Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

Hukum Seputar Haidh & Nifas

Perkara haid atau sering dinamakan menstruasi atau nifas, tidak dimengerti oleh banyak kalangan Muslimah. Sehingga pelanggaran dalam masalah ini sering terjadi dikarenakan tidak mengerti. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mengajak para Muslimah untuk memahami hukum di seputar haid dan nifas agar menjadi jelas bagi suami dan istri serta segenap remaja putri dalam mengamalkan syariah Allah dalam masalah ini. Dalam hal ini perlu adanya kejelasan bagi semua pihak, bahwa hukum Islam dalam masalah ini tidak hanya diperlukan para wanita untuk mengerti tentangnya, tetapi juga para suami yang akan berhadapan dengan urusan istrinya atau para ayah yang akan berhadapan dengan urusan putrinya yang menginjak usia baligh. Dengan demikian, pihak yang berkepentingan dengan pembicaraan masalah ini adalah segenap kaum Muslimin tidak terkecuali. Namun para wanita Muslimah, tentu lebih utama dalam kemestian untuk mengerti masalah ini.

PENGERTIAN HAID DAN NIFAS
Para Ulama' lughah dan Ulama' fiqih memberikan keterangan tentang pengertian haid / nifas untuk menjelaskan kedudukan hukumnya. Dalam hal ini antara lain disebutkan bahwa Al-Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi telah memaparkan pengertian haid itu sebagai berikut:
“Ketahuilah olehmu bahwa yang dinamakan haid itu ialah darah yang ditumpahkan oleh rahim dengan sifat tertentu. Di dalam Syari'ah telah diberitakan adanya enam nama baginya sebagai berikut:
1). Dinamakan al-haidlu dan ini adalah nama yang populer. Dan dinamakan demikian karena mengalirnya darah itu dari rahim wanita. Karena haid itu secara bahasa artinya adalah mengalir.
2). Dinamakan juga dengan at-thumtsu, Al-Farra' menyatakan: At-thumtsu itu maknanya ialah “darah yang mengalir”. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya di Ar-Rahman 56 yang memberitakan tentang para bidadari: Mereka tidak pernah diperawani oleh siapapun dari manusia dan jin.
3). Dinamakan juga dengan al-ariku , karena adanya hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang berbunyi:
“Apabila wanita telah Arikat (yakni berhaid), maka tidak halal untuk dilihat sedikitpun dari tubuhnya kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (HR. Ahmad )
4). Dinamakan juga dengan adl-dlahiku, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta`ala dalam Surat Hud ayat ke 71:
“Dan istrinya berdiri mendengar berita gembira itu, maka iapun dlahikat .” ( Hud : 71)
Al-Imam Mujahid rahimahullah menjelaskan: “Kata dlahikat di ayat ini maknanya ialah berhaid.”
5). Dinamakan juga al-ikbar , sebagaimana firman Allah dalam Surat Yusuf 31:
“Maka ketika para wanita itu melihat Yusuf, mereka pun akbarnahu .” ( Yusuf : 31)
Ibnu Abbas berkata: “Maknanya ialah bahwa para wanita itu menjadi haid ketika melihatnya.”
6). Dinamakan juga al-i'shar , sehingga hujan lebat itu dinamakan al-i'shar karena keluarnya air dari awan itu seperti keluarnya darah dari rahim dengan deras.”
Demikian Al-Imam Al-Mawardi menjelaskan istilah-istilah haid yang ada dalam Syari'ah, dan kami menukilkannya di sini dengan ringkas. Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnu Al-Arabi Al-Maliki menambahkan dua nama di samping keenam nama tersebut sebagai berikut ini:
7). Al-Farku . Dan juga yang ke 8. At-Thumsu .
Kemudian diterangkan pula oleh Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm Al-Andalusi sebagai berikut:
“Yang dikatakan haid itu ialah darah berwarna kehitam-hitaman yang kental yang baunya tidak sedap dan dengan aroma tertentu. Maka kapan saja darah yang demikian ini keluar dari kemaluan wanita, maka tidak halal baginya untuk shalat dan ….”
Al-Imam Muwaffaquddin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah menambahkan: “Haid itu adalah darah yang mengalir dari rahim wanita bila ia telah mencapai usia baligh, kemudian terus menerus darah itu keluar pada waktu-waktu tertentu.”
Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani menerangkan: “Menurut kebiasaan yang dinamakan haid itu ialah mengalirnya darah wanita dari tempat yang khusus dalam waktu yang tertentu.”
Dalam pada itu, telah diriwayatkan dialog antar Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan A`isyah Ummul Mu'minin sebagai berikut:
“A`isyah menceritakan: Kami keluar dari Al-Madinah, tidak ada tujuan kecuali untuk menunaikan haji ke Makkah. Maka ketika kami telah sampai di tempat yang bernama Sarifa, aku haid. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam ketika itu masuk ke kemahku dan aku dalam keadaan menangis. Beliau menanyai aku: Kenapa engkau, apakah engkau bernifas? Aku menjawab: Ya. Maka beliau pun menjelaskan: Sesungguhnya perkara ini adalah sebagai suatu perkara yang telah ditentukan atas anak-anak perempuan Adam. Maka tunaikanlah segenap manasik haji, kecuali thawaf di Ka'bah.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, Kitabul Haidl– Bab Al-Amru Bin Nufasa' Idza Nufisna , hadits ke 294).
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa haid itu dinamakan juga dengan nifas dalam istilah Syari'ah. Maka dengan berbagai penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Haid / nifas itu ialah keluarnya darah dari kemaluan wanita sejak ia baligh. Darah tersebut secara rutin keluar daripadanya setiap bulan sekali dalam beberapa hari sesuai dengan kebiasaan masing-masing. Sifat darah haid itu merah kehitam-hitaman dan kental dengan aroma yang tak sedap dan khas. Darah nifas itu demikian pula sifatnya dan tetapi ia keluar ketika wanita itu usai melahirkan. Dan kadang-kadang haid itu dinamakan pula dengan nifas. Dalam istilah umum haid itu dinamakan menstruasi atau datang bulan.

BEBERAPA KETENTUAN HUKUM DI SEPUTAR HAID DAN NIFAS
Adapun hukum-hukum yang berkenaan dengan haid dan nifas adalah sebagai berikut:
1). Darah haid dan nifas itu adalah darah najis dan kotor, sehingga harus disucikan dengan air dan alat-alat pensuci yang lainnya. (Lihat pembahasan masalah ini dalam SALAFY ed. 42 th. IV halaman 22 – 24, dengan judul AN-NAJASAT).
2). Wanita yang dalam keadaan berhaid ataupun bernifas, dilarang menunaikan shalat apapun, hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai berikut:
“Maka apabila datang darah haid, tinggalkanlah shalat.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya,Kitabul Haidl Bab Istihadhah dari A'isyah Ummul Mu'minin).
3). Wanita dalam keadaan berhaid ataupun dalam keadaan nifas, dilarang berpuasa wajib ataupun sunnah. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda kepada para wanita dalam rangka menerangkan betapa mereka memang adalah anak Adam yang kurang ibadahnya. Beliau menyatakan kepada mereka:
“Bukankah wanita itu bila berhaid dia tidak shalat dan tidak puasa?” Maka para wanitapun menjawab: “Bahkan memang demikian.” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallammenerangkan: “Yang demikian itulah sebagai bukti kekurangannya dalam perkara agamanya.” (HR. Bukhari dalam Shahih Bab Tarkul Ha'idl As-Shauma dari Abi Sa'id Al-Khudri radliyallahu `anhu ).
4). Wanita dalam keadaan berhaid ataupun nifas tidak dihalalkan thawaf di sekeliling Ka'bah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam tentang masalah ini kepada A'isyah yang sedang berhaid:
“Tunaikanlah manasik hajimu kecuali thawaf di Ka'bah, sampai engkau suci.” (HR. Bukhari )
5). Wanita dalam keadaan berhaid ataupun nifas, tidak dihalalkan untuk beri'tikaf atau tinggal di masjid. Hal ini sebagaimana telah dinyatakan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabdanya sebagai berikut:
“Adapun masjid, maka aku tidak menghalalkannya untuk orang yang junub dan tidak halal pula untuk wanita yang sedang berhaid.” (HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi dalam Sunan keduanya dari A'isyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha ).
6). Wanita dalam keadaan haid ataupun nifas tidak dihalalkan untuk berhubungan seks dengan suaminya. Hal ini sebagaimana yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sebagai berikut:
“Perbuatlah segala sesuatu, kecuali hubungan seks.”
Yakni boleh bagi suami bermesrahan dengan istrinya ketika dalam keadaan haid atau nifas dengan memperbuat segenap tubuhnya kecuali kemaluannya tidak boleh dimasuki oleh kemaluan suami.
7). Suami dilarang menjatuhkan cerai kepada istrinya bila si istri dalam keadaan sedang berhaid dan atau sedang bernifas. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallammemerintahkan kepada Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab untuk merujuk kembali istrinya yang telah diceraikannya dalam keadaan haid. Sebagaimana hal ini telah diriwayatkan oleh Nafi'maula Ibni Umar sebagai berikut:
“Dari Abdillah bin Umar radliyallahu `anhuma , beliau menceritakan bahwa beliau pernah di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menceraikan istrinya dan sang istri dalam keadaan haid. Maka Umar bin Al-Khattab melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam . Maka beliau pun bersabda: .” (HR. Bukhari dalam Shahih nya, Kitabut Thalaq Fathul Bari jilid 9 hal. 345, hadits ke 5251})
Yakni sejak dijatuhkannya thalaq / cerai setelah suci yang kedua itu, maka mulailah dihitung masa `iddah bagi wanita yang telah dicerai oleh suaminya. Yaitu masa di mana wanita yang dicerai itu dilarang menikah atau membicarakan rencana pernikahan dengan pria lain sampai tiga kali haid dan atau tiga kali masa suci darinya.
( B E R S A M B U N G )
1. Al-Hawi Al-Kabir , Al-Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, jilid 1 hal. 463 – 465. Darul Fikr Beirut – Libanon, cet. Th. 1414 H / 1994 M.
2. Ahkamul Qur'an , Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnul Arabi Al-Maliki, jilid 1 hal. 159. Daru Ihya'il Kutub Al-Arabiah, cet. Th. 1376 H / 1957 M.
3. Al-Muhalla Bil Aatsar , Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'ied bin Hazm Al-Andalusi, jilid 1 hal. 380, masalah ke 254. Darul Fikr Beirut – Libanon, tanpa tahun.
4. Al-Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaibani , Al-Imam Ibnu Qudamah, jilid1 hal. 188. Darul Fikr Beirut – Libanon, cet. Th. 1405 H / 1985 M.
5. Fathul Bari , Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, jilid 1 hal. 399. Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.


Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar