Powered By Blogger

Selasa, 18 Januari 2011

Prahara Dakwah Salafiyah

Dalam tulisan ini saya berupaya mendudukan berbagai bentuk kerancuan yang sempat menghinggapi pemahaman Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah agar kiranya menambah kejelasan bagi pembaca sekalian, bahwa kesan perpecahan yang muncul di mata masyarakat itu sesungguhnya tidaklah benar. Yang benar ialah adanya kesimpangsiuran pada sebagian orang yang mengaku berpemahaman Salaf, tetapi sesungguhnya pemahamannya sudah terkontaminasi oleh berbagai penyimpangan.
            Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah merambat di banyak wilayah di Indonesia dan sekitarnya sejak dulu kala. Namun digenerasi ini, dakwah yang mulia ini telah terkontaminasi (yakni terkena berbagai kerancuan) oleh berbagai pemikiran lain yang menyimpang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai kerancuan yang menghinggapi dasar pemahaman Dakwah Salafiyah akhir-akhir ini di Indonesia, banyak menimbulkan kesan adanya perpecahan di kalangan Salafiyyin (para penganut pemahaman Salafus Sholeh). Kesan-kesan perpecahan itulah yang saya maksudkan dengan prahara Dakwah Salafiyah di Indonesia.
            Dalam Tulisan ini saya berupaya mendudukan berbagai bentuk kerancuan yang sempat menghinggapi pemahaman Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah agar kiranya menambah kejelasan bagi pembaca sekalian, bahwa kesan perpecahan yang muncul di mata masyarakat itu sesungguhnya tidaklah benar. Yang benar ialah adanya kesimpangsiuran pada sebagian orang yang mengaku berpemahaman Salaf, tetapi sesungguhnya pemahamannya sudah terkontaminasi oleh berbagai penyimpangan. Adapun berbagai kerancuan itu adalah sebagai berikut:

            Salafiyatul Aqidah Ashriyatut Tandhim wal Harakah yakni suatu pergerakan yang pemahaman aqidahnya mengambil dari aqidah Salaf, sedangkan sistem pergerakannya memakai sistem kekinian. Yang dimaksud dengan ungkapan ini ialah upaya menggabungkan berbagai pola dakwah antara Salafiyah dengan berbagai pola pergerakan khalafiyah [1] yang pada umumnya berbau hizbiyyah [2] . Orang-orang yang mempunyai ungkapan demikian akan beranggapan bahwa konsep dakwah Salafiyah yang bisa diambil untuk pergerakan di masa kini hanyalah sisi aqidahnya saja. Sedangkan sisi pergerakannya menurut anggapan mereka, Salaf tidak memmiliki konsep pergerakan masa kini. Melalui pandangan yang demikian ini, terjadilah kerancuan dalam memahami Manhaj Salaf (Manhaj itu maknanya ialah metodologi atau sistem pemahaman, pengamalan dan sistem perjuangan. Dan Manhaj Salaf itu maknanya ialah pemahaman dan pengamalan Islam yang merujuk kepada generasi Salafus Shalih ).
            Kerancuan tersebut menghalangi Ummat Islam untuk memahami Islam dengan cara yang benar sebagaimana yang telah diwariskan oleh generasi Salafus Shalih. Padahal sesungguhnya segala malapetaka yang menimpa Ummat Islam di seluruh dunia di masa kini, adalah sebagai akibat mereka meninggalkan cara beragama Salafus Shalih. Sementara kenyataannya, konsep perjuangan yang lainnya sampai hari ini tidak mampu membuktikan dirinya sebagai konsep perjuangan alternatif yang dapat mengentaskan Ummat Islam dari problem yang mengepungnya.         
            Yang membawa pemahaman semacam ini ke Indonesia –ketika saya pulang ke tanah air dari Pakistan pada bulan September th. 1989- ialah para alumni berbagai perguruan tinggi di Saudi Arabia, seperti alumni Universitas Imam Muhammad bin Su'ud, Universitas Ibnu Su'ud, yang keduanya berada di kota Riyadh. Juga para alumni Universitas Ummul Qura Makkah Al Mukarramah dan Universitas Islam Al Madinah An-Nabawiyah. Mereka mendapatkan pemikiran tersebut dari berbagai kegiatan training center (TC) di kampus selama masa perkuliahan. Berbagai kegiatan TC tersebut biasanya didominasi oleh kelompok Ikhwanul Muslimin bentukan Hasan Al-Banna. Ketika saya menyeru mereka untuk merujuk kepada pemahaman agama kepada Salafus Shalih (yaitu para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam , para Tabi'in, dan para Tabi'it Tabi'in), mereka tidak merasa asing dengan seruan itu. Tetapi dalam kegiatan pesantren kilat yang mereka adakan untuk para mahasiswa baru di Indonesia, masih saja mereka memakai kitab-kitab campuran antara pemahaman Salaf dengan kitab-kitab rujukan utama Ikhwanul Muslimin. Dengan perincian sebagai berikut:
1.      Dalam bidang aqidah, mereka memakai Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama dari kalangan Salafy Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
2.      Dalam bidang wawasan dakwah, yang dikaji ialah kitab Jundullah Akhlaqan wa Tsaqafatan karya Sa'ied Hawwa. Yang ini dari kalangan Ikhwanul Muslimin.
3.      Dalam bidang wawasan pergerakan, yang dipakai adalah kitab Al-Islam karya Sa'id Hawwa. Juga dari kalangan Ikhwanul Muslimin
Ketiga rujukan ini menunjukkan betapa rancunya pemahaman Islam yang disuguhkan kepada Ummat Islam melalui acara pesantren kilat tersebut.
            Tetapi alhamdulillah , kegiatan model demikian ini tidak berlangsung lama. Karena setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya dibacakanlah kepada mereka sebuah kitab kecil berjudul Waqafat Ma'a Kitab lid Du'ah Faqath karya Muhammad bin Saif Al-Ajami. Pada kitab tersebut diuraikan kritikan tajam secara ilmiah terhadap berbagai pemahaman agama yang ada pada Hasan Al-Banna, Umar Tilmasani, Sa'id Hawwa, Fathi Yakan dan lain-lainnya, yang merupakan pendiri dan para tokoh Ikhwanul Muslimin. Dengan dibacakannya kitab ini, kelompok pengajian di Yogyakarta yang didirikan oleh para alumni berbagai perguruan tinggi di Saudi Arabia itu, akhirnya mayoritas mereka mau mengoreksi manhaj campuran Salaf dengan Ikhwanul Muslimin ini. Koreksi yang dibeberkan dalam kitab kecil tersebut menyadarkan banyak pihak bahwa untuk mengikuti manhaj Salaf itu tidak boleh setengah-setengah, akan tetapi harus dengan sepenuh hati dan sepenuh aspek kehidupan. Karena manhaj Salaf itu akan mengantarkan kita kepada kesempurnaan Islam dalam menjawab segala macam problem kehidupan di dunia ini, apakah dalam bidang aqidah, ataukah dalam bidang ibadah, maupun dalam bidang akhlaq. Dalam istilah masa kini, bahwa Islam itu menjawab segala problem dalam bidang poleksosbudhankamrata (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan rakyat semesta). Tidak ada satu bidang kehidupan yang luput dari pembicaraan manhaj Salaf dalam memahami tuntunan Islam tentang bidang kehidupan ini. Jadi tidak ada keperluan sama sekali untuk mengadopsi manhaj lain dalam memahami dan mengamalkan Islam, apalagi dalam bidang pergerakan. Demikianlah yang dinasehatkan oleh para imam Salafus Shalih dalam beberapa riwayat sebagai berikut:
1.      Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib radhiyallahu ‘anhuma menasehatkan: “Kalian harus beristiqomah dan mengikuti Al-Atsar (yakni riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallamserta para shahabat beliau, pent) dan hati-hatilah kalian dari perbuatan membuat kebid'ahan.” Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 1 hal. 339-349 riwayat ke-206.
2.      Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa Abu Darda' radhiyallahu ‘anhu menyatakan: “Jadilah kamu orang yang berilmu atau orang yang belajar ilmu; atau orang yang mendengarkan ilmu atau pencinta ilmu; dan janganlah kamu menjadi pihak kelima, niscaya kamu akan binasa.” Al-Hasan Al-Basri menerangkan: “Yang dimaksud pihak kelima disini ialah ahli bid'ah.” Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari jilid 1 hal. 341 riwayat ke-210.
3.      Abdullah bin Mas'ud menasehatkan: “Ikutilah oleh kalian ajaran Nabi MuhammadShallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam dan janganlah kalian membikin bid'ah, karena telah cukup Islam ini bagi kalian.” Riwayat Ibnu Abi Zamanin dalam Ushulus Sunnah riwayat ke-11.
4.      Abul Aliyah Ar-Riyahi rahimahullah menyatakan: “Belajarlah kalian tentang agama Islam. Maka bila kalian telah mempelajarinya, janganlah kalian membencinya. Wajib atas kalian untuk menjalani cara beragama yang lurus, karena Islam itu adalah agama yang lurus dan jangan kalian menyimpang daripadanya ke kanan atau ke kiri. Dan wajib kalian berpegang dengan Sunnah Nabi kalian (yakni segenap ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa'alaihi wasallam, pent), dan hati-hatilah kalian dari berbagai hawa nafsu yang akan melemparkan api permusuhan dan kebencian di antara pengikut hawa nafsu itu.” Beliau mengingatkan bahaya hawa nafsu ini berulang-ulang. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra riwayat ke-202.
5.      Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menasehatkan: “Rasulullah dan para penguasa sepeninggal Beliau [3] telah mewariskan ajaran-ajaran Islam. Berpegang dengannya berarti membenarkan Islam, merupakan kesempurnaan ketaatan kepada Islam, serta sebagai kekuatan dalam berpegang dengan agama Allah. Tidak ada seorangpun yang berhak merubahnya dan tidak ada pula yang berhak untuk menoleh kepada pikiran siapa saja yang menyelisihinya. Maka barangsiapa yang mengikuti apa yang mereka ajarkan, maka sungguh dia telah mendapat petunjuk. Barangsiapa yang ingin mencari kejelasan dengannya maka sungguh dia akan mendapatkan kejelasan. Dan barangsiapa yang menyelisihinya dan mengikuti cara beragama selain kaum Mu'minin, maka sungguh dia akan dipalingkan oleh Allah kepada apa yang dia berpaling padanya dan Allah akan masukkan dia ke neraka Jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Abul Qasim Al-Lalikai dalamSyarah Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah riwayat ke-134.
Setelah upaya menjelaskan dan mendudukan Manhaj Salaf dilakukan dengan sedemikian gamblang, tetap saja masih ada beberapa kelompok pengajian yang memakai model campuran antara pemahaman Salafus Shalih dengan pemahaman khalafiyah di beberapa tempat di Indonesia. Kelompok tersebut masih saja dianggap oleh sebagian orang sebagai kelompok Salafi. Akibatnya terkesan bahwa pengikut gerakan Salafiyah telah berpecah belah. Dan kesan yang demikian ini menjadi fitnah tersendiri bagi banyak kalangan Muslimin untuk memahami Manhaj Salaf.
As-Sururiyyah sebagai bentuk lain dari upaya modifikasi pemahaman Ikhwanul Muslimin dengan Salafiyyah. Penggagasnya ialah Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Sang penggagas berupaya menampilkan diri sebagai seorang yang telah bertaubat dari pemikiran Ikhwanul Muslimin Hasan Al-Banna. Namun penampilan pura-pura taubat ini adalah dalam rangka manuver penyusupan di kalangan Salafiyyin. Dan pemikiran yang dibawa olehnya dari Hasan Al-Banna untuk dipasarkan di kalangan Salafiyyin adalah slogan utama gerakan tersebut yang berbunyi: Nata'awanu fi mattafaqna wa na'tadziru ba'dluna ba'dlan fi makhtalafna (yakni: Kami saling tolong-menolong dalam apa saja yang kita sepakat padanya dan kami saling memaafkan dalam apa saja yang kami berselisih padanya).
Slogan ini sedemikian mutlaknya sehingga hampir tidak ada batasannya. Akibatnya, gerakan Ikhwanul Muslimin bisa kerjasama dengan Yahudi dan Nashara, bahkan dapat pula kerjasama dengan kelompok Sosialis – Komunis dalam suatu perjuangan. Karena dengan kelompok manapun, pada dasarnya mempunyai sisi kesamaan walaupun mempunyai perbedaan dalam perkara yang sangat prinsip.
Menurut mereka, kaum Muslimin mempunyai kesamaan dengan Yahudi dan Nashara dalam sisi sebagai sama-sama penganut agama samawi, sama-sama memuliakan Nabi Musa dan Nabi Isa ‘ alaihimas salam , walaupun mempunyai perbedaan yang sangat prinsip dengan Islam dalam perkara konsep Ketuhanan Allah Ta'ala dan perkara kenabian Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam . Kita mentauhidkan Allah dalam segala Rububiyah-Nya, sifat-sifat-Nya, Nama-nama-Nya yang Maha Mulia dan mentauhidkan-Nya dalam Uluhiyah-Nya sebagai satu-satunya pihak yang berhak mendapatkan persembahan peribadatan dari segenap makhluk. Sebaliknya Yahudi dan Nashara, mereka menyekutukan Allah dalam segala perkara tersebut. Kita meyakini bahwa Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam adalah Nabi dan Rasul Allah. Segala yang diberitakan kepada kita adalah kebenaran dan tidak ada unsur kedustaannya sedikitpun. Sedangkan orang-orang Yahudi dan Nashara sama sekali tidak beriman kepada MuhammadShallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam dan dengan apa yang dibawa olehnya. Bahkan mereka menganggap bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam adalah pendusta. Demikian tajam perbedaan kita dengan Yahudi dan Nashara. Namun dengan qaidah Al-Banna tersebut, dimungkinkan kaum Muslimin untuk bersatu barisan dan bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashara itu dalam satu perjuangan. Karena prinsipnya dimungkinkan untuk saling tolong-menolong dalam perkara yang kita sepakati dan kita bisa saling memaafkan dalam perkara yang kita berbeda pendapat padanya.
Demikian pula dengan qaidah Al-Banna ini, ummat dimungkinkan untuk bersatu barisan dengan Ahlul Bid'ah yang paling sesat sekalipun, bahkan Ahlul Bid'ah yang telah keluar dari Islam karena kebid'ahannya yang terlalu jauh. Sehingga dengan demikian qaidah banna'iyah ini menghancurkan prinsip utama dalam aqidah Islamiyah, yaitu prinsip Al-Furqon . Yaitu prinsip yang mengharuskan adanya sikap membedakan antara yang benar dari yang bathil, yang Sunnah dari yang Bid'ah, dan yang Islam dari yang kufur. Kehancuran prinsip Al-Furqan ini akan berakibat terjadinya proses pengkaburan agama yang amat dahsyat dan kerancuan. Begitulah kerusakan yang diakibatkan oleh qaidah Al-Banna tersebut.
Kemudian muncullah qaidah serupa dari Muhammad Surur yang terkenal dengan nama qaidahmuwazanah . Secara bahasa, Al-Muwazanah itu artinya ialah keseimbangan yang maksudnya adalah keadilan. Dalam kaitannya dengan qaidah pergerakan, yang dimaksud dengan Al-Muwazanah itu ialah apa yang diistilahkan oleh Muhammad Surur sebagai sikap adil terhadap adanya keragaman dalam pergerakan. Katanya, bahwa dalam rangka bersikap adil, kita harus mengakui nilai positif berbagai kelompok dan aliran pemahaman Islam, disamping adanya unsur negatifnya. Sikap yang demikian ini mereka terapkan terhadap Ahlul Bid'ah atau terhadap kelompok dan tokoh yang ada di luar lingkaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Tetapi anehnya sikap ini tidak berlaku bagi Ahlus Sunnah dan para Ulama'nya. Terhadap Ahlus Sunnah dan terhadap para Ulama'nya, tidak ada lagi pertimbangan Al-Muwazanah . Bahkan mereka sangat keras dalam merendahkan dan mengejek pada Ulama'nya. Salah satunya, Muhammad Surur sempat menyatakan bahwa buku-buku karya para Ulama' yang berkenaan dengan aqidah itu adalah karya tulis yang kaku dan kasar. Dia menyatakan pula bahwa para Ulama yang tidak mengkritik pemerintahnya di depan umum, adalah para Ulama yang masuk dalam jaringan piramid kekuasaan para thagut. Dan masih banyak lagi pelecehan terhadap para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tanpa mempertimbangkan qaidah al-muwazanah yang dia bangun sendiri.
Apa yang telah diletakkan oleh Muhammad Surur dengan istilah qaidah muwazanah tersebut adalah dalam rangka menuju upaya penegakkan qaidah Hasan Al-Banna tersebut diatas. Yaitu berkerjasama dengan siapapun dalam sisi kesamaannya dan saling memaafkan pada sisi yang berbeda. Dengan kata lain, berkerja sama dalam sisi positifnya dan toleran dalam sisi negatifnya. Dari sini kemudian tampillah tokoh lain yang bernama A'id Al-Qarni. Dia mengkampanyekan ide pergerakan Islam yang menampung berbagai sisi kelebihan dari berbagai pergerakan. Kata penggagas ini, sisi kekuatan aqidah diambil dari Salaf . Kemudian sisi sistem kedisiplinan bertandhim diambil dari Ikhwanul Muslimin. Dalam hal sistem pendidikan rohani diambil dari gerakan thariqat sufiyah semacam Jama'ah Tabligh. Dalam hal semangat jihad diambil konsep Jama'atul Jihad pimpinan Dr. Umar Abdurrahman. Dalam perkara konsepsi politik; diambil konsep dari Hizbut Tahrir yang terkenal dengan gerakan untuk memperjuangkan berdirinya kembali apa yang dinamakan Khalifah Islamiyah. Untuk lebih menyakinkan kalangan Salafiyyin, tampillah Salman bin Fahad Al-Audah menulis buku-buku tentang masalah ini dalam Silsilatul Ghuraba' . Uraiannya dalam buku-buku tersebut menggiring pembaca untuk meyakini bahwa Al-Firqatun Najiah (Kelompok yang selamat), At-Tha'ifah Al-Mansuroh (kelompok yang dimenangkan oleh Allah), dan Al-Ghuraba' (orang-orang yang dianggap asing karena menjalankan agamanya dengan benar), tidak tertumpu pada satu golongan saja dari ummat ini, akan tetapi ia adalah simbol-simbol kemuliaan bagi segenap kelompok ummat dengan potensi masing-masing. Tampil pula Abdurrahman Abdul Khaliq untuk meyakinkan Salafiyyin agar jangan menumpahkan perhatian kepada ilmu Qur'an dan Al-Hadits saja, akan tetapi harus pula menumpahkan perhatian kepada ilmu-ilmu yang sifatnya keduniaan. Ulama' yang dimuliakan oleh Allah Ta'ala itu bukan hanya Ulama Ahlil Hadits saja, akan tetapi para Ulama dalam berbagai bidang disiplin ilmu-ilmu yang untuk kemaslahatan kaum Muslimin juga dimuliakan oleh Allah Ta'ala. Bahkan Abdurrahman Abdul Khaliq sangat keras mengecam para Ulama Ahlil Hadits dan menggelarinya dengan “Cetakan Lama yang Perlu Revisi”. Juga dalam rangka bahu-membahu membangun prinsip ini, Dr. Nasir Al-Umar mengkampanyekan pentingnya apa yang dinamakan “Fiqhul Waqi'”, sebagai ilmu yang sebanding dengan ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dan fardhu ‘ain atas setiap muslim untuk mempelajarinya. Fiqhul Waqi' itu maknanya ialah wawasan kekinian dan kedisinian. Yaitu mengikuti perkembangan masa kini dan apa yang terjadi disini, melalui media massa. Biasanya pelajaran wajib seperti ini kalau di kalangan Ikhwanul Muslimin dinamakan “ Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah. 
Maka lengkaplah gerbong Sururiyah dalam membangun rumah kardus yang amat indah menakjubkan bagi yang memandangnya sepintas. Namun seindah apapun rumah itu, tetap saja dia itu sebagai rumah kardus yang akan mudah untuk roboh diterpa angin sepoi-sepoi dan hujan rintik-rintik. Karena rumah ini sangat rapuh dan untuk merobohkannya tidak perlu angin ribut dan tidak perlu pula hujan badai. Berbagai pemikiran yang dilontakannya bagi banyak orang, seakan indah dan sebagai hujjah yang kokoh. Namun semua itu  adalah kabut syubhat yang akan sirna dalam sekejab, tidak menunggu berhari-hari. Sementara syubhat itu sendiri maknanya ialah kekaburan batas-batas agama antara al-haq dengan al-bathil , antaraas-sunnah dengan al-bid'ah, at-tauhid dengan as-syirik , dan al-halal dengan al-haram dan begitu selanjutnya. Padahal agama Allah telah menjelaskan dengan jelas dan gamblang tentang batas-batas itu. Tentu jawaban yang paling tepat terhadap berbagai syubhat itu adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagaimana yang telah dipahami para Salafus Shalih. Agar runut jawabannya, baiklah kita bahas satu persatu berbagai syubhat itu sebagai berikut:
1.    Apakah kita bisa berkerja sama dengan siapa saja yang mempunyai sisi kesamaan pandangan dan apakah kita bisa memaklumi segala macam perbedaan dalam rangka membangun upaya kerjasama?
Untuk menjawab pertanyaan ini, haruslah kita kembalikan jawabannya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ada sebuah ayat Al-Qur'an yan menjadi dasar pandang bagi kita dalam membangun kerjasama dengan sesama kaum Muslimin. Yaitu surat Al-Maidah 2:
“ Dan saling tolong-menolonglah kalian di atas kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran hukum Allah.” (Al-Maidah:2)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini dalam kitab beliau berjudul Ar-Risalah At-Tabukiyyah sebagai berikut:
Ayat ini membimbing kepada pengertian tentang kewajiban seorang hamba Allah terhadap sesama makhluk, dan kewajiban hamba berkenaan dengan hubungan antara dia dengan Al-Haq (Yakni Allah Ta'ala). Tidak akan sempurna pelaksanaan kewajiban pertama, kecuali dengan menyingkirkan perantara (antara dia dengan Allah dalam niat mengamalkannya), serta menunaikan segenap kewajiban itu semata-mata sebagai nasehat, berbuat baik, dan menjaga batas-batas hukum Allah. Sedangkan kewajiban kedua tidak akan sempurna kecuali bila menyingkirkan makhluk dalam hubungan dengan Allah, dan menunaikan segala kewajiban ibadah kepada Allah dengan ikhlas karena-Nya dan cinta kepada-Nya serta menyadari bahwa diri ini adalah hamba Allah.”
Demikian Ibnu Qayyim menjelaskan tentang prinsip hubungan kerjasama saling tolong-menolong di antara sesama Muslimin. Dimana kerjasama itu harus dalam rangka menjaga batas-batas hukum Allah yakni hukum Syari'ah Islamiyah.
Adapun hubungan kerjasama dan saling tolong-menolong dengan orang-orang kafir, telah diterangkan oleh Allah Ta'ala batasannya adalah sebagai berikut:
“ Janganlah kaum Mu'minin menjadikan orang kafir sebagai sahabat-sahabat selain dari kalangan kaum Mu'minin. Barangsiapa yang berbuat demikian maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah dalam segala masalah. Kecuali bila kalian dalam keadaan takut dari mereka. Dan Allah mengancam kalian dengan hukuman-Nya. Dan kepada Allah-lah kalian akan kembali.” Ali Imran: 28 )
Ibnu Jarir At-Thabari dan Ibnu Abi Hatim rahimahullah telah meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma  sebagai berikut:
“Allah telah melarang kaum Mu'minin untuk berlembut-lembut dengan orang kafir dan melarang menjadikan mereka sebagai tempat berlindung dengan mengesampingkan kaum Mu'minin sebagai tempat berlindung. Tetapi bila orang-orang kafir itu dalam posisi sebagai penguasa terhadap mereka, maka kaum Mu'minin bisa menampakkan sikap lemah lembut terhadap mereka, tetapi menyelisihi mereka dalam perkara agamanya. Karena Allah Ta'ala telah berfirman: “ kecuali karena kalian takut dari orang-orang kafir itu .” Demikian diterangkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu tentang makna ayat tersebut. Jadi dengan demikian, tidaklah bisa diterima memutlakkan bolehnya berkerja sama dengan siapapun dalam perkara yang disepakati dan memaafkan sebagian atas sebagian yang lainnya dalam perkara yang diperselisihkan. Kerjasama itu boleh dilakukan dengan sesama kaum Muslimin, bila dalam rangka amalan shalih dan taqwa kepada Allah Ta'ala dan dalam batas-batas Syari'at Allah. Demikian pula kerjasama dengan orang-orang kafir, tidak boleh sampai memberi peluang untuk menjual prinsip agama dan harus dilakukan dalam perkara-perkara tertentu yang dibutuhkan kaum Muslimin dengan cara yang dituntunkan oleh Syari'at Allah.
Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan adanya kerjasama bahu-membahu antara Ahlus Sunnah wl Jama'ah dengan Ahlul Bid'ah wal Furqah. Karena keduanya sangat berbeda dan sangat bertentangan prinsip agamanya. Dmikian pula antara kafir harbi (Yakni orang kafir yang sedang memusuhi dan memerangi kaum Muslimin) dengan kaum Muslimin, tidak mungkin berkerja sama dalam segala masalah. Apalagi dalam perjuangan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala.
2.    Apakah masuk akal bila kita disuruh mengambil berbagai bentuk pergerakan dari berbagai kelompok hizbiyah, dengan alasan demi mengambil “kelebihan” kelompok-kelompok pergerakan tersebut? Padahal dalam ilmu dan amal yang diwariskan kepada kita oleh para Salafus Sholeh itu telah lengkap dalam segala bidangnya, apalagi bidang yang menyangkut cara perjuangan. Dalam hal ini Al-Imam Al-Auza'i menasehatkan: “Bersabarlah kalian dalam berpegang dengan As-Sunnah dan berhentilah engkau pada apa yang para Salafus Shalih itu berhenti. Dan berkatalah dengan apa yang mereka katakan, dan tahanlah dirimu dari apa yang mereka telah menahan diri padanya, dan tempuhlah jalan para Salafus Shalih. Niscaya engkau akan mendapat kelapangan sebagaimana kelapangan yang mereka dapatkan.” Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Abul Qasim Al-Lalika'i dalam kitab beliau Syarah Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah jilid 1 hal 154-155 riwayat ke 315.
3.    Apakah ilmu-ilmu dunia selain Al-Qur'an dan Al-Hadits itu sejajar dengan kedua ilmu tersebut dan apakah para ilmuwan dalam berbagai ilmu dunia itu sejajar kedudukannya dengan para Ulama‘ Ahli Al-Qur'an dan Al-Hadits? Jawabannya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam sebagai berikut:
“ Baransiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, niscaya Allah jadikan dia paham tentang agama. Aku hanyalah pembagi, sedangkan Allah sajalah yang memberi. Dan ummat ini akan terus menerus berusaha menegakkan agama Allah, tidak akan merugikan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka, sehingga datang keputusan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahihkeduanya. Dan hadits ini dari lafadh riwayat Al-Bukhari. Lihat Fathul Bari juz 1 hal. 164 babMan Yuridillahu Khairan Yufaqqihu Fid-Dien no. 71 dari Muawiyah bin Abi Sofyan radliyallahu ‘anhuma )
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah ketika menerangkan hadits ini menyatakan: “Pengertian yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa orang yang tidak belajar kaidah-kaidah agama Islam dan berbagai cabang-cabang Ilmu daripadanya, maka dia diharamkan dari kebaikan.” Kemudian beliau menambahkan keterangannya: “Karena orang yang tidak mengerti tentang urusan agamanya, maka dia tidak dikatakan sebagai orang yang faqih dan bukanlah orang yang belajar fiqih. Maka sepantasnyalah orang yang demikian ini dikatakan bahwa dia tidak diingini kebaikannya. Dengan demikian maka jelaslah disini, betapa keutamaan para Ulama' di hadapan sekalian manusia, dan juga menunjukkan keutamaan ilmu yang untuk memahami agama dibanding dengan sekalian ilmu-ilmu yang lainnya.” Demikian Ibnu Hajar Al-Asqalani menerangkan dalam Fathul Bari jilid 1 hal. 163, keterangan bagi hadits ke. 71.
4.    Apakah mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berarti tidak mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya? Jawabannya tidaklah demikian. Hanya saja para Ulama dengan dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua bagian, yaitu:
a.       Ilmu yang fardlu ‘ain , yaitu ilmu yang wajib atas diri setiap Muslim untuk mempelajarinya, berupa ilmu-ilmu yang berkenaan dengan pengenalan kita kepada Allah Ta'ala, dan Rasul-Nya, dan Kewajiban-kewajiban Agama-Nya.
b.      Ilmu yang fardhu kifayah , yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh masyarakat Muslimin, berupa ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan kaum Muslimin di dunia ini. Seperti ilmu kedokteran, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan sebagai sarana kehidupan di dunia. Bila ilmu-ilmu tersebut telah dipelajari oleh sekelompok Muslimin, maka gugurlah kewajiban itu bagi kaum Muslimin lainnya.
Demikian diterangkan oleh Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Maqdisi (meninggal pada th. 742 H) dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin .

Jadi kalau Abdur Rahman Abdul Khaliq dan Dr. Nasir Al-Umari menyerukan agar Salafiyyin jangan hanya mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka seruan itu salah alamat. Karena Salafiyyin tidaklah seperti yang digambarkan oleh keduanya, yaitu kalau mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah berarti antipati terhadap ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun kalau yang dimaksud dengan seruannya itu adalah untuk mengecilkan atau merendahkan para Ulama Ahlil Hadits dan kemudian mengeluk-elukkan para tokoh pergerakan yang banyak dari kalangan teknokrat, maka tentu yang demikian ini adalah makar terhadap Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Sayang sekali, keumuman orang sulit mengenali makar mereka sehingga banyak orang menganggap bahwa mereka juga termasuk Salafiyyin. Akibatnya perbedaan yang tajam dan frontal antara mereka dengan Salafiyyin yang betul-betul merujuk kepada Ulama Ahlul Hadits, terkesan oleh banyak orang sebagai perselisihan diantara kalangan Salafiyyin sendiri. Atau dengan kata lain sebagai perpecahan di kalangan Salafiyyin.
[1] .Pola pergerakan Khalafiyah itu artinya pergerakan dan perjuangan yang berdasarkan pemikiran Khalaf. Sedangkan pemikiran Khalaf itu ialah pemikian yang menyimpang dari Salafus Shalih dan banyak dipengaruhi oleh Ilmu Kalam dan berbagai pemikiran filsafat yang meracuni pemahaman agama kaum Muslimin di masa kini. Seperti Materialisme, Demokratisme, Liberalisme, dan lain-lainnya
[2]   Hizbiyyah itu maknanya ialah melakukan penggolongan di kalangan Ummat Islam dengan tidak berdasarkan tuntunan Syari'ah.
[3] Yakni para penguasa yang dinamakan dengan Al-Khulafa' Ar-Rasyidin Al-Mahdiyyin, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum ajma'in .
Haddadiyah yaitu bentuk lain peyusupan pemahaman dari kalangan yang berpandangantakfiriyah ke dalam kalangan Salafiyyin. Takfiriyah itu sendiri maknanya ialah pemahaman sesat yang cenderung mengkafirkan kaum Muslimin di luar komunitasnya hanya karena dosa-dosa yang dilakukannya. Sedangkan haddadiyah berpandangan bahwa seorang Muslim bila telah melakukan perbuatan bid'ah, maka dia dihukumi sebagai ahlul bid'ah dan keluar dari kedudukannya sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Orang yang pertama kali mengkampanyekan pemikiran ini adalah Abu Abdillah Mahmud bin Muhammad Al-Haddad Al-Masri. Orang ini semula menampilkan diri sebagai thalibul ilmi yang amat tekun menuntut ilmu di majlisnya para Ulama' seperti As-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali dan lain-lainnya. Tetapi dia kemudian menampilkan pemikiran-pemikiran anehnya sebagaimana yang disebutkan diatas.

Keanehan pemikiran haddadiyah itu sesungguhnya terletak pada syubhat (pengkaburan) yang dibuatnya dalam perkara Qa'idah Aamah dengan Qa'idah Ta'yin ketika menghukumi orang yang berbuat / berkata bid'ah atau orang yang padanya terdapat perbuatan / perkataan yang mengandung kekafiran. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Qa'idah Aamah itu ialah kaidah umum yang merupakan hukum yang mengikat semua Muslim pria dan wanita. Di mana telah ditetapkan bahwa setiap orang yang berbuat kemusyrikan itu adalah musyrik dan setiap orang yang berbuat kekafiran maka dia itu adalah kafir. Demikian pula hukumnya atas orang yang berbuat bid'ah, maka dia adalah ahlul bid'ah. Tetapi dalam penerapan kaidah ini pada seorang individu yang berbuat atau berkata dengan kekafiran, kemusyrikan dan kebid'ahan, masih ada apa yang dinamakan mawani' (beberapa penghalang) sebelum suatu vonis dijatuhkan. Adapun mawani' tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Pelaku perbuatan / perkataan kufur, bid'ah atau syirik itu dalam keadaan tidak tahu dan belum sampai ilmu padanya. Maka tentu orang yang demikian, tidak bisa dikafirkan atau divonis musyrik atau mubtadi' (ahli bid'ah).
2.         Pelaku perbuatan / perkataan kufur, bid'ah atau syirik itu dalam keadaan terpaksa melakukan berbagai perbuatan itu karena takut dari ancaman pihak lain. Padahal dia meyakini bahwa perbuatan itu adalah kufur, bid'ah, dan syirik. Maka orang yang demikian tidak bisa divonis sebagai orang kafir, musyrik, dan mubtadi'.
Maka bagaimana pula kalau pelaku itu dalam keadaan sekaligus jahil dan terpaksa. Tentu lebih tidak mungkin lagi untuk divonis dengan berbagai vonis-vonis itu. Oleh sebab itu dalam rangka menjatuhkan vonis-vonis tersebut terhadap individu atau kelompok tertentu, haruslah dengan apa yang dinamakan Qa'idah Ta'yin . Yaitu kaidah-kaidah yang harus ditegakkan dalam menjatuhkan vonis-vonis agama terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Dalam kaidah ini dijelaskan, bahwa untuk menjatuhkan satu vonis kepada individu atau kelompok tertentu, haruslah dijalankan proses sebagai berikut:
1.      Tabayyun (mencari kejelasan) dan tatsabbut (mencari kepastian). Yaitu mencari kejelasan dan kepastian apakah dia telah mengucapkan dan atau mengerjakan amalan kufur, bid'ah atau fasiq.
2.      Bila memang benar dapat dipastikan bahwa dia telah mengucapkan dan mengerjakan amalan dan perkataan tersebut, maka harus dijalankan pada individu tersebut upaya iqamatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi), menjelaskan tentang kebenaran apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dan kebatilan segala yang menyimpang dari padanya. Dalam upaya kedua ini akan dapat diketahui, apa sesungguhnya motif pelaku amalan atau perkataan kufur, bid'ah dan maksiat itu. Apakah karena tidak mengerti ketika melakukan atau mengatakannya, atau karena terpaksa, ataukah karena memang benar dia sengaja melakukan dan mengatakannya dalam rangka ingkar kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Maka bila didapati bahwa dia melakukan atau mengatakannya karena tidak mengerti, tentu dia harus diajari ilmu agar terhindar dari perkataan dan perbuatan tersebut. Bila karena takut atau terpaksa, maka dia harus dibantu agar terlepas dari ancaman atau keterpaksaannya.
3.      Tetapi bila ternyata setelah upaya iqamatul hujjah , pelaku perbuatan atau perkataan kufur dan bid'ah itu memang adalah orang yang mempunyai semangat kekafiran dan kebid'ahan serta penolakan terhadap Iman dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam, maka barulah vonis dijatuhkan terhadapnya sebagai orang kafir atau ahlul bid'ah.
Proses iqamatul hujjah itu dilakukan oleh Ulama' atau Thalibul Ilmi (penuntut ilmu agama) yang mantap keilmuannya dan manhajnya dan proses itu dilaksanakan dalam bentuk dialog ilmiah yang padanya dipatahkan segala kerancuan berfikir tentang Islam dan dibantah pula segala alasan menjalankan kekafiran dan kebid'ahan itu. Perlu diingatkan disini, bahwa dialog ilmiah tersebut adalah dalam rangka nasehat dan dakwah.
Demikian mestinya qa'idah ta'yin yang dikenal dikalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun pemahaman haddadiyah mengabaikan qaidah ini. Sehingga mereka yang dijangkiti pemahaman ini akan mencukupkan diri mereka dengan qa'idah aamah dalam memvonis setiap individu atau golongan tertentu sebagai kafir atau ahlul bid'ah. Tentu yang demikian ini akan menimbulkan fitnah besar di kalangan kaum Muslimin, yang diatasnamakan pemahaman Salafiyah. Orang yang tidak tahu akan dengan mudah menganggap bahwa mereka yang membawa pemahaman seperti ini adalah orang-orang Salafiyyin. Jadi kesimpulannya ialah, bahwa Salafiyyin itu adalah gerombolan orang-orang yang suka memvonis orang lain sebagai ahlul bid'ah. Padahal sesungguhnya yang demikian itu bukanlah akhlaq yang diajarkan oleh manhaj Salafy Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang agung ini. Manhaj Salafy itu sangat ketat kehati-hatiannya dalam memvonis seseorang atau sekelompok tertentu sebagai kafir atau ahlul bid'ah, sebagaimana para pembaca yang budiman telah mengikuti uraian disini tentang Qa'idah Ta'yin Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun kemunculan orang-orang yang berpemahaman haddadiyah ini amat menimbulkan kesan, adanya prahara dalam perjalanan Dakwah Salafiyah, khususnya di Indonesia.
Penutup            

Makin banyak orang-orang yang mengaku di atas manhaj Salafi Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun akhlaq dan manhaj mereka tidak menunjukkan warna Salafy, bahkan banyak pula yang menunjukkan akhlaq dan manhaj hizbiyah tetapi berbendera Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun biarlah semua orang mengaku dengan pengakuannya. Hanya Allah Ta'ala jualah yang akan menampakkan apa yang sebenarnya disembunyikan di hati mereka. Bersama perjalanan waktu dan berbagai peristiwa, Allah Ta'ala akan menunjukkan perbedaan antara yang asli dari yang palsu. Yang penting, dakwah Salafiyah harus terus berlangsung. Perjuangan untuk mengentaskan Ummat Islam dari kejahilan tentang agama harus terus bergulir. Upaya menyelamatkan Ummat Islam dari kekafiran, kebid'ahan dan kemaksiatan harus terus dilagakan. Semua itu adalah simbol perjuangan Dakwah Salafiyah, dan dakwah ini tidak pernah membikin prahara di Indonesia atau di bumi manapun. Hanya saja para calo dakwah itu yang sering bikin ribut.
Kalau begitu, biar anjing menggonggong, kafilah Dakwah Salafiyah tetap berlalu menuju ‘ Izzul Islam wal Muslimin (kemuliaan Islam dan Kemuliaan Kaum Muslimin)


Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar