Powered By Blogger

Selasa, 01 Februari 2011

Aurat Muslimah

Para ulama telah sepakat bahwa aurat wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya (mahram yakni pihak yang haram dinikahi) adalah seluruh badannya, kecuali wajah dan telapak tangannya masih diperdebatkan oleh para ulama’ apakah termasuk aurat yang wajib ditutup ataukah bukan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1). Firman Allah Ta`ala:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (Al-Ahzab: 53)
Ayat ini berkenaan dengan peristiwa menikahnya Nabi shalallahu `alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsyi. Beliau mengundang para shahabat dan dihidangkan kepada mereka makanan. Setelah itu sebagian dari mereka pulang, sementara sebagian yang lain masih duduk bersama Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam keluar masuk menemui Zainab, dimaksudkan agar shahabat yang masih tinggal segera pulang. Maka turunlah ayat di atas. Sejak saat itu dibentangkan antara beliau dan mereka hijab (penutup yang menutup badan secara menyeluruh-pent).[1]
Sebagian ulama yang mewajibkan ditutupnya wajah dan kedua telapak tangan berkata: bahwasanya pembicaraan hijab ini termasuk padanya wanita secara keseluruhan (bukan hanya istri Nabi, pent) karena hikmah disyariatkannya hijab adalah untuk menjaga kesucian hati.
2). Firman Allah Ta`ala:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri kaum mukminin agar mereka menurunkan jilbab-jilbab mereka yang demikian itu agar mereka lebih dikenal sehingga tidak diganggu dan Allah itu maha pengampun lagi maha penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
Mereka para ulama yang mewajibkan ditutupnya wajah dan kedua telapak tangan menafsirkan menurunkan jilbab itu adalah dengan menutup seluruh wajah dan menampakkan satu mata untuk melihat.
3). Hadits Ibnu Mas’ud.
Bahwasanya Nabi bersabda:
“Wanita itu adalah aurat jika mereka keluar syaithan akan menghiasinya.”[2]
Dan makna syaitan menghiasinya yaitu “pada pandangan laki-laki”.
4). Hadits Al-Ifk dari ‘Aisyah
Beliau mengatakan:
Adalah Shafwan bin Mu’aththal, salah seorang dari pasukan yang berjalan paling belakang. Dia sampai di tempatku. Dia melihat bayangan manusia yang sedang tidur lalu mendekatiku dan mengenaliku di saat melihatku karena dia sebelumnya telah melihatku sebelum turun perintah hijab. Maka aku terbangun demi mendengar istirja’nya[3] di saat dia mengetahui siapa aku, maka aku menutupkan jilbabku ke wajahku.”[4]
5). Hadits Asma’ binti Abu Bakr
Beliau berkata:
“Kami para wanita menutupi wajah-wajah kami dari para lelaki dan kami menyisir rambut sebelum itu pada saat berihram.”[5]

PARA ULAMA YANG MEMBOLEHKAN

Sementara itu sebagian ulama lain berpendapat bahwa boleh membuka wajah dan kedua telapak tangan dan menutupnya adalah disunnahkan (bukan aurat, pent). Mereka berdalil dengan beberapa dalil antara lain:
1). Firman Allah Ta`ala:
“Dan janganlah mereka menampakan perhiasan mereka kecuali perhiasan yang biasa nampak.” (An-Nur: 31)
Mereka menafsirkan “kecuali perhiasan yang biasa nampak” adalah wajah dan kedua telapak tangan.[6]
2). Hadits ‘Aisyah tentang Asma’ bintu Abi Bakr yang masuk menemui Nabi dengan mengenakan pakaian tipis maka beliau berpaling darinya (Asma’) dan bersabda:
“Wahai Asma’, sesungguhnya wanita itu jika sudah mencapai usia haidh / menstruasi maka tidak pantas untuk terlihat kecuali ini dan ini-- beliau mengisyaratkan kepada wajah dan telapak tangan.”[7]
Dan ini adalah dalil yang paling tegas dari pendapat ini tetapi sanadnya sangat lemah.
Mereka juga berdalil dengan hadits-hadits yang memberikan pengertian bahwasanya wanita muslimah pada zaman Nabi menampakkan wajah atau telapak tangan di hadapan Nabi dan beliau tidak melarangnya. Hadits–hadits tersebut antara lain:
Hadits Jabir bin Abdullah ketika Nabi menasehati para wanita pada hari ‘Ied:
“Maka berdirilah wanita yang pipinya putih kehitaman dari tengah-tengah wanita lainnya dia mengatakan: “Mengapa ya Rasulullah?”[8]
Mereka mengatakan bahwasanya perkataan Jabir “wanita yang pipinya putih kehitaman” menunjukkan bahwa wanita tersebut terbuka pipinya.
4). Hadits Ibnu ‘Abbas tentang kisah Nabi yang memboncengkan Fadhl bin ‘Abbas pada waktu haji wada’ (haji perpisahaan). Kemudian datanglah seorang wanita bertanya kepada Nabi:
“Al-Fadhl menoleh kepada wanita yang cantik itu maka Rasulullah memegang dagu Al-Fadhl dan memalingkan wajahnya ke arah lain.”[9]
Dalam riwayat lain hadits dari Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwasanya peristiwa tersebut terjadi di tempat penyembelihan setelah Rasulullah selesai melempar jumrah.[10] maka pertanyaan wanita terjadi setelah dia bertahallul[11] dari ihram (tahallul pertama).
Ibnu Hazm berkata: “Jika memang wajah wanita adalah aurat yang mesti ditutup, maka Rasulullahshallallahu `alaihi wa sallam tidak akan menyetujui terbukanya wajah wanita tersebut di hadapan orang dan tentunya beliau akan memerintahkan kepada wanita tersebut untuk menurunkan jilbabnya dari atas kepala wanita tersebut (sehingga menutupi wajah, pent) dan jika memang wajahnya tertutup, maka Ibnu Abbas tidak akan tahu cantik atau jeleknya wanita tersebut.”[12]
5). Hadits ‘Aisyah beliau mengatakan:
“Para wanita mukminah shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan berkerudungkan dengan selimut-selimut mereka, kemudian mereka kembali ke rumah-rumah setelah menunaikan shalat tanpa diketahui karena masih gelap.”[13]
Mereka mengatakan: “Kalaulah bukan karena gelap maka tentu mereka akan dikenali, karena wajah mereka biasa terbuka.”
6). Hadits Ibnu Abbas tentang kisah Nabi yang menasehati para wanita pada saat ‘Ied

“Maka Nabi memerintahkan mereka untuk bersedekah, aku melihat mereka melemparkan dengan tangan-tangan mereka (pada riwayat lain: “melemparkan cincin ke kainnya Bilal”).[14]
7). Hadits Aisyah:
“Datang kepada Nabi seorang wanita yang tidak mewarnai kuku tangannya untuk membaiat beliau maka Nabi tidak mau membaiat sampai dia mewarnai kuku tangannya.”[15]
Mereka berdalil pula dengan sejumlah riwayat yang menyebutkan adanya perbuatan membuka wajah dan telapak tangan oleh wanita setelah wafatnya Nabi. Dan perlu diketahui bahwa masing-masing para ulama mempunyai bantahan terhadap dalil yang dipakai oleh kelompok ulama lain yang terlalu panjang bila disebutkan disini.
Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid Salim berkata: yang saya maukan dengan membawakan dua pendapat para ulama tersebut beserta beberapa dalil dari masing-masingnya adalah untuk menerangkan bahwa masalah ini --yaitu masalah memakai cadar-- telah diperselisihkan oleh para ulama baik ulama terdahulu maupun belakangan. Yang perbedaan pendapat ini adalah perbedaan yang semestinya terjadi dan tidak perlu padanya pengingkaran yang berlebihan terhadap pendapat yang berbeda. Tidak lupa saya ingatkan adanya golongan ketiga (yang bukan dari golongan ulama sedikitpun), mereka mengatakan bahwa menutup wajah adalah bid’ah dan merubah agama. Kebodohan mereka ini telah sampai pada penulisan kitab yang mengklaim bahwa menutup wajah bagi wanita itu adalah sesuatu yang haram.
Pada penutupan pembahasan ini saya menggarisbawahi beberapa hal:
1). Telah sepakat para ulama atas wajibnya para wanita menutup seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan bagi wanita merdeka.
2). Tentang wajah dan telapak tangan masih diperdebatkan sebagaimana tersebut di atas.
3). Para ulama yang berpendapat tidak wajibnya menutup wajah dan telapak tangan mereka mengakui bahwa menutupnya adalah lebih utama, lebih-lebih pada masa fitnah sekarang ini.
(diterjemahkan dari kitab Shahih Fiqhus Sunnah jilid 3 hal. 29-33, karya Abu Malik Kamal bin Asy-Sayyid Salim).
Wahai saudariku muslimah, amalan menutup wajah dan telapak tangan ini adalah amalannya para wanita salafiyah ash-shalihah baik dari kalangan shahabiyah (wanita sahabat) maupun sesudahnya yang telah ditinggalkan oleh kebanyakan wanita di zaman ini. Kebanyakan mereka terfitnah dengan berbagai macam ajakan untuk berkreasi dengan dengan alat-alat kecantikan untuk menarik kaum laki-laki yang hatinya berpenyakit. Maka pada jaman seperti ini sungguhlah berat godaan bagi wanita yang hendak berpegang teguh dengan agamanya maka pada hari-hari ini tidaklah seorang wanita itu berhasil istiqamah beramal dengan amalan ini kecuali dia adalah seorang wanita yang sabar.
Telah diriwayatkan dari Abi Tsa’labah radliyallahu `anhu bahwasanya Nabi bersabda:
“Sesungguhnya pada belakang hari nanti ada hari-hari kesabaran, padanya (orang yang berpegang dengan sunnah, pent) seperti menggenggam bara api, orang yang beramal pada hari-hari tersebut mendapatkan pahala seperti pahala 50 orang yang beramal seperti amalan kalian (para sahabat Nabi-pent.).”[16]
Maka tidakkah engkau wahai saudariku muslimah tergerak untuk mendapatkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya yang setera dengan pahalanya 50 orang dari wanita-wanita shahabiyahridhwanullahi ‘alaihinna ajma’in.
Lebih dari itu jika wajahmu tertutup maka tertutup pulalah pintu syaithan yang akan mengajakmu bertabarujj (merias muka) yang terlarang itu.
Semoga Allah menjadikan kita ke dalam orang-orang yang ikhlas dalam beragama dan semoga Allah memasukkan kita ke dalam orang-orang yang sabar, Amin ya rabbal’alamin.
Majalah SALAFY Edisi 07/Th. 05


[1] HR. Al-Bukhari 4791, Muslim 1428 dari Anas bin Malik secara makna
[2] HR. At-Tirmidzi 1173, Ibnu Khuzaimah 3/95, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir 10115.
[3] Ucapan “innalillahi wa inna ilaihi raji’un”
[4] HR. Al-Bukhari (4141), Muslim (2770)
[5] Mustadrak Al-Hakim (1/454) dengan sanad yang shahih

[6] pendapat ini dipilih oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya (18/84)
[7] HR. Abu Daud (4104)
[8] HR. Muslim (885), Nasai (1/233), Ahmad (3/318)
[9] HR. Al-Bukhari (6228), Muslim (1218)
[10] HR. At-Tirmidzi (885)
[11] tahalul adalah selesai dari keadaan ihram
[12] Al-Muhalla (3/218)
[13] HR. Al-Bukhari (578), Muslim (645)
[14] HR. Al-Bukhari (977), Abu Daud (1143), Nasai (1/227)
[15] HR. Abu Daud (4166), Al-Baihaqi (786) dishahihkan oleh Al-Albani
[16] HR. Abu Daud (‘Aunul Ma’bud jilid 11 hal. 193), Ibnu Majah (2/1330), Ibnu Hibban(2108), Al-Hakim (4/322) dan berkata Al-Hakim sanadnya shahih tetapi tidak diriwayatkan dalam Shahihain, disepakati oleh Adz-Dzahabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar