil mereka sibuk meninggikan bangunan tanpa memperhatikan pondasinya, sehingga rentan sekali bangunannya itu runtuh, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunan (masjid) atas dasar taqwa kepada Allah dan keridha’anNya itu lebih baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu (bangunan) itu roboh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam.” (At-Taubah: 109)[5]
Ayat ini turun pada kaum munafiqin yang mereka membangun masjid untuk shalat padanya, akan tetapi ketika mereka melakukan amalan yang besar ini, hati mereka kosong dari keikhlasan niat, sehingga tidak dapat menjadi manfaat sedikitpun bagi mereka, bahkan (bangunan) itu roboh bersama-sama mereka dalam neraka jahannam.[6]
Kemudian Al-Imam Ibnul Qayyim menegaskan: “Dan pondasi ini bertumpu pada dua perkara yakni pengenalan kepada Allah dan perintahNya, serta nama-namaNya dan sifat-sifatNya dengan benar, dan yang kedua adalah ketundukan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak kepada selain Allah dan Rasul-Nya.”
Inilah sekuat-kuat pondasi, yang seorang hamba menjadikan pondasi tersebut atas bangunannya. [7]

Keutamaan Tauhid
Syaikh Abdullah bin Jarullah Al-Jarullah menerangkan tentang keutamaan-keutamaan tauhid, diantaranya:
1. Terhalangnya seseorang dari kekekalan di neraka yakni jika ketauhidan itu ada dalam hati seseorang walaupun sedikit. Namun jika ketauhidannya sempurna di dalam hati, maka dia akan terhalang dari neraka dengan sempurna pula (sama sekali tidak masuk neraka, pent).
2. Bahwa segenap amalan dan perkataan baik dalam sah atau tidaknya, kesempurnaannya, dan dalam tingkatan pahalanya bergantung pada tauhid.
3. Allah memberikan jaminan kepada ahli tauhid berupa kemenangan, pertolongan di dunia, kemuliaan, kehormatan, mendapatkan petunjuk dan baiknya keadaan.
4. Allah akan menolak kejelekan-kejelekan bagi orang-orang yang bertauhid dan menganugerahkan kepada mereka kehidupan yang baik.
Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka mendapatkan rasa aman dan mereka diberi petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun, mereka mendapatkan jaminan keamanan pada hari kiamat dan mereka mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat [8].
Dan masih banyak lagi keutamaan-keutamaan lain yang menunjukkan bahwa perkara tauhid ini merupakan prinsip agama yang sangat mendasar. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda, bahwa Allah berfirman: “Wahai anak Adam, seandainya engkau mendatangi Aku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menemui Aku (di hari kiamat) dengan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh itu pula.” (HR. At-Tirmidzi 3549)
Maka syarat mendapatkan ampunan dari Allah adalah selamatnya aqidah dari perbuatan syirik, banyak atau sedikit, syirik kecil atau syirik besar. Orang yang keadaannya demikian inilah orang yang memiliki hati yang salim (selamat), sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Pada hari tidak berguna harta dan anak-anak, kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat” (As-Syu’ara: 88-89) [9]

Fikri Abul Hasan

__________________________________
Footnote:
1.  Lihat Musnad Imam Ahmad 5114, 5115, 5667 – Majma’uz Zawa’id 6/49, 5/267, juga lihat Al-Bukhari dalam Shahih-nya 1399, Muslim dalam Shahih-nya 124
2.  Lihat Madarijus Salikin 1/13
3.  Al-Jami’ul Farid hal. 9
4.  Fat-hul Majid hal. 26
5.  Al-Fawa’id 204 – Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar hal. 13
6.  Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar hal. 14
7.  Al-Fawa’id 204 – Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar hal. 14
8.  Al-Jami’ul Farid hal. 14-15
9.  Lihat Al-Irsyad ilaa Shahihil I’tiqad war Radd ‘ala Ahlis Syirk wal Ilhad hal.10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar