Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

An-Najasat

PENGERTIAN
An-Najasat itu dari kata tunggalnya ialah an-najasah yang maknanya ialah benda-benda najis. Adapun yang dikatakan benda-benda najis itu ialah benda-benda yang bila pakaian atau tubuh kita atau tempat ibadah tersentuh dengannya, harus dicuci dengan air atau digosokkan dengan tanah sehingga baunya, warnanya dan tanda-tandanya telah hilang.
Benda-benda najis itu ialah benda-benda yang kotor dan dianggap najis oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tetapi ada pula benda-benda yang dianggap kotor oleh keumuman manusia, tetapi tidak dianggap najis oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu yang najis pastilah kotor, sedangkan yang kotor itu belum tentu najis.
Karena penetapan tentang sesuatu itu najis atau bukan adalah perkara yang berkaitan langsung dengan syarat sahnya shalat, maka untuk menetapkan bahwa sesuatu yang kotor itu adalah najis haruslah dengan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan tidak bisa sesuatu itu dianggap najis hanya karena perasaan atau akal pikiran manusia menganggapnya kotor. (LihatAr-Raudlatun Nadiyyah oleh Al-`Allamah Shiddiq Hasan Khan, hal. 9 – 10).
BENDA-BENDA YANG DIANGGAP NAJIS
Hukum asal segala benda itu adalah halal dan suci kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menyatakan bahwa benda itu haram atau najis. Jadi baru dikatakan najis dan haram bila ada dalil yang menyatakan demikian. Maka bila tidak ada dalil, berarti benda itu adalah suci dan halal. Hukum yang demikian ini dinyatakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Dia-lah Allah yang menciptakan bagi kalian segenap apa yang di muka bumi ini.” (Al-Baqarah: 29)
Dari ayat ini dipahami bahwa pada asalnya segala perkara di muka bumi ini diciptakan oleh Allah untuk digunakan bagi kepentingan manusia. Sehingga segenap perkara yang ada di muka bumi adalah halal dan suci untuk digunakan oleh manusia, kecuali yang dilarang oleh Allah untuk digunakan manusia karena diharamkan oleh-Nya atau dianggap najis oleh-Nya. (Lihat Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, jilid 21 halaman 535)
Dengan kaidah hukum yang demikian inilah kita merinci benda-benda najis itu masing-masingnya dengan dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits agar kita meyakini bahwa sesuatu itu adalah najis dengan kepastian ilmiah. Maka benda-benda najis itu adalah sebagai berikut:
1). Air kencing dan kotoran manusia, dengan dalil:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam melewati dua kuburan, kemudian beliau bersabda: “Kedua kuburan ini penghuninya sedang disiksa, dan keduanya tidaklah disiksa karena perkara yang besar. Adapun salah satu dari keduanya itu disiksa karena dia tidak bersih dari air kencing ketika buang air kecil.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
Maka membersihkan diri dari air kencing adalah wajib karena yang tidak menjalankannya disiksa dengan siksaan kubur.
Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka sesungguhnya debu adalah yang mensucikannya.” (HR. Abu DawudIbnu SakanAl-Hakim dan Al-Baihaqi).
Demikian dipahami makna hadits ini oleh Al-`Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalamAr-Raudlatun Nadiyah.
2). Darah haid dan nifas, dengan dalil:
Dari Khaulah bintu Yasar, dia mengatakan: “Wahai Rasulullah, aku tidak punya baju kecuali sepotong yang telah terkena darah haidku, bagaimana ini?” Beliau bersabda: “Maka bila engkau telah berhenti dari haid, cucilah bajumu pada bekas darah haid itu, kemudian pakailah baju itu untuk shalat.” Khaulah bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, bagaimana bila bekas darah haid itu tidak bisa hilang dengan dicuci?” Beliau menjawab: “Cukuplah air pencuci itu yang mensucikannya, dan tidak perlu mengganggumu bekasnya yang tidak bisa hilang itu.” (HR.Ahmad dan Abu Dawud serta At-Tirmidzi)
3). Air liur anjing, dengan dalil:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda: “Apabila anjing minum di bejana salah seorang dari kalian, maka cucilah bejana itu tujuh kali dengan air.” (HR. Muslim dalam Shahihnya dan dalam riwayat Ibnu Mughaffal juga dishahihkan Muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallammenambahkan: “Dan taburilah bejana itu dengan debu dan gosoklah dengannya setelah dicuci tujuh kali dengan air.”)
4). Madzi atau air syahwat, dalilnya ialah:
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku adalah seorang pria yang suka keluar madzi pada kemaluanku. Maka aku perintahkan seseorang untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam karena aku adalah suami bagi putri beliau. Maka bertanyalah orang tersebut dan beliau menjawab: “Berwudhulah setiap hendak shalat dan cucilah kemaluanmu.” (HR. Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits ke 269)

Adapun pengertian madzi itu, sebagaimana Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahmenerangkan: “Air berwarna putih yang encer dan lengket yang biasanya keluar dari kemaluan ketika bermesraan suami istri atau ketika melamunkan tentang persenggamaan atau ketika bangkit syahwat karena ingin bersenggama. Air madzi ini keluar kadang-kadang tidak terasa.” (Fathul Bari, jilid 1 hal. 379)
5). Daging babi dan segenap yang berkaitan dengannya, dalilnya ialah firman Allah Ta`ala:
“Katakanlah hai Muhammad, tidak aku dapati pada apa yang diwahyukan padaku pengharaman terhadap makanan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi karena daging babi itu najis, atau kefasikan dalam bentuk disembelihnya hewan untuk selain Allah (yaitu untuk sesembahan selain Allah).” (Al-An`am: 145)
Al-Imam Al-Alusi Al-Baghdadi rahimahullah menerangkan bahwa kata fa innahu rijsun yang artinya: “maka sesungguhnya ia itu najis” di ayat ini kembali kepada lahma khinziir yang artinya: “daging babi”. Karena yang paling dekat disebutnya sebelum kata fa innahu (artinya: “sesungguhnya ia”) adalah daging babi. Jadi dengan ayat yang maknanya demikian inilah madzhab Syafi`i menyakini bahwa daging babi itu najis. (Tafsir Ruhul Ma`ani oleh Al-`Allamah Abil Fadl Syihabuddin As-Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi jilid 4 hal. 289 – 290).
Lihat pula Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, demikian pula Al-`Allamah Shiddiq Hasan Khan dalamAr-Raudlatun Nadiyyah menegaskan makna ayat tersebut seperti keterangan Al-Alusi ini.
6). Bangkai termasuk benda najis, dengan dalil:
Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda: “Apabila kulit bangkai itu telah disamak, maka sungguh ia menjadi benda suci.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Haidh bab Thaharatu Juludil Maitah bid-Dibagh)
Maka dengan hadits ini tegaslah pengertiannya bahwa bangkai dengan kulitnya itu adalah najis dan kulitnya menjadi suci bila telah disamak.
Demikian pengertiannya diterangkan oleh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi dalam kitab beliau Al-Hawi Al-Kabir jilid 1 hal. 60 – 63 Babul Amiyah. Demikian pula diterangkan oleh Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin said bin Hazm Al-Andalusi dalamAl-Muhalla bil Atsar jilid 1 halaman 128, Kitabut Thaharah, masalah ke 129. As-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah menguatkan pendapat yang demikian ini ketika memberi catatan kaki pada kitab Ar-Raudlatun Nadiyyah dalam At-Ta`liqatu Radliyah jilid 1 halaman 118.
Diterangkan oleh Al-Imam Mawardi rahimahullah bahwa bangkai yang tidak najis hanyalah lima macam, yaitu:
a). Ikan dan segala jenis ikan.
b). Belalang.
c). mayat manusia.
d). Janin anak hewan yang induknya telah disembelih dengan cara yang syar’i.
e). Hewan buruan yang mati karena terlukai oleh anjing bila anjing itu dilepas dengan mengucap bismillah.
(Al-Hawi Al-Kabir jilid 1 halaman 58).
7). Air liur, air mata dan keringat orang kafir adalah juga termasuk perkara najis dan segenap yang berasal dari tubuh orang kafir adalah najis. Dalilnya adalah firman Allah Ta`ala:
“Hanyalah orang-orang musyrik itu adalah najis.” (At-Taubah: 28)
Demikian Ibnu Hazm menerangkan dalam Al-Muhalla jilid 1 halaman 137 masalah ke 134.
8). Khamr atau minuman yang memabukkan juga termasuk dari benda-benda najis. Dalilnya ialah firman Allah Ta`ala:
“Hanyalah khamr dan perjudian, dan berhala dan undian adalah perkara yang najis dari amalan setan. Maka jauhilah ia, semoga dengan demikian kalian menjadi orang yang menang.” (Al-Maidah: 90)
Demikian diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla jilid 1 halaman 133 masalah ke 130. Juga menerangkan demikian Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Ibnul Arabi Al-Maliki dalam Ahkamul Qur’an jilid 2 halaman 651.
Adapun pengertian khamr itu telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dalam sabda beliau:
“Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua yang memabukkan adalah haram. Dan barangsiapa yang meminum khamr kemudian mati dalam keadaan kecanduan khamr dan belum taubat daripadanya, maka dia tidak akan minum khamr di akhirat (yaitu khamr yang ada di surga Allah Ta`ala).” (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya)
Demikianlah benda-benda najis yang wajib dijauhkan dari badan kita, baju kita, dan tempat ibadah kita. Dan wajib untuk dicuci bila terkena dengannya sehingga hilang bau, warna, dan tanda-tandanya.

Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib

Daftar Pustaka
1). Al-Qur’anul Karim
2). Tafsir Ibnu Katsir, Al-Imam Abul Fida’ Ismail bin Karsir AL-Qurasyi Ad-Dimasqi, cetakan 1, penerbit Darur Rayah, Riyadl – Saudi Arabia, th. 1414 H / 1993 M.
3). Tafsir Ruhul Ma`ani, Al-Imam Abil Fadl Shihabuddin As-Sayyid Mahmud Al-Alusi Al-Baghdadi, cetakan 1, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut – Libanon, 1415 H / 1994 M.
4). Tafsir Ahkamul Qur’an, Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah Ibnul Arabi Al-Maliki, cetakan 1, Daru Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, th. 1376 H / 1957 M.
5). Al-Muhalla bil Atsar, Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm Al-Andalusi, Darul Fikr, Beirut – Libanon, tanpa tahun.
6). Ar-Raudlatun Nadiyah Syarah Ad-Durarul Bahiyyah, As-Sayyid Al-Imam Al-`Allamah Abit Thayyib Shiddiq Hasan Khan, tanpa tahun.
7). At-Ta`liqatur Radliyah `alar Raudlatin Nadiyyah, Al-`Allamah Al-Muhaddits As-Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani, cetakan pertama, Daru Ibni Affan, Kairo – Mesir, th. 1420 H / 1999 M.
8). Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyyah, Mujamma’ Al-Malik Fahad, Al-Madinah Al-Munawarrah – Saudi Arabia, th. 1416 H / 1995 M.
9). Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Al-Imam Abi Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, cetakan 1, Darul Fikr, Beirut – Libanon, th. 1417 H / 1996 M.
10). Al-Hawi Al-Kabir, Al-Imam Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, Darul Fikr, Beirut – Libanon, th. 1414 H / 1994 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar