Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

Aisyah Bintu Abi Bakr

Bani Tayyim adalah salah satu suku mulia dari kalangan Quraisy di Makkatul Mukarramah. Di kota ini pernah terdapat pasangan suami istri Abu Bakar Abdullah bin Abi Kuhafa Utsman bin Taiymi Al-Qurasyi yang sering disebut Abu Bakr As-Siddiq dengan Ummu Ruuman binti Amir Al-Kinaniyah yang sering disebut Ummu Ruuman Al-Firasiyah. Dari pasangan suami istri ini lahirlah seorang putri mulia dan harum namanya dalam kemuliaan, yaitu A’isyah Ummul Mu’minin. Putri mulia dari orang mulia ini mempunyai saudara kandung[1] yang juga terkenal dalam amalan kemuliaan mereka, yaitu Abdurrahman, Muhammad dan Asma’.
A’isyah adalah gadis cantik, putih bersih kulitnya, kemerah-merahan kulitnya bila terkena sinar matahari. Itulah sebabnya beliau digelari dengan Al-Humaira’ (si wanita yang putih kemerah-merahan). Dia dilahirkan setelah empat tahun dida’wahkannya Islam oleh Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam di Makkah, dan usianya delapan tahun lebih muda dari Fatimah[2] putri Rasulullahshalallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Dia adalah wanita pemberani, cerdas dan sangat mulia akhlaqnya.
PERNIKAHANNYA
Aisyah dinikahi Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam setelah wafatnya istri pertama beliau, yaitu Khadijah bintu Khuwailid, beberapa bulan sebelum Rasulullah berhijrah dari Makkah Al-Mukarramah ke Al-Madinah An-Nabawiyah. Dia adalah satu-satunya wanita yang beliau nikahi dalam keadaan perawan, sehingga dia tidak pernah mengenal pria sebagai suami dalam hidupnya kecuali Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Ihwal mengapa Rasulullah memilih Aisyah sebagai istri padahal usia Aisyah waktu pernikahan baru enam tahun dan dalam keadaan belum pernah berhaidl (karena belum baligh) adalah bermula dari mimpi yang dialami oleh Rasulullah berturut-turut selama dua kali dalam dua malam. Dalam mimpi itu Rasulullah melihat satu Malaikat yang membawa seseorang dalam keadaan ditutupi oleh kain sutra dan kemudian dinyatakan kepada beliau, ini adalah istrimu di dunia dan akhirat. Maka Rasulullahpun membuka kain sutra penutup itu dan didapati bahwa orang yang dibawa Malaikat itu adalah A’isyah[3].
Al-Haitsami rahimahullah meriwayatkan bahwa A’isyah radliyallahu `anha menceritakan pernikahannya dengan Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai berikut:
Ketika Khadijah meninggal dunia, datanglah kepada Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam Khaulah binti Hakim bin Al-Auqash istri Utsman bin Math’un (dan ketika itu masih di Makkah) seraya berkata kepada Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mau menikah?”
Rasulullah pun balik bertanya: “Sama siapa?”
Maka Khaulah menjawab: “Bila engkau mau perawan, engkau akan mendapatkannya. Dan bila engkau mau janda engkau juga bakal mendapatkannya.”
Rasulullah bertanya lagi: “Bila aku mau perawan, siapakah dia?”
Maka Khaulah menjawab: “Perawan itu adalah putrinya seseorang yang paling engkau cintai, yaitu A’isyah bintu Abi Bakr.”
Kemudian Rasulullah bertanya lagi: “Lalu yang janda siapa namanya?”
Khaulah menjawab: “Janda itu ialah Saudah binti Zam’ah. Dia ini telah beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu meskipun dengan resiko sebagaimana yang engkau hadapi.”
Mendengar penuturan Khaulah itu, Rasulullah pun memerintahkan kepadanya: “Pergilah engkau untuk mendatangi keluarga kedua wanita itu dan sampaikan hasratku untuk menikahi keduanya.”
Maka Khaulah pun segera mendatangi rumah Abu Bakr As-Shiddiq dan di rumah itu dia ditemui oleh Ummu Ruuman, ibunya A’isyah. Dan langsung saja Khaulah mengatakan kepadanya: “Wahai Ummu Ruuman, bagaimana pendapatmu bila Allah memasukkan ke rumah kalian kebaikan dan barakah yang sempurna? Ketahuilah bahwa Rasulullah mengutus aku untuk meminang A’isyah, untuk diperistri oleh beliau.”
Mendengar pemaparan Khaulah itu, Ummu Ruuman terperangah dan mengatakan: “Aku sangat berharap agar engkau mau menunggu kedatangan Abu bakar Ash-Shiddiq yang sebentar lagi akan datang.”
Maka ketika Abu Bakar datang, disampaikanlah oleh Ummu Ruuman berita penting tersebut kepadanya. Antara percaya dan tidak, Abu Bakar menyatakan: “Apakah pantas A’isyah menjadi istri Rasulullah? Lagi pula aku adalah saudaranya Rasulullah, masa putriku akan dinikahinya?”
Mendengar jawabannya, Khaulah kembali ke Rasulullah dan menyampaikan jawaban Abu Bakar itu. Maka Rasulullah pun memerintahkan Khaulah untuk kembali mendatanginya dan Rasulullah menitipkan pesan untuk Abu Bakar: “Katakan kepadanya, engkau adalah saudaraku dalam Islam dan aku adalah saudaramu. Putrimu memang pantas untuk menjadi istri Rasulullah.”
Ketika Khaulah menyampaikan kembali pesan Rasulullah tersebut kepada Abu Bakar, maka segera dia mengatakan kepada Khaulah: “Kalau begitu, cepat engkau mengundang Rasulullah kemari.” Dan Khaulah pun bergegas menyampaikan undangan Abu Bakar tersebut. Abu Bakar pun memanggil sanak keluarganya, sehingga ketika Rasulullah datang kerumah Abu Bakar, langsung saja Abu Bakar menikahkan Rasulullah dengan A’isyah dipersaksikan oleh sanak keluarganya[4].
Melengkapi riwayat tersebut di atas, Al-Haitsami membawakan riwayat lain dari Thabrani juga, bahwa karena Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam menikahi A’isyah tidak langsung menjima’inya berhubung masih usianya enam tahun dan belum berhaidl, maka Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam pada hari pernikahannya dengan A’isyah, menikah pula dengan Saudah bintu Zam’ah dan berjima’ setelah dilaksanakannya akad nikah. Sementara dengan A’isyah baru Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam berjima’ setelah A’isyah berusia sembilan tahun (yakni tiga tahun setelah pernikahan).

HIJRAHNYA KE MADINAH

Tak sampai setahun setelah pernikahannya, turun perintah dari Allah kepada Rasul-Nya untuk hijrah dari Makkah ke Madinah. Kaum Muslimin diperintahkan oleh Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallamuntuk berangkat terlebih dahulu ke Madinah. Kemudian terakhir beliaupun mengajak Abu Bakar As-Shiddiq untuk berangkat hijrah ke Madinah dengan meninggalkan keluarganya di Makkah. Segera setelah keduanya sampai di Madinah, diutuslah Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ untuk menjemput keluarga Rasulullah dan Abu Bakar mengutus Abdullah bin Uraiqith Al-Laitsi juga dengan misi yang sama. Ketiga orang tersebut dibekali dengan uang sebesar lima ratus dirham serta dua ekor onta. Maka ketika mereka bertiga telah sampai di desa Qudaid (dekat kota Makkah), dibelilah di sana tiga ekor onta untuk keperluan membawa kedua keluarga tersebut. Ketika mereka memasuki kota Makkah, bertemulah mereka dengan Thalhah yang mengantarkan istri Abu Bakar (yakni Ummu Ruuman) dan A’isyah serta Asma’. Dan segera Zaid bin Haritsah serta Abu Rafi’ membawa Fathimah dan Ummu Kultsum putri-putri Rasulullah dan juga Saudah bintu Zam’ah istri Rasulullah, serta Ummu Aiman istri Zaid bin Haritsah beserta Usamah bin Zaid bin Haritsah. Semua mereka berjalan menuju Madinah dalam satu rombongan dengan niat berhijrah menjalankan perintah Allah Ta’ala. Sesampainya kami di desa Al-Baidh (desa tempat tinggalnya Bani Kinanah, sukunya Ummu Ruuman Al-Firasiyah), unta yang ditunggangi A’isyah lari terlepas dari rombongan. Sehingga Ummu Ruuman (sang ibu) memanggil A’isyah: “Wahai putriku, wahai pengantinku.” Sehingga rombongan berhasil menangkap kembali unta dan yang menungganginya. Rombongan terus melanjutkan perjalanan sehingga sampailah di Madinah disambut Rasulullah dan Abu Bakar dengan suka cita. Waktu itu masjid Nabawi sedang dibangun[5].

PERISTIWA TUDUHAN ZINA TERHADAP A’ISYAH

Selayaknya sebagaimana manusia hidup di dunia, siapapun dan apapun dia, harus menghadapi berbagai problem pasang surut kehidupan. Kesucian dan kemuliaan A’isyah yang amat tinggi, sebagai istri Rasulullah manusia yang paling sempurna kesucian dan kemuliaannya, ternyata tidak dapat mencegah nafsu kalangan munafiqin untuk menuduh istri Nabi Muhammad yang paling dicintainya, dengan tuduhan yang amat keji. Tentu tujuannya adalah untuk menyakiti Rasulullah dan untuk menghancurkan semangat beliau berda’wah dan berjihad di jalan Allah Ta’ala. Namun makar mereka yang demikian keji itu tidak mampu berhadapan dengan makar balasan dari Allah Ta’ala.
Peristiwa yang menimpa A’isyah Ummul Mu’minin ini adalah peristiwa besar dan sangat penting. Sehingga Allah Ta’ala menyebut peristiwa tersebut dalam Al-Qur’an. Dalam Sirah Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam ada bab khusus yang membahas peristiwa itu. Orang-orang munafiq ingin menghancurkan nama baik keluarga Rasulullah, namun Allah Ta’ala justru hendak mengangkat lebih tinggi lagi kemuliaan keluarga Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan peristiwa tersebut. Al-Imam Adz-Dzahabi dalam Siar A’lamin Nubala’ jilid 2 halaman 153 – 161 membawakan dengan lengkap cerita A’isyah sendiri tentang peristiwa tersebut. Kami nukilkan riwayat tersebut sebagai berikut: “A’isyah menceritakan:
Ketika terjadi perang Al-Muraisi’ pada tahun kelima sesudah hijrah, umurku waktu itu baru dua belas tahun. Menjelang keberangkatan Nabi ke medan perang tersebut, beliau mengundi para istrinya untuk menentukan siapa yang diajak dalam bepergian di jalan Allah itu. Maka keluarlah namaku dalam undian tersebut sehingga akupun berangkat mendampingi Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam perjalanan menuju medan perang. Waktu itu aku dibawa di keranda yang diletakkan di atas punggung unta sebagaimana kebiasaan para Shahabat Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam untuk membawa wanita dalam perjalanan jauh setelah turunnya ayat hijab. Kalau rombongan berhenti untuk istirahat, maka keranda itu diturunkan untuk memberi kesempatan kepadaku, turun beristirahat bersama Rasulullah. Demikian perjalanan rombongan pasukan besar yang dipimpin langsung oleh Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Setelah sampai di tujuan dan kaum Muslimin selesai menunaikan kepentingan jihadnya mengalahkan musuh, maka dalam perjalanan pulang, rombongan sempat mampir di suatu lembah dekat kota Al-Madinah untuk istirahat melepas lelah. Keranda tempatkujuga diturunkan dari punggung onta. Waktu itu aku minta izin kepada Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam untuk buang hajat. Setelah melepas lelah beberapa saat, rombongan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan dan aku juga telah selesai buat hajat. Namun ketika aku mau masuk ke keranda, aku menyadari bahwa kalungku putus dan jatuh entah di mana. Maka akupun kembali menyusuri jalan menuju ke tempat buang hajat untuk mencari kalungku. Di saat aku tersibukkan dengan upaya mencari kalung yang hilang itu, rombongan tidak menyadari kalau aku tidak ada di keranda tersebut. Mereka segera mengangkat keranda itu dengan sangkaan bahwa aku ada dalamnya, dan meletakkannya di atas punggung unta. Usiaku yang masih muda dan badanku yang amat ringan membuat hampir tidak ada bedanya antara keranda yang ada isinya dengan keranda yang tidak ada isinya. Rombonganpun segera berangkat menuju kota Al-Madinah dan meninggalkan tempat mereka beristirahat tadi. Sementara itu setelah aku menemukan kalungku, aku segera kembali ke tempat rombongan dan ternyata mereka telah berjalan jauh meninggalkan tempat. Disana sudah sepi tidak ada seorangpun yang tertinggal. Maka aku pun kembali ke tempat dimana ontaku tadinya duduk, dan aku berharap kiranya mereka akan menyadari kalau aku tertinggal sehingga mereka dapat mencariku di tempat tersebut. Di saat aku terduduk, mataku terasa berat karena mengantuk dan aku pun tertidur pulas di tempat itu.
Sementara itu, ada petugas rombongan yang bernama Shafwan bin Al-Mu’atthal As-Sulami Adz-Dzakwani yang berjalan di belakang rombongan. Dia ditugaskan untuk memungut barang-barang milik rombongan yang tertinggal. Ketika sampai di tempat aku tidur, dia segera mendekati aku untuk mencari tau siapakah yang tidur itu. Dan ketika melihat bahwa yang tidur itu adalah aku, karena dia mengenali wajahku sebelum turunnya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan wanita Muslimah memakai cadar (yakni surat Al-Ahzab 59), Shafwan kaget dan mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Akupun terbangun dengan suara Shafwan itu dan segera aku menutupi wajahku dengan cadarku. Demi Allah dia tidak berbicara denganku sepatah katapun kecuali ucapan Innalillahi itu saja. Tanpa bicara apapun, dia merendahkan untanya agar aku bisa menungganginya. Setelah aku naik di punggung ontanya, dia berjalan di depan menuntun ontanya membawa aku menyusul rombongan, yang saat itu sedang berhenti mendirikan tenda karena tidak tahan dengan panas terik di siang hari. Di saat itu, tokoh munafiq yang ada dalam rombongan, bernama Abdullah bin Ubai bin Salul, segera memanfaatkan peluang fitnah tersebut. Langsung saja dia menyimpulkan bahwa A’isyah Ummul Mu’minin bermain serong dengan Shafwan bin Al-Mu’atthal, pemuda yang menolongnya, sehingga tertinggal dari rombongan. Tuduhan keji itu pun digunjingkan di kalangan kaum Muslimin yang ada di dalam rombongan Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam itu. Dan sesampainya rombongan tersebut di Al-Madinah, semakin bertambah pula orang yang celaka karena terlibat menyebarkan berita yang merupakan fitnah keji itu.
Sepulangku dari perjalanan jihad bersama Rasulullah tersebut, aku mengalami sakit. Selama sebulan aku terbaring di atas tempat tidur. Aku tidak menyadari tentang berita yang sedang tersebar di Al-Madinah tentang diriku. Hanya saja aku melihat tingkah laku Rasulullah terhadapku yang tidak seperti biasanya. Beliau yang biasanya hangat, mesra, penuh kasih sayang dan memanjakanku, apalagi bila aku dalam keadaan sakit, sekarang aku merasa suasana tidak nyaman pada sikap beliau dan dingin serta agak kaku. Beliau hanya datang kepadaku dan bertanya bagaimana keadaanmu dan setelah itu pergi. Di suatu hari seorang wanita tua kerabat ayahku yang biasa dipanggil dengan Ummu Misthah, dimana sehari-hari selama aku sakit selalu melayaniku di rumahku. Di suatu malam ketika Ummu Misthah sedang berjalan bersamaku, sisir di tangannya jatuh dan diapun dengan reflek mengatakan: “Celakalah Misthah.” Mendengar omongan itu aku tersentak dan aku katakan kepadanya: “Alangkah jeleknya yang engkau katakan, mengapa engkau katakan demikian padahal Misthah itu adalah orang yang ikut mendampingi Rasulullah dalam perang Badr?” Maka Ummu Misthahpun menyatakan: “Wahai! Betapa polosnya wanita ini, dia tidak tahu tentang apa yang dibicarakan Misthah dan kawan-kawan tentangnya.” Omongan ini lebih aneh lagi bagiku, sehingga akupun bertanya lagi kepadanya: “Apa yang sesungguhnya sedang dibicarakan mereka tentangku?” Mendengar pertanyaanku, Ummu Misthah langsung menceritakan kepadaku tentang berita keji yang sedang tersebar di kota Al-Madinah tentang diriku dengan Shafwan bin Al-Mu’atthal. Aku amat terpukul dengan cerita Ummu Misthah tersebut sehingga rasanya penyakitku bertambah parah karenanya. Akhirnya aku meminta izin dari Rasulullah untuk pulang kerumah ibuku selama aku dalam keadaan sakit ini. Dan Rasulullah pun mengizinkanku, dan aku bergegas mengemas bajuku untuk pulang ke rumah ibuku.
Dengan aku pulang ke rumah ibuku, tampaknya keadaan semakin bertambah genting, karena ternyata aku melihat ayah dan ibuku juga mulai termakan oleh berita itu. Aku sempat bertanya kepada ibuku tentang berita yang sedang berdar di masyarakat. Ibuku menjawab: “Wahai putriku, jangan engkau terlalu berat memikirkan hal ini. Demi Allah memang kadang-kadang terjadi bila seorang wanita dikawal oleh seorang pria, si pria itu jatuh hati dengan wanita yang dikawalnya. Sementara wanita itu punya beberapa madu, niscaya para madunya itu akan sangat mendramatisir kejadian itu.” Mendengar penuturan ibuku itu aku dengan penuh keheranan menyatakan: “Subhanallah, apakah sudah demikian orang-orang mengatakan?!” Sehingga aku terus-menerus menangis semalaman itu seakan habis air mataku dan aku tidak dapat memejamkan mataku sesaatpun sampai pagi.
Di hari itu Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid, karena beliau merasa tidak mendapat keputusan dari Allah dalam bentuk turunnya wahyu kepada beliau. Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam meminta pendapat keduanya, apakah sebaiknya menceraikan diriku atau tidak. Usamah memberi masukan kepada beliau, bahwa Aisyah sama sekali tidak tanda-tanda untuk berbuat dengan apa yang dituduhkan kepadanya oleh kabar yang sedang tersebar itu dan lagi (masih kata Usamah) mereka para istri Rasulullah amat mencintai beliau. Kemudian Usamah menyatakan: “Wahai Rasulullah, sungguh kami tidak melihat tanda-tanda pada istrimu kecuali kebaikan semata.” Demikian Usamah memberi masukan kepada beliau. Adapun Ali bin Abi Thalib memberi saran kepada beliau: “Wahai Rasulullah, sungguh Allah tidak akan menyempitkan dirimu. Banyak perempuan selain A’isyah yang bisa engkau nikahi. Silakan engkau tanya kepada budak perempuanmu, niscaya dia akan memberi persaksian kepadamu dengan benar tentangnya.” Rasulullahpun menuruti saran Ali, dan beliau bertanya kepada Barirah: “Hai Barirah, apakah engkau melihat sesuatu yang mencurigakan pada istriku?” Mendengar pertanyaan beliau seperti itu Barirah langsung menjawab : “Demi Allah yang telah mengutusmu, sungguh aku tidak melihat apapun yang mencurigakan pada istrimu. Kalaupun aku melihat satu kekurangan padanya, maka kekurangan itu adalah kebiasaan dia sebagai wanita yang masih kecil usianya. Sehingga kadang-kadang dia tertidur di samping adonan rotinya sehingga kambing datang memakan adonan itu sampai habis.” Mendengar persaksian Barirah itu, langsung saja Rasulullah sangat yakin bahwa istrinya bersih dari segala tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang Munafiq yang dipimpin oleh pentolan mereka yaitu Abdullah bin Ubai bin Salul. Dan di hari itu Rasulullah mengumpulkan kaum Muslimin di Masjid beliau dan kemudian beliau naik mimbar sembari menyatakan kepada kaum Muslimin: “Wahai kaum Muslimin, siapakah dari kalian yang bisa menolong aku dari kejahatan seorang yang telah melampaui batas dalam menyakiti keluargaku. Padahal demi Allah aku tidak mengetahui pada keluargaku kecuali kebaikan. Mereka para juru fitnah itu menyebut seorang pria yang dituduh berbuat keji dengan salah seorang istriku. Padahal pria yang mereka sebutkan itu adalah orang yang tidak kukenal dia kecuali kebaikannya, dan pria tersebut tidak pernah memasuki rumahku kecuali bersamaku.” Disaat itu langsung saja berdiri dari kalangan hadirin, Sa’ad bin Mu’adz, orang Anshar dari suku A’us, dan dia berkata: “Wahai Rasulullah, aku siap menolong engkau dari juru fitnah itu. Kalau memang dia itu dari kalangan suku A’us, maka aku langsung akan memenggal lehernya. Namun kalau dia itu dari kalangan saudara kita suku Khazraj, maka bila engkau memerintahkan kepadaku untuk memenggal lehernya, niscaya aku akan segera melaksanakannya.” Mendengar omongan Sa’ad bin Mu’adz itu, segera saja berdiri menjawabnya kepala suku Khazraj bernama Sa’ad bin Ubadah, yang dia ini adalah orang saleh dan taat beragama. Namun karena terbawa oleh emosi pembelaan suku (berhubung Abdullah bin Ubai bin Salul, si pentolan munafiq itu, adalah dari kalangan suku Khazraj), maka Sa’ad bin Ubadah tidak terima dengan omongan Sa’ad bin Mu’adz dan langsung berkata: “Demi Allah, engkau wahai Sa’ad bin Mu’adz telah berdusta. Sungguh engkau tidak akan dapat membunuh seorangpun dari Khazraj.” Dengan omongan ini, langsung berdiri Usaid bin Khudzair, yang dia ini adalah anak pamannya Sa’ad bin Mu’adz, dan dia berkata dengan lantang: “Demi Allah, sungguh engkau yang dusta wahai Sa’ad bin Ubadah. Sungguh kami yang akan membunuh siapa saja yang Rasulullah perintahkan untuk dibunuh. Maka dengan pernyataanmu ini wahai Sa’ad bin Ubadah, sungguh engkau adalah orang munafiq yang membela para munafiqin.” Suasana majlis semakin panas sehingga hampir saja suku A’us dan Khazraj dari kalangan Anshar hendak saling menerkam dengan pedang-pedang mereka. Sementara Rasulullah tetap saja berdiri di atas mimbar dan terus berseru kepada mereka untuk diam dan tidak melanjutkan perdebatan tersebut. Sehingga merekapun akhirnya diam dan duduk kembali sehingga Rasulullah diam juga.
Sementara itu aku di rumah ibuku terus saja menangis. Dua hari dua malam aku tidak tidur sama sekali dan hanya menangis dan menangis. Sampai-sampai aku menduga bahwa jantungku bisa pecah karenanya. Ayah ibuku hanya terpaku duduk di sampingku tak tahu hendak berbuat apa. Di saat itu seorang wanita dari kalangan Anshar minta ijin masuk ke rumah ibuku dan dia diijinkan untuk masuk dan duduk di dekatku. Dia ikut menemaniku menangis. Maka ketika sedang merasakan kesedihan mendalam dengan fitnah ini, tiba-tiba Rasulullah minta ijin masuk ke rumah ibuku dan mengucapkan salam. Kemudian beliau setelah diizinkan segera duduk di sebelahku, padahal sejak tersebarnya berita fitnah keji itu, beliau tidak pernah lagi duduk di sampingku ketika menjenguk aku. Sementara itu telah berlangsung satu bulan penuh tersebarnya berbagai fitnah ini dalam keadaan tidak turun wahyu yang memberi keputusan kepada beliau dalam perkara ini.
Setelah Rasulullah duduk, segera beliau memulai omongannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan setelah itu beliau mengatakan: “Amma ba’du, wahai A’isyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku berita tentangmu, bahwa engkau berbuat demikian dan demikian. Maka kalau engkau bersih dari perbuatan yang dituduhkan kepadamu, sungguh Allah akan membersihkanmu dari segala tuduhan tersebut. Namun bila engkau memang terlibat dengan perbuatan yang dituduhkan kepadamu, maka hendaklah engkau segera minta ampun kepada Allah atas perbuatanmu dan bertaubatlah kepada-Nya. Karena hamba Allah itu bila mengakui dosanya kemudian dia bertaubat darinya, niscaya Allah akan mengampuninya dan menerima taubatnya.” Setelah Rasulullah selesai mengucapkan perkataannya, serasa airmataku mengering sehingga aku merasa tidak ada lagi tetesan air mataku yang mengalir. Maka akupun mengatakan kepada ayahku: “Jawablah Rasulullah tentang apa yang beliau katakan.” Ayahku mengatakan kepadaku: “Demi Allah aku tidak tahu apa yang harus aku katakan.” Akupun mengatakan kepada ibuku: “Jawablah wahai ibu, apa yang diucapkan oleh Rasulullah.” Ibuku menyatakan kepadaku: “Demi Allah aku juga tidak tahu apa yang harus aku ucapkan.” Karena ayah ibuku tidak mampu menjawab omongan Rasulullah, akupun menjawab beliau meskipun aku sangat muda usiaku dan aku tidak banyak membaca Al Qur’an. Aku katakan kepada Rasulullah: “Demi Allah sesungguhnya aku amat yakin, bahwa paduka telah mendengar omongan tentangku sehingga paduka akhirnya meyakini kebenaran berita itu. Maka bila aku katakan kepada paduka bahwa aku bersih dari segala tuduhan keji itu, dan Allah memang Maha Tahu bahwa aku bersih dari segala tuduhan itu, pasti kalian tidak akan mempercayai pengakuanku ini. Namun bila aku mengakui bahwa aku berbuat seperti yang dituduhkan kepadaku itu, padahal Allah tahu bahwa aku bersih dari tuduhan itu, pasti kalian akan mempercayai pengakuanku. Demi Allah aku tidak dapati permisalan posisi hubunganku dengan paduka sekarang ini kecuali seperti apa yang dikatakan oleh ayahnya Yusuf:
“Maka sabar dengan sebaik-baiknya dan Allah adalah pihak satu-satunya yang bisa dimintai tolong dalam menolak segala apa yang kalian sifatkan tentang diriku. (Yusuf: 18).”
Setelah aku bicara menjawab pertanyaan Rasulullah, aku langsung berpindah tempat dudukku dan aku tidur di atas tempat tidurku, dalam keadaan sangat yakin kalau aku bersih dari segala tuduhan itu. Aku juga sangat yakin bahwa Allah akan membersihkan diriku dari segala tuduhan tersebut. Namun aku sama sekali tidak menyangka kalau Allah akan menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk ayat Al-Qur’an yang dapat dibaca sampai hari kiamat. Karena urusanku ini aku rasa hanyalah urusan yang sangat remeh dibanding dengan Al Qur’an itu sendiri yang merupakan omongan Allah. Yang aku harapkan ialah bahwa Allah akan membersihkan aku dari segala tuduhan itu dengan mimpi Rasulullah yang menunjukkan bahwa aku memang bersih dari segala tuduhan itu.
Namun kenyataannya, belum sempat Rasulullah beranjak dari tempat duduknya dan belum sempat seorangpun di ruang itu keluar darinya, turunlah wahyu kepada beliau, sehingga beliau tertunduk dengan berkeringat dahinya, padahal waktu itu di musim dingin yang sangat menggigit. Beliau berkeringat karena terlalu beratnya menerima wahyu itu. Turunlah Surat An-Nur ayat ke 11 s/d 21 yang dibuka dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang datang dengan membawa berita bohong itu, sungguh mereka adalah dari golongan kalian sendiri. Jangan kau sangka dengan berita fitnah itu akan menjadi kejelekan bagi kalian, bahkan berita itu akan menjadi kebaikan bagi kalian.” (An-Nur: 11)
Maka setelah itu terlihat wajah Rasulullah berseri-seri, bahkan beliau tertawa kecil karena amat gembira. Keluarlah dari mulut beliau yang mulia kata-kata berikut ini: “Wahai A’isyah, sungguh Allah telah membersihkan engkau dari segala tuduhan.” Mendengar omongan beliau ini, ibuku langsung menyatakan kepadaku: “Berdirilah engkau menyambut Rasulullah!” Akupun menjawab perintah ibuku: “Demi Allah aku tidak akan berdiri untuk beliau dan aku tidak akan memuji kecuali hanya memuji Allah.”
Turunnya ayat-ayat Al-Qur’an menyampaikan berita dari Allah Ta’ala tentang kesucian A’isyah dhahir batinnya dari segala tuduhan keji itu. Dan Allah tentunya Maha Tahu segala yang dhahir dan segala yang batin.
Ayahku yaitu Abu Bakar As-Siddiq selama ini biasa memberi belanja rutin untuk membantu meringankan beban hidup Misthah bin Utsatsah bin Al-Mutthalib karena dia termasuk orang faqir dan masih kerabat ayahku. Tetapi Misthah termasuk dari orang-orang yang ikut menyebarkan tuduhan keji terhadapku, yang tuduhan itu telah dibantah oleh Allah Ta’ala dan aku telah dibela oleh-Nya. Maka saking marahnya ayahku kepada Misthah ini, bersumpahlah ayahku: “Demi Allah aku tidak akan memberi lagi belanja rutin kepadanya sedikitpun dan selama-lamanya, setelah dia menyatakan tentang A’isyah seperti itu.” Sumpah ayahku ini didengar oleh Allah Ta’ala dan langsung setelah itu turun ayat berikutnya dari Surat An-Nur 22 yang menegur sumpahnya Abu Bakar itu. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah merasa berat orang-orang yang mempunyai rejeki yang lebih banyak untuk memberi bantuan kepada karib kerabatnya yang miskin dan dari kalangan muhajirin fi sabilillah. Dan hendaklah memaafkan dan melupakan kejahatan saudaranya yang miskin itu. Tidakkah kalian senang untuk diampuni dosa-dosa kalian.” (An-Nur: 22)
Ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah, Abu Bakar As Siddiq langsung menyatakan: “Bahkan aku demi Allah, lebih senang diampuni oleh Allah atas dosa-dosaku.” Maka Abu Bakar As-Siddiq membatalkan sumpahnya dan melanjutkan kebiasaannya memberi belanja kepada Misthah dan beliau menyatakan: “Demi Allah aku tidak akan menghentikan kebiasaanku memberi belanja rutin kepadanya.”
Diantara wanita yang ditanya oleh Rasulullah tentang fitnah yang menimpaku adalah istri beliau yang bernama Zainab bintu Jahsyi. Maka Zainab menjawab: “Aku selalu melindungi pendengaranku dan penglihatanku, sungguh aku tidak melihat padanya kecuali kebaikan.” Padahal Zainab ini adalah maduku yang selalu bersaing denganku untuk mendapat cinta dan kasih sayang dari Rasulullah. Namun Allah melindunginya dengan sikap wara’ (yakni sikap hati-hati). Sementara itu saudara perempuannya yang bernama Hamnah selalu berdebat dengannya untuk meyakinkannya bahwa A’isyah terlibat hubungan gelap dengan Shafwan bin Mu’atthal. Sehingga Hamnah termasuk yang menyebarkan berita fitnah itu demi menjatuhkan A’isyah dari mata kaum Muslimin dan mengangkat posisi Zainab kakaknya sebagai istri Rasulullah.
Dengan turunnya wahyu dari Allah tentang masalah ini, maka Rasulullah memerintahkan untuk menghukum semua orang yang terlibat dalam penyebaran fitnah tuduhan zina terhadap A’isyah ini. Segera ditangkaplah Abdullah bin Ubai bin Salul (pimpinan kalangan munafiqin), Misthah bin Utsatsah bin Al-Mutthalib (Shahabat Nabi yang ikut perang Badr), Hassan bin Tsabit (penyair Rasulullah yang paling dicintai oleh beliau), Hamnah bintu Jahsyi (adiknya Zainab istri Rasulullah. Hamnah ini adalah adik ipar Rasulullah). Semua mereka dihukum cambuk delapan puluh kali di depan umum.
Peristiwa ini semakin membuktikan bahwa setiap orang sangat mungkin untuk diserang oleh fitnah dan bila dia sabar dalam menerima cobaan fitnah itu, Allah akan mengangkat derajat hamba-Nya yang terkena fitnah itu. Juru fitnah itu bertujuan menjatuhkan orang yang difitnahnya, namun Allah Ta’ala membalas makar juru fitnah itu dengan sebaik-baik balasan. Sehingga di saat keadaannya berbalik, maka juru fitnah itu sendiri yang jatuh dalam kehinaan, sedangkan orang yang dijadikan bulan-bulanan fitnah itu justru semakin terangkat derajatnya di sisi Allah Ta’ala. Dalam hal ini juru fitnah itu adalah Abdullah bin Ubai bin Salul. Sementara itu beberapa Shahabat Nabi ikut-ikutan tanpa menyadari makar yang sedang dilancarkan oleh juru fitnah itu. Dan yang dijadikan bulan-bulanan fitnah tersebut adalah A’isyah Ummul Mu’minin.
KEUTAMAAN LAIN PADA A’ISYAH
Disamping apa yang diuraikan di atas tentang keutamaan A’isyah, para Ulama’ menerangkan berbagai keutamaan A’isyah sebagai berikut ini.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim bin Hajjaj An-Nisaburi meriwayatkan dalam Shahih keduanya, bahwa A’isyah radliyallahu `anha memberitakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallammengatakan kepadanya: “Wahai A’isyah, ini malaikat Jibril disini mengucapkan salam kepadamu.” Maka A’isyah menjawab: Wa alaihis salam warahmatullah, wahai Rasulullh engkau dapat melihat apa yang tidak bisa kami lihat.”
Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunannya meriwayatkan dengan sanadnya dari Amer bin Al-Ash, bahwa beliau menceritakan ketika beliau ditunjuk oleh Rasulullah untuk menjadi komandan pasukan Islam pada waktu perang di Dzatu Salasil. Kata Amer: Aku mendatangi Rasulullah dan aku tanyakan : “Wahai Rasulullah, siapakah dari manusia ini orang yang paling engkau cintai?” Rasulullah menjawab: “Manusia yang paling aku cintai adalah A’isyah.” “Lalu siapakah dari kalangan pria?” Rasulullah menjawab: “Manusia yang paling aku cintai dari kalangan pria adalah bapaknya A’isyah (yakni Abu Bakar As-Siddiq).” Al-Imam At-Tirmidzi menghasankan hadis ini.
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dalam Shahih keduanya dari Anas bin Malikradliyallahu `anhu, beliau menceritakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam telah bersabda: “Keutamaan A’isyah dibanding dengan para wanita yang lainnya seperti keutamaan buburtsarid[6] atas segenap makanan lainnya.”
Demikian persaksian Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam tentang keutamaan A’isyahradliyallahu `anha. Adapun persaksian para Shahabat Rasulullah dan kemudian para Tabi’in tentang keutamaan A’isyah adalah sebagai berikut ini.
Abu Musa Al-Asy’ari radliyallahu `anhu menyatakan: “ Tidaklah kami para Shahabat Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam menghadapi satu masalah, lalu kami tanyakan kepada A’isyah, kecuali mesti kami mendapatkan jawaban ilmiyah darinya.”
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radliyallahu `anhuma pernah datang ke rumah A’isyah untuk menayakan kepadanya beberapa masalah agama. Ketika Mu’awiyah berdiri, dia berpegangan dengan tangan ajudannya yaitu Dzakwan, sembari berkata: “Demi Allah aku tidak pernah mendengar seseorang yang selain Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang lebih fasih berbicara ilmu tentang agama ini lebih dari A’isyah.”
Mu’awiyah juga mengatakan: “Aku pernah memberikan hadiah kepada A’isyah beberapa kalung yang semuanya senilai seratus ribu dinar. Lalu ia membagi-bagikannya kepada para istri-istri Nabi yang lainnya.”
Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam rahimahullah menyatakan: “Aku melihat A’isyah bersedekah dengan tuju puluh ribu dinar, sementara keadaannya sendiri beliau menambal bagian samping baju perangnya.”
Masruq bin Al-Ajda’ rahimahullah pernah ditanya: Apakah A’isyah mengetahui tentang ilmu fara’id (yakni ilmu hukum waris)? Beliau menjawab: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku menyaksikan para Shahabat Nabi yang senior menanyakan kepadanya tentang ilmu fara’id.”
Az Zuhri rahimahullah menyatakan: “Seandainya ilmu A’isyah dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, maka ilmu A’isyah akan lebih unggul.”
Ummu Zarrah rahimahallah berkata: “A’isyah mendapat kiriman harta sebanyak dua karung uang. Saya melihatnya sebanyak delapan puluh ribu atau seratus ribu dinar. Lalu ia meminta sebuah bak besar dan uang itupun dituang padanya. Saat itu di siang hari bulan puasa. Maka dia duduk membagi-bagikannya kepada fakir miskin sehingga ketika sore harinya tidak tersisa satu dirhampun dari harta itu. Kemudian dia mengatakan kepada budaknya yang bernama Barirah: “Wahai Barirah, tolong bawakan untukku makanan untuk buka puasaku.” Dan sang budak membawakan roti dan minyak untuknya.”
Suatu hari Ishaq yang buta mendatangi A’isyah. lalu A’isyah memakai jilbab sehingga menutup wajahnya. Ishaq bertanya: “Mengapa engkau menutup dirimu dariku, padahal aku ini buta?” A’isyah menjawab: “Benar kamu tidak melihatku, tapi aku dapat melihatmu.”
Dan masih banyak lagi keutamaan A’isyah Ummul Mu’minin radliyallahu `anha ahli fiqih dari kalangan Shahabat Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam.

WAFATNYA A’ISYAH UMMUL MU’MININ

Pada tahun delapan puluh lima hijriyah tanggal tujuhbelas Ramadhan setelah shalat witir, wanita yang mulia ini meninggal dunia setelah mengalami sakit yang cukup lama. Maka kesedihan dan tangispun menyelimuti kota Al-Madinah An-Nabawiyah. Wasiat A’isyah menyatakan agar dimakamkan pada malam kematiannya, dan malam itu kuburan Al-Baqi’ telah penuh sesak kaum Muslimin yang datang dari berbagai penjuru kota untuk menghadiri pemakaman A’isyah. Adapun yang menjadi imam pada shalat jenazahnya ialah Abu Hurairah radliyallahu `anhu. Sedangkan yang mengangkat jenazah dan memasukkannya ke liang lahat ialah lima orang Ulama’ terkemuka dari anak cucu Abu Bakar As Siddiq atau para keponakan A’isyah dan cucu ponakan. Mereka itu adalah Abdullah bin Az-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr As Siddiq, Abdullah bin Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Bakr As-Siddiq, Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Bakr As-Siddiq, Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam.
A’isyah adalah seorang guru teladan yang sukses mengkader para muridnya, panutan bagi setiap da’i yang mulia dan tumpuan bagi setiap istri yang jujur dan setia. Allah telah meridhainya dan menjadikannya istri Rasulullah di dunia dan di akherat.
MAJALAH SALAFY EDISI 6 TH V/ 2008


1). Saudara kandung itu menurut Syari’ah Islamiyah ialah saudara seayah dan seibu, juga termasuk saudara kandung ialah saudara seayah saja. Adapun yang dikatakan saudara tiri adalah saudara seibu saja dan tidak seayah.
2). Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Adz-Dzahabi dalam Siar A’lamin Nubala’ jilid 2 halaman 139, terbitan Mu’assasah Ar Risalah Beirut Libanon, cet. Th. 1417 H / 1996 M.
3). Demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya jilid 6 halaman 41, 128, 161. juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dalam Kitab At-Ta’bir Bab Kasyful Mar’ah fil Manaam hadits ke 7011 dan 7012. Juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits ke 2438 dalam Kitab Fadha’ilus Shahabah Bab Fadhlu A’isyah.
4). Al-Hafidh Nuruddin Ali bin Abi Bakr Al-Haitsami, Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, jilid 9 halaman 225. Al-Haitsami menyatakan bahwa riwayat ini adalah riwayat At-Thabrani dan rawi-rawinya adalah rawi dari Shahih Al-Bukhari, kecuali Muhammad bin Amr bin Al-Qamah dan dia ini adalah rawi yang hasan. (Terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut Libanon, cetakan th. 1408 H / 1988 M).
5). Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi dalam Siar A’lamin Nubala’ jilid 2 halaman 152 – 153 (terbitan Mu’assasatur Risalah, Beirut Libanon, cetakan th. 1417 H / 1996 M). riwayat ini juga dibawakan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.
6). Bubur tsarid itu adalah makanan orang Arab yang paling enak dan paling utama, yang dibikin dari daging kambing yang dihancurkan dicampur dengan kacang cina dan kemudian diberi bumbu rempah-rempah. Maka pernyataan Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ini hendak menunjukkan bahwa A’syah itu adalah wanita yang paling utama di dunia dari wanita yang masih hidup waktu itu.

1 komentar:

  1. insyaAllah saya akan merelakan apapun yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
    tetapi jika ternyata ada pembuktian bahwa sebuah riwayat adalah tidak shahih, maka saya akan membela pembuktian tersebut.

    tidakkah Anda pernah membaca ini?
    http://kapansitiaisyahmenikah.tk/

    BalasHapus