Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

Melatih Diri Guna Bersabar

Setelah kita mengetahui betapa besar keutamaan yang Allah berikan kepada orang yang sabar dan betapa tinggi derajat orang mukmin yang sabar, maka pengetahuan kita tentang sabar mestinya cukup kuat untuk mendorong kita memperjuangkan dan melatih diri agar kita mencapai derajat kesabaran.
Adapun tuntunan melatih diri untuk menumbuhkan sifat sabar haruslah merujuk kepada tuntunan agama yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena sabar itu adalah simbol pengamalan Islam yang harus didasari oleh keikhlasan niat karena Allah semata dan ittiba’ (mengikuti tuntunan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam).
Adapun tuntunan Nabi dalam melatih diri guna menumbuhkan pribadi kesabaran adalah sebagai berikut:
1). Menekan pertumbuhan syahwat dengan mengurangi energi syahwat. Karena syahwat yang kuat, akan menyulitkan seorang mukmin untuk bersabar dalam mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan dalam menjauhi serta menghindari larangan Allah dan Rasul-Nya. Untuk keperluan ini dituntunkan oleh agama Allah untuk menunaikan ibadah puasa yang wajib dan memperbanyak puasa yang sunnah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullahshallallahu `alaihi wa sallam:
“Wahai sekalian anak muda, siapa dari kalian yang telah mampu berhubungan seks hendaknya kalian segera menikah. Maka barangsiapa yang tidak mampu menikah, hendaknya dia banyak berpuasa. Karena banyak berpuasa itu adalah obat penekan syahwat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya dan Muslim dalam Shahihnya)
2). Mengendalikan pandangan mata dari perkara yang diharamkan untuk memandangnya. Karena pandangan mata kepada yang haram akan membangkitkan syahwat dan pada gilirannya akan melemahkan kesabaran seorang mukmin dalam menahan diri dari yang haram. Hal ini sebagaimana yang dituntunkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Katakanlah kepada pria-pria mukmin agar mereka menundukkan pandangan mereka terhadap lawan jenisnya dan agar mereka memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih mensucikan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tahu dengan apa yang mereka lakukan. Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah agar mereka menundukkan pandangan mereka terhadap lawan jenisnya dan memelihara kemaluan mereka dari perbuatan haram dan jangan mereka menampakkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang tampak pada pakaian mereka. Dan hendaknya mereka menjulurkan kerudung mereka sehingga menutupi kepala leher dan dada mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan tubuh mereka kecuali kepada suami mereka atau bapak mereka atau bapak mertua mereka atau anak-anak lelaki mereka atau anak-anak tiri mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau anak-anak saudara lelaki mereka atau anak-anak lelaki saudara perempuan mereka atau terhadap sesama wanita atau terhadap wanita-wanita budak belian mereka atau pembantu-pembantu lelaki yang tidak punya syahwat atau anak-anak lelaki yang masih di bawah umur yang belum mengerti aurat mereka dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka untuk didengarnya gemerincing perhiasan kaki mereka dan bertobatlah kalian kepada Allah semuanya, wahai orang-orang yang beriman semoga kalian akan menang.” (An-Nuur: 30 –31)
Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu `anhu bahwa beliau berkata:bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Pandangan (kepada yang haram) adalah anak panah beracun dari panah-panah yang dilontarkan oleh iblis. Barangsiapa yang meninggalkan pandangan yang demikian karena takut kepada-Ku maka Aku gantikan untuknya dengan iman yang dia rasakan manisnya di dalam hatinya.” (Berkata Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid jilid 8 hal. 63 tentang hadits ini: “Hadits ini diriwayatkan oleh At-Thabrani dan dalam sanadnya terdapat rawi bernama Abdullah bin Ishaq Al-Wasithi dan dia adalah rawi yang lemah.” Hadits ini diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya di jilid 4 hal. 314 dengan lafadh yang mirip seperti riwayat Thabrani di atas. Dan dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ishaq bin Abdul Wahid Al-Qurasyi yang dilemahkan oleh Al-Imam Adz-Dzahabi dalam Talkhisnya dan juga terdapat Abdullah bin Ishaq Al-Wasithi yang juga dilemahkan. Sehingga dengan kedua sanad tersebut hadits ini adalah hasan).
3). Memilih pergaulan dengan orang-orang yang shalih yang mempersedikit pembicaraan tentang hal-hal yang akan membangkitkan syahwat. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu:
“Seorang itu akan sesuai dengan kondisi keagamaan teman dekatnya. Oleh karena itu setiap orang hendaknya meneliti siapa teman dekatnya.” (Hadits Shahih, lihat As-Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah karya Al-Albani)
4). Memperbanyak ibadah shalat yang sunnah setelah shalat yang wajib terutama shalat malam dengan witirnya dan shalat sunnah rawatib serta shalat dhuha agar menyegarkan keimanan dan memberikan energi kesabaran yang besar untuk kuat menahan diri dari yang haram. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta`ala:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah pelakunya dari kekejian dan kemunkaran.” (Al-Ankabut: 45)
Juga firman Allah Ta`ala:
“Hai orang-orang yang beriman minta tolonglah kalian kepada Allah dengan sabar, sesungguhnya pertolongan Allah itu beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153)
5). Memikirkan tentang betapa kejinya akibat mengumbar syahwat dan betapa rendahnya keadaan orang yang menuruti kemauan syahwatnya. Dengan terus memikirkan hal yang demikian itu, maka hal ini akan memperkuat kesabaran seorang mukmin dalam menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh Allah dan mentaati perintah-Nya. Allah Ta`ala menerangkan betapa kejinya perbuatan mengikuti hawa nafsu agar menjadi bahan pemikiran kita untuk jangan kita terjatuh padanya. Hal ini dapat kita pelajar dari ayat-ayat berikut:
Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan keji dan menjijikan.” (Al-Isra’: 32)
Juga Allah berfirman:
“Mereka yang mengikuti hawa nafsu itu punya akal dan hati namun mereka tidak mau berfikir dengannya, mereka punya mata namun mereka tidak melihat dengannya, mereka punya pendengaran namun mereka tidak mau mendengar nasehat dengannya. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih rendah daripadanya.” (Al-A’raf: 179)
6). Banyak berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an dengan berusaha memahami dengan pemahaman yang benar segala yang dibacanya itu. Yang demikian itu akan lebih menentramkan hati dan menguatkan semangat ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal sebagaimana ditegaskan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah akan menentramkan hati.” (Ar-Ra’du: 28)
Juga firman-Nya:
“Apakah mereka tidak mau mengambil pelajaran dan pemahaman dari Al-Qur’an, ataukah hati mereka telah ditutup sehingga tidak bisa lagi memahaminya?” (Muhammad: 24)
Juga firman Allah Ta`ala:
“Dan kitab ini telah Kami turunkan ia dengan diberkahi padanya dan dengan benar agar engkau memberi peringatan kepada penduduk Mekkah dan segenap umat manusia dan orang-orang yang beriman kepada akhirat pasti akan beriman kepadanya. Yaitu mereka yang selalu memelihara shalatnya.” (Al-An`am: 92)
7). Berpuas diri dengan yang dihalalkan oleh Allah dan menganggap rendah segala yang diharamkan oleh Allah, agar dengan demikian akan menguatkan kesabaran dalam mentaati perintah dan larangan Allah. Hal ini sebagaimana kita dibimbing oleh Allah dalam memahami perintah dan larangan-Nya sebagaimana dalam firman-Nya:
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk lelaki yang keji dan laki-laki yang keji adlaah untuk wanita yang keji, dan wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula.” (An-Nur: 26)
MENERAPKAN SIKAP SABAR DALAM BERBAGAI MASALAH
Setelah kita mengerti apa itu sabar dan betapa besar keutamaan sabar di sisi Allah, maka perlu kita mengerti terapan amalan sabar dalam berbagai masalah kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk keperluan ini perlu kita bawakan contoh amalan para Nabi dan para Rasul serta para aulia’ullah shalihin. Merekalah teladan kita dalam terapan sabar dengan segala pengertiannya.
Nabiullah Ibrahim `alaihis salam telah digelari di dalam Al-Qur’an sebagai `ummah yang maknanya ialah panutan atau teladan dalam berbagai pengertian sabar. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat ke 120 – 123:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah sosok Ummah (iman keteladanan yang mencakup semua kebaikan), Qanitan (yang khusyu dan taat kepada Allah), Hanifan (menjauh dari syirik dan condong kepada tauhid), dan tidak dia termasuk golongan orang-orang yang berbuat syirik. Dia adalah orang yang banyak bersyukur kepada nikmat Allah, dan Allah pilih dia untuk menerima berbagai kemuliaan serta Allah tunjuki dia kepada jalan yang lurus. Kami memberikan kepadanya juga di dunia dengan berbagai kebaikan dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang shalih kemudian Kami wahyukan kepada engkau hai Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam agar engkau mengikuti agama Ibrahim yang condong kepada ketauhidan dan tidaklah dia termasuk golongan orang-orang yang berbuat syirik.” (An-Nahl: 120-123)
Demikian pujian Allah kepada Ibrahim sebagai sosok teladan kesabaran dalam menjalankan kesabaran yang diperintahkan oleh Allah Ta`ala kepadanya. Ketika Ibrahim masih remaja, dia sangat mempertanyakan dan meragukan konsep ketuhanan yang diajarkan oleh Bapaknya yang bernama Azar. Bahkan Ibrahim mempertanyakan sosok Tuhan yang disangkakan oleh kaumnya pada bintang gemintang, bulan dan matahari. Benda-benda langit itu yang satu lebih besar dari yang lainnya, namun semuanya terus menerus dalam keadaan muncul dan tenggelam dan Ibrahim menyatakan berlepas diri dari segala kepercayaan yang mengajarkan ketuhanan benda-benda langit itu. (Lihat surat Al-An`am ayat ke 75 sampai ke 78). Kemudian Ibrahim menyatakan prinsip ketauhidannnya tentang Allah di hadapan kaumnya:
“Sesungguhnya aku mengikhlaskan agamaku dan segenap ibadahku bagi Dzat yang telah menciptakan langit yang tujuh dan bumi dengan kecenderungan total untuk mentauhidkannya dan aku bukan termasuk golongan orang-orang yang berbuat syirik.” (Al-An`am: 79)
Ibrahim telah dianugerahi oleh Allah ilmu yang kokoh dan keimanan yang tangguh. Sehingga tumbuhlah ia menjadi remaja yang militan dalam memegang prinsip agama Allah di atas dasar ilmu. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firmannya dalam surat Al-An`am 83:

“Dan demikianlah Kami berikan hujjah Kami kepada Ibrahim untuk mematahkan segala kebatilan pada kaumnya. Kami mengangkat derajat dengan beberapa derajat siapa yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Sempurna hikmahnya dan Maha Mengetahui.” (Al-An`am: 83)

Militansi Nabi Ibrahim `alaihis salam menjadikan dia sangat pemberani dan berjiwa revolusioner dalam mengganyang berbagai bentuk keberhalaan yang ada pada kaumnya sehingga Ibrahim menghancurkan kuil sebagai pusat penyembahan berhala pada kaumnya dengan penuh keberanian dan kecerdikan. Dia melakukan itu tidak dengan emosi keberingasan, namun dengan perhitungan ilmiah demi menyampaikan pesan kepada kaumnya bahwa kemusyrikan itu adalah tindakan irrasionil dan primitif. Untuk ini Ibrahim sengaja meninggalkan berhala yang paling besar yang ada pada kuil tersebut dan mengalungkan kampak pada leher berhala paling besar itu. Hal ini diceritakan oleh Allah dalam surat Al-Anbiya’ ayat ke 51 – 57. kemudian di ayat selanjutnya Allah menyempurnakan ceritanya (yang artinya): “Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berantakan kecuali berhala yang paling besar karena dia berharap kaumnya menanyakan peristiwa penghancuran itu kepada berhala yang paling besar tersebut. Maka setelah mereka mengetahuinya mereka berkata: Siapakah yang berbuat kepada berhala kita ini. Sungguh si pelaku itu termasuk orang-orang yang dhalim. Mereka pun mengatakan: Kami mendengar seorang anak muda yang disebut namanya dengan nama Ibrahim. Mereka pun menyatakan: Datangkan dia, hadapkan di depan orang banyak agar orang banyak ikut menyaksikannya. Maka ketika Ibrahim digelandang di hadapan kaumnya, mereka pun bertanya kepadanya: Wahai Ibrahim, apakah engkau yang berbuat seperti ini kepada tuhan-tuhan sesembahan kami? Maka Ibrahim menjawab dengan lantang: “Bahkan yang berbuat adalah berhala yang paling besar ini. Silakan tanyai dia kalau dia bisa berbicara.” Maka mereka pun mencerca diri-diri mereka sendiri dan mereka berbicara terhadap diri mereka sendiri: Sesungguhnya kalianlah yang berbuat dhalim dengan menyembah berhala yang tidak bisa bicara itu. Kemudian mereka kembali memalingkan kepala mereka menghadap Ibrahim seraya berkata: Sungguh engkau telah tahu wahai Ibrahim bahwa berhala-berhala itu tidak bisa berbicara.” Ibrahim langsung menyambar omongan mereka dengan mengatakan: “Kalau begitu mengapa kalian menyembah selain Allah, makhluk yang tidak bisa memberi manfaat apa-apa kepada kalian dan tidak pula bisa memberi madlarat. Betapa rendahnya kalian dan betapa rendahnya segenap sesembahan kalian yang kalian sembah selain Allah. Apakah kalian tidak mau berpikir bahwa berhala-berhala tersebut tidak pantas untuk diibadahi?” (Al-Anbiya: 58 – 67)
Demikian Ibrahim dengan berani dan tidak emosional dalam menjalankan upaya penyadaran kaumnya dari kerendahan paganisme. Dia tidak emosional dalam menjalankan semua perjuangan itu, karena kesabarannya dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya sebagai individu seorang Nabi dalam perjuangan menegakkan tauhidul ibadah. Ibrahim sabar dalam melawan segala bayangan resiko perjuangannya. Dan benar saja apa yang dibayangkan dari resiko perjuangan tersebut. Kaumnya ketika tidak mampu membantah apa yang dipesankan oleh Ibrahim bahwa penyembahan berhala itu tidakan primitif dan irrasionil, maka mereka pun tidak lagi menggunakan akal dalam menerima pesan itu, tetapi justru menggunakan kekuatan fisik dan kekuasaan dalam upaya mereka membungkam suara kebenaran dari anak muda yang bernama Ibrahim.

Mereka menyatakan: Bakarlah anak muda ini dan belalah tuhan-tuhan sesembahan kalian bila kalian memang membelanya. Maka Kami katakan kepada api: Wahai api jadilah kamu dingin dan sejahtera bagi Ibrahim. Dan mereka menghendaki dengan membakar Ibrahim itu satu tipu daya, maka Kami pun menjadikan mereka menjadi orang-orang yang menyesal. Dan Kami selamatkan Ibrahim dan pengikutnya yang bernama Luth untuk berpindah ke wilayah bumi yang telah Kami berkahi padanya bagi segenap makhluk.” (Al-Anbiya’: 68 – 71)
Demikianlah perjuangan Ibrahim sebagai anak muda dalam menjalankan kesabaran ketika berstatus sebagai individu. Dia juga adalah teladan kesabaran dalam statusnya sebagai kepala rumah tangga ketika mendidik dan memimpin anak-anaknya dan istri-istrinya.. Ibrahim diperintah oleh Allah untuk menempatkan istrinya yang bernama Hajar dan putranya yang masih bayi bernama Ismail di tempat wilayah gunung batu yang gersang tidak ada fasilitas hidup padanya dan tidak ada penduduk yang tinggal disitu, sendirian di tanah yang gersang yang menurut akal manusia tidak mungkin orang bisa mempertahankan hidup padanya. Namun karena ini karena perintah dari Allah, maka dia dengan sabar menjalankan perintah itu dan penuh tawakal kepada Allah, meninggalkan istri dan anaknya di tempat tersebut sendirian dan dia kembali ke negeri asalnya Babilonia. Allah menyelamatkan bayi Ismail dan ibunya setelah melalui kehausan yang dahsyat dan putus asa mengharap bantuan dari selain Allah. Dan Allah memuncratkan mata air zam zam di tengah padang pasir yang dilingkupi oleh gunung batu itu dan selamatlah ibu dan anak itu dari mati kehausan sehingga jadilah kafilah dagang yang lewat di situ mampir kepadanya untuk mengambil air itu sehingga timbullah perkampungan di sana. Bayi Ismail tumbuh di perkampungan itu sampai memasuki usia remaja dan bapaknya menjenguk sang anak ketika anak telah mencapai usia remaja. Dalam suasana perjumpaan bapak dan anak yang saling melepas rindu itu, datang lagi ujian yang berat kepada Ibrahim dan anaknya, yaitu perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail. Dan perintah ini dijalankan dengan penuh kesabaran oleh Ibrahim dan ketawakalan kepada Allah. Hal ini diceritakan oleh Allah dalam surat As-Shaffat ayat ke 101 – 111 (yang artinya):
Maka Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim dengan lahirnya anak lelaki yang mempunyai sifat penuh kesabaran. Maka ketika sang anak telah mencapai usai baligh dan mulai bisa membantunya dalam pekerjaannya, berkatalah Ibrahim kepada Ismail yang remaja itu: Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat mimpi dalam tidurku bahwa aku menyembelih engkau. Maka cobalah bagaimana pendapatmu tentang mimpi ini. Berkatalah Ismail kepada bapaknya: Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Niscaya engkau akan mendapati aku insya Allah termasuk golongan orang-orang yang sabar. Maka ketika keduanya tunduk melaksanakan perintah penyembelihan anak remaja itu dan Ismail telah ditidurkan dengan menempelkan pipinya ke batu untuk siap disembelih oleh Ibrahim, dan Kami memanggil Ibrahim: Wahai Ibrahim, engkau telah benar dalam menunaikan perintah dalam mimpimu itu. Sesungguhnya Kami membalas orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya perintah penyembelihan ini adalah ujian yang nyata terhadap kesabaranmu. Dan Kami gantikan Ismail sebagai korban dengan seekor gibas yang gemuk dan Kami jadikan pujian dan sanjungan bagi keduanya sampai di akhir jaman. Selamat sejahtera atas Ibrahim dan demikianlah Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya dia adalah hamba Kami yang mukmin.” (As-Shaffat: 101 – 111)
Ibrahim juga menjalankan manuver politik terhadap penguasa di jaman itu dengan mendatangi raja Namrudz, berdialog dengan penuh kesabaran di tempat tinggal sang raja yang penuh kedhaliman itu. Allah menceritakan hal ini dalam firman-Nya di surat Al-Baqarah ayat ke 258:
“Tidakkah kau melihat tingkah laku Namrudz yang mendebat Ibrahim tentang tuhannya. Padahal Kami berikan kepadanya kerajaan dan kekuasaan. Ketika Ibrahim berkata kepadanya dalam rangka mendakwahinya, tuhanku adalah Dzat yang bisa menghidupkan dan mematikan. Namrudz pun menjawab: Aku juga bisa menghidupkan dengan memberi keputusan hidup bagi tawanan yang semestinya dibunuh dan aku bisa juga mematikan dengan memenggal mati tawanan yang di bawah kekuasaanku. Mendengar jawaban itu, Ibrahim tidak melayani dengan membantah jawaban tersebut, tetapi bahkan beliau mengajukan pertanyaan lain yang mematikan dan mematahkan segala kesombongan sang raja. Ibrahim menyatakan kepadanya: Maka sesungguhnya Allah mampu menerbitkan matahari dari timur, maka silakan engkau terbitkan dari barat kalau kau memang bisa menyerupai kekuasaan Tuhanku. Maka bingunglah Namrudz dan terpatahkan segala alasan kesombongannya dengan tantangan Ibrahim ini kepadanya. Dan Allah tidak akan menunjukki kaum yang berbuat dhalim.” (Al-Baqarah: 258)
Manuver politik Ibrahim adalah dalam rangka dakwah mengajak manusia kepada prinsip mentauhidkan Allah dalam segenap peribadatan dan menyakini bahwa satu-satunya pencipta dan penguasa alam serta pengatur dan pemilik alam raya ini hanyalah Allah. Meskipun Ibrahim mendatangi penguasa yang paling bengis dan perkasa di kalangan kaumnya, namun beliau tidak luntur dari misi ketauhidan dan ketaatan terhadap syariat Allah dan beliau tidak gentar dalam membantah segala kesesatan dan penyimpangan sang raja.

Demikianlah teladan Imamul HunafaImamul Anbiya’Imamul Muwahiddin dalam menjalankan prinsip kesabaran dalam berbagai peran di segenap aspek kehidupan manusia. Cukuplah kiranya keteladanan beliau, mewakili segenap keteladan para Nabi dan para Rasul dan keteladanan para Auliaullah As-Shalihin.

PENUTUP
Demikianlah kepribadian sabar yang dituntunkan oleh syariat Allah dan Rasul-Nya sebagaimana diuraikan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dimana dengan kepribadian sabar itu akan menyelamatkan kita dari berbagai kesulitan dunia akhirat dan membimbing kita kepada kehidupan yang indah di dunia dan akhirat. Dengan kepribadian sabar, seorang mukmin diangkat derajatnya oleh Allah ke derajat yang setinggi-tingginya dan dengan sabar pula seroang mukmin dijaga oleh Allah dari segala marabahaya. Dengan sabar pula Allah selalu menolong hamba-Nya dimana pun dia berada dan dalam keperluan apapun. Kalau begitu sabar adalah kepribadian seorang mukmin yang merupakan kunci pemecahan segala problem di dunia dan akhirat. Semoga kita dibimbing oleh Allah menjadi hamba-Nya yang selalu bersabar dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. Amin ya Rabbal `alamin

Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar