Powered By Blogger

Selasa, 18 Januari 2011

Adam & Hawa Memulai Kehidupan

Setelah diturunkan ke muka bumi, mulailah babak-babak kehidupan di dunia dijalani oleh Adam dan Hawa alaihimas salam. Allah Ta’ala menaqdirkan dengan HikmahNya yang Maha Sempurna, bahwa turunnya Adam dan Hawwa’ di muka bumi ini dengan tempat yang terpisah jauh setelah keduanya berkumpul berduaan selalu di surga Allah. kemaksiyatan yang dilakukan oleh keduanya menyebabkan terjadinya perpisahan yang menyedihkan. Bagaimana tidak menyedihkan, ketika Adam diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan sendirian di surga, dia merasa kesepian dan sangat memerlukan adanya teman hidup untuk mengusir kesepian yang mengepungnya. Dan ketika Allah Ta’ala akhirnya menciptakan teman hidupnya yaitu Hawwa’ sebagai pasangan serta istrinya, Adam mulai mencintai teman hidupnya ini. Di saat itulah perpisahan keduanya ketika diturunkan di dunia dengan tempat turun yang berjauhan antara satu dengan lainnya. Maka kehidupan di muka bumi dimulai dengan kesedihan perpisahan dari kekasih. Adam diturunkan di India dan Hawwa’ diturunkan di Jeddah dekat Makkah. Dua tempat yang sangat berjauhan ketika bumi hanya diliputi hutan belantara yang sangat dahsyat. Adam dan Hawwa’ alaihimassalam menangis dan menangis ketika sampai di bumi demi melihat betapa sengsaranya kehidupan di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan di surga Allah. Al Imam Al Auza’ie meriwayatkan dari Hasan bin Athiyyah bahwa Adam dan Hawwa’ menangis ketika turun di bumi selama enampuluh tahun karena menyesali berbagai kenikmatan di surga yang tidak didapati lagi oleh keduanya di bumi ini. Keduanya juga menagis karena menyesali dosa yang dilakukan oleh keduanya. Demikian Ibnu Katsir membawakan riwayat tersebut dalam Al Bidayah Wan Nihayah jilid 1 hal. 74.

Namun Adam dan Hawwa’ tidak boleh terus menerus larut dalam kesedihannya. Allah Ta’ala menurunkan malaikat Jibril alaihis salam ke bumi untuk mengajari keduanya berbagai cara bercocok tanam untuk mendapatkan bahan makanan yang layak untuk dikonsumsi keduanya dan kelak anak cucunya. Maka mulailah keduanya menjalani perjuangan hidup didunia dengan segenap pahit getirnya kehidupan.
KESEPIAN DALAM KESENDIRIAN :

Naluri kemanusian pada Adam dan Hawwa’ menumbuhkan keresahan pada keduanya dalam posisi kesendirian di tempat masing-masing yang saling berjauhan satu dengan yang lainnya. Tumbuh rasa kesepihan pada keduanya dan keinginan untuk saling berjumpa untuk menumpahkan kerinduan yang semakin mendera. Juga naluri sebagai hamba Allah Ta’ala menumbuhkan keresahan pada keduanya ketika merindukan suasana penuh suara dzikir tasbih, tahmid dan takbir mengagungkan Allah Ta’ala sebagaimana yang biasa keduanya mendengar dan menyaksikannya pada majlis para Malaikat di surga Allah sebelum keduanya diturunkan ke bumi. Maka Adampun menyampaikan keluhan dan rintihannya kepada Allah Ta’ala, karena hanya Dialah yang bisa mendengar segala keluhan hambaNya dan hanya Dia yang dapat memberi segala permintaan hambaNya.

Diriwayatkan oleh At Thabari dalam Tarikhnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menceritakan : “Adam diturunkan di India dan Hawwa’ diturunkan di Juddah, maka datanglah Adam mencari Hawwa’ untuk keduanya berkumpul kembali dan Hawwa’ mendekat kepada Adam, sehingga dinamakanlah tempat itu dengan Muzdalifah dan mulailah keduanya saling kenal mengenal di Arafat sehingga tempat itu dinamakan Arafat, dan berkumpullah keduanya di Jam’in sehingga tempat itu dinamakan Al Jam’u dan Adam diturunkan di sebuah gunung di negeri India yang dinamakan Baudza”. Demikian Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menceritakan. Beliau meriwayatkan pula bahwa masa perpisahan antara Adam dan Hawwa’ setelah diturunkan di dunia ialah seratus tahun.

At Thabari meriwayatkan pula cerita Atha’ bin Abi Rabah : “Ketika Adam kehilangan suara-suara tasbih, tahmid, dan takbir mengagungkan Allah Ta’ala yang biasa didengar olehnya dari para Malaikat, maka Adampun merasa kesepian sehingga diapun mengadukan rintihan kesepiannya itu kepada Allah Azza Wa Jalla dalam do’anya dan sholatnya. Maka Adampun diarahkan untuk menuju Makkah, sehingga jadilah tempat dia menapakkan kakinya dalam perjalanan menuju Makkah dari India itu, desa-desa yang bakal ditempati oleh anak cucunya nanti, dan jurang-jurang. Sehingga sampailah ia ke Makkah, dan ketika itu Allah turunkan batu mulia dari batu mulya yang ada di surga tepat di tempat dibangunnya Ka’bah sekarang ini, sehingga Adampun berthawaf padanya terus-menerus sampai akhirnya Allah mengirim angin topan sehingga angin itu mengangkat batu mulia tersebut kembali ke langit. Kemudian setelah itu Allah Ta’ala mengutus Ibrahim Al Khalil alaihis salam maka diapun membangunnya tempat bekas thawafnya Adam itu. Inilah makna firman Allah Ta’ala dalam surat Al Haj 26 (yang artinya) : Dan ingatlah ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat Al Bait (yakni Ka’bah rumah Allah)”.

Diriwayatkan pula oleh At Thabari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa beliau bercerita : “Ketika Adam dan Hawwa melanggar larangan Allah di surgaNya, Allah Ta’ala menyatakan kepada keduanya : Maka demi kemulyaanKu, sungguh-sungguh Aku akan menurunkanmu ke bumi, sehingga di sana kamu tidak akan mendapatkan keperluan hidup, kecuali dengan susah payah. Sehingga keduanyapun turun ke bumi dari surgaNya. Semula keduanya di surga memakan buah-buahan yang telah tersedia, maka ketika keduanya sudah diturunkan di bumi, keduanya memakan buah-buahan yang tidak tersedia dan juga makan makanan dan minuman yang tidak tersedia seperti di surga. Akan tetapi harus dengan susah payah untuk mendapatkannya. Maka mulailah Adam diajari bagaimana cara membikin besi dan diperintahkan untuk bercocok tanam, sehingga Adampun mulai bercocok tanam dan membikin upaya pengairan terhadap tanah pertaniannya. Sehingga ketika tanam-tanaman itu mulai menguning siap untuk dipetik, Adampun memetik hasil pertaniannya itu dan menumbuknya untuk mengupas kulitnya dan terus menumbuknya untuk membikin tepung. Setelah menjadi tepung Adam mengadoni tepung itu terus memanggangnya di atas api sehingga menjadi roti sehingga Adam dan Hawwa’ menyantapnya”.

Al Allamah Izzuddin Abil Hasan Ali bin Abil Karam Muhammad bin Muhammad bin Abdil Karim bin Abdil Wahid Asyaibani yang terkenal dengan Ibnul Atsir meriwayatkan dalam kitabnya yang terkenal Al Kamil Fit Tarikh jilid 1 halaman 39, bahwa semua proses bercocok tanam dan kemudian membikin roti yang dilakukan oleh Adam dan Hawwa’ itu dipandu dan dibimbing dengan pengajaran dari Malaikat Jibril yang Allah kirim ke bumi untuk mengajari Adam dan Hawwa’ berbagai cara menjalani hidup di dunia yang penuh dengan cerita pahit getirnya perjuangan mempertahankan hidup.
MENJALANI HIDUP DENGAN BERANAK CUCU :

Adam dan Hawwa’ ditaqdirkan oleh Allah Ta’ala untuk menjadi suami istri guna menjadi sebab lahirnya anak- anak Adam dan kemudian memenuhi kehidupan di muka bumi ini. Diriwayatkan oleh Al Imam At Thabari dalam Tarikhnya dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bahwasanya beliau bersabda : “Allah Ta’ala mengambil perjanjian dari punggung Adam di tempat yang bernama Na’man di Arafah. Maka Allah mengeluarkan dari punggung Adam calon anak turunannya dalam bentuk sesuatu yang bisa dilihat oleh mata, kemudian mereka diletakkan di depan kedua mata Adam dan Allahpun mengajak bicara mereka, maka Allah berfirman : Bukankah Aku ini adalah Tuhan sesembahan kalian ? Mereka calon manusia itu menjawabNya : Bahkan kami mempersaksikan yang demikian itu. Persaksian demikian ini Kami lakukan agar jangan sampai nanti di hari kiamat kalian menolak keputusan adzab Kami atas perbuatan dosa kalian, dengan mengatakan : Oo, kami lupa sehingga kami berbuat demikian. Atau kalian mengatakan : Sesungguhnya yang berbuat syirik itu adalah nenek moyang kami sebelum kami lahir di dunia, sedangkan kami adalah anak cucu mereka sesudah generasi mereka. Apakah pantas Engkau Ya Allah, akan membinasakan kami sebagai akibat perbuatan orang- orang ahli batil dari nenek moyang kami”.

Ibnul Atsir dalam Al Kamil Fit Tarikh jilid 1 halaman 39 meriwayatkan : “Kemudian Allah turunkan Adam dari posisinya di puncak gunung (yaitu tempat pertama kali dia diturunkan di muka bumi ini) ke lembah gunung itu dan Allah jadikan dia sebagai pimpinan di muka bumi ini atas penghuninya waktu itu yang terdiri dari kalangan jin dan binatang melata dan burung-burung serta berbagai jenis hewan yang lainnya. Maka Adam mengadukan keresahannya kepada Allah Ta’ala dengan mengatakan : Wahai Tuhanku, tidakkah di muka bumi ini tidak ada yang bertasbih kepadaMu selain aku ? Maka Allah Ta’ala menjawab : Aku akan mengeluarkan dari sulbimu, anak keturunanmu yang nantinya mereka selalu bertasbih dan bertahmid kepadaKu dan Aku akan jadikan padanya rumah-rumah yang di sana dipanjatkan berbagai dzikir kepadaKu, juga Aku akan membikin padanya satu rumah yang mendapatkan kekhususan dariKu dengan kemulyaan dariKu dan akan Aku namakan dia sebagai RumahKu. Aku akan jadikan ia sebagai tempat yang mulya yang dijamin adanya keamanan padanya. Maka barangsiapa yang memulyakan rumahKu itu dalam rangka memulyakanKu, Aku pasti akan memberikan kemurahan kepadanya, dan barangsiapa menakut-nakuti orang yang mengunjungi rumahKu itu, maka sungguh dia telah menantang perlindunganKu padanya dan melecehkan kehormatanKu. Rumah itu adalah rumah yang pertama kali di muka bumi dibangun di muka bumi. Barangsiapa yang melakukan perjalanan untuk menuju kepadanya dengan niat semata-mata untukKu dan tidak untuk yang lainnya, maka dia menjadi tamuKu dan sepantasnya atas orang yang mulya untuk memulyakannya sebagai tamu Allah dan menolong segala keperluannya. Dan engkau wahai Adam, hendaknya menziaraihi rumahKu itu selama engkau masih hidup di dunia ini. Kemudian akan menziarahinya ummat-ummat dan generasi demi generasi serta para Nabi-Nabi dari anak cucumu nanti sepeninggal engkau. Kemudian Allah ta’ala memerintahkan Adam untuk menziarahi Al Baital Haram di Makkah”.
Demikianlah ketentuan Allah Ta’ala bagi kehidupan Adam dan Hawwa’ serta anak cucunya. Keduanya menjalani kehidupan sebagai suami istri guna dengan sebab itu Allah tentukan kelahiran anak cucunya dalam kehidupan dunia ini. Ibnu Atsir meriwayatkan dalam Al Kamil Fit Tarikh bahwa pergaulan suami istri Adam dan Hawwa’ mengakibatkan hamilnya Hawwa’ dan kemudian melahirkan anak dengan kembar sepasang laki dan perempuan. Dan setelah itu Hawwa’ selalu melahirkan anak kembar sepasang laki dan perempuan sampai dua puluh kalahiran dan anaknya yang lahir sebanyak empat puluh dengan lelaki dua puluh orang dan perempuan dua puluh orang. Dan mulailah ramai kehidupan rumah tangga Adam dan Hawwa’, sehingga mulailah muncul problem-problem rumah tangga itu sebagai konsekwensi kehidupan rumah tangga di dunia. (B E R S A M B U N G)

Al Ustadz Ja'far Umar Thalib 

Adam & Hawa Di Usir Dari Surga

Dengan lengkapnya kehidupan Adam di surga Allah ketika diciptakan baginya pasangannya, yaitu Hawwa’, maka iblispun yang telah diusir dari surgaNya dan telah dikutuk olehNya, mulai melancarkan operasi kedengkiannya dengan menggoda Adan dan Hawwa’ agar melanggar larangan Allah mendekati pohon terlarang yang ada padanya.
Kisah godaan iblis dan pelanggaran Adam dan Hawwa’ ini telah diceritakan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya serta para Shahabat nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sebagaimana berikut ini. Allah Ta’ala menceritakan proses rayuan iblis kepada keduanya dalam beberapa ayat Al Qur’an berikut ini :
(Artinya)”Wahai Adam, tinggallah engkau dan pasanganmu di surga, makanlah apa saja yang kalian sukai darinya dan janganlah kalian mendekati pohon itu. Karena bila kalian mendekatinya maka kalian berdua akan menjadi termasuk golongan orang-orang yang dhalim. Maka syaithanpun membisiki Adam dan Hawwa’ dengan satu perkara yang menyebabkan terbukanya kemaluan keduanya. Dan syaithanpun menyatakan : Tidaklah Tuhan melarang kalian berdua mendekati pohon ini, kecuali agar kalian tidak menjadi Malaikat atau agar kalaian jangan tinggal di sorga ini dengan kekal. Dan syaithanpun bersumpah dengan nama Allah di hadapan keduanya dengan menyatakan : Sesungguhnya aku adalah pihak yang dengan tulus menasehati kalian berdua. Maka syaithanpun menipu keduanya untuk mendekati pohon itu. Sehingga ketika keduanya merasakan buah dari pohon itu, tampaklah bagi keduanya kemaluan masing-masing, sehingga keduanyapun bersegera menutupi aurat masing-masing dengan dedaunan pohon-pohon di sorga. Maka Tuhanpun memanggil keduanya : Bukankah Aku telah melarang kalian berdua untuk medekat kepada kedua pohon itu, dan bukankah Aku telah mengatakan kepada kalian berdua, bahwa syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua. Maka Adam dan Hawapun menyatakan : Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendhalimi diri kami. Maka bila Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami sungguh akan menjadi golongan yang merugi. Allah menyatakan kepada semuanya: Turunlah kalian semua kebumi, sebagian kalian akan musuh atas sebagian yang lainnya. Dan bagi kalian di bumi itu ada tempat tinggal dan kesenangan sampai waktu tertentu. Allah menyatakan juga kepada mereka semua : Di bumi itu kalian akan hidup dan padanya pula kalian akan mati dan daripadanya pula kalian akan dibangkitkan di hari kiamat”. S. Al a’raf 19 – 25.
Al Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabari rahimahullah dalam tafsir beliau ketika menerangkan ayat ke 36 S. Al Baqarah, membawakan sebuah riwayat dengan sanadnya bersambang kepada para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam wa radhiyallahu anhum ajma’in seperti Ibnu Abbas, Ibnu mas’ud dan lain-lainnya dari kalangan Shahabat senior semua beliau menerangkan : “Ketika Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulya menyatakan kepada Adam : Tinggallah engkau dan pasanganmu di sorga dan makanlah dari buah-buahan di sorga dengan sekehendak kalian, dan janganlah kalian berdua mendekati pohon itu, niscaya bila kalian mendekatinya akan menjadi termasuk golongan orang-orang yang berbuat dzalim.
Iblis ingin untuk masuk ke sorga guna menemui keduanya, tetapi penjaga sorga mencegahnya. Maka diapun mendatangi seekor ular, yang waktu itu ia adalah hewan yang mempunyai empat kaki seperti onta, dan ia adalah hewan yang paling bagus bentuknya waktu itu. Iblis berbicara dengannya untuk kiranya dia dapat masuk di mulut ular itu dan ular itupun masuk ke sorga sehingga iblis dapat masuk dengannya dan lolos dari penjaganya. Mereka tidak mengerti, apa yang dimaukan oleh Allah dengan ketentuan taqdirNya dimana iblis berhasil mengecohkan Malaikat penjaga sorga sehingga dapat masuk ke dalam sorga dengan menumpang pada ular itu. Maka iblispun dapat berbicara dengan Adam dan Hawwa’ dari mulut ular itu, tetapi keduanya tidak memperdulikannya. Akhirnya iblispun keluar dari mulut ular itu dan baru keduanya mau mendengar omongannya. Kata iblis kepada keduanya : Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi (yakni pohon kekekalan) dan pohon mulkin (yakni pohon yang menjadikan orang yang memakannya menjadi raja) yang tidak akan binasa.(Demikian diberitakan oleh Allah Ta’ala pernyataan iblis kepada Adam dalam S. Thaha ayat ke 120). Selanjutnya iblis menyatakan kepada Adam : Maukah aku tunjukkan kepadamu satu pohon yang bila engkau memakan buahnya, niscaya engkau akan menjadi raja seperti Allah Ta’ala, atau engkau menjadi orang-orang yang kekal, sehingga engkau tidak akan mati selamanya. Dan iblispun bersumpah di hadapan keduanya dengan atas nama Allah sembari menyatakan : Sesungguhnya aku termasuk pihak yang tulus dalam memberikan nasehat kepada kalian berdua. Iblis menginginkan dari keduanya untuk tersingkapnya kemaluan keduanya dengan membuka baju keduanya. Dan iblis telah tahu sebelumnya, bahwa keduanya mempunyai kemaluan ketika iblis sempat melongok pada catatan para Malaikat. Tetapi Adam belum mengerti kalau dirinya punya kemaluan. Waktu itu pakaian Adam untuk menutupi auratnya adalah dhufura (yakni dari sesuatu yang menyerupai lemak daging yang jernih, putih dan tebal- demikian diterangkan dalam An Nihayah fi Gharibil Hadits, karya Abus Sa’adaat Ibnul Atsir jilid 3 hal. 158-pent). Maka Adam menolak ajakan iblis untuk makan buah dari pohon terlarang itu. Tetapi Hawwa’ justru maju mendekati pohon itu dan makan dari buahnya, kemudian dia menyatakan kepada Adam : Wahai Adam makanlah, karena aku telah memakannya dan tidak berakibat negatif apapun bagiku. Maka ketika Adam makan daripadanya, tampaklah kemaluan keduanya dan segeralah mereka berusaha menutupinya dengan dedaunan di surga”. Demikian At Thabari membawakan dalam Tafsir beliau, riwayat yang menerangkan proses pelanggaran Adam dan Hawwa’ secara lengkap sebagaimana yang dikisahkan oleh para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.
Kemudian perlu juga kita mengerti, tentang apa penilaian Allah Ta’ala terhadap pelanggaran Adam dan Hawwa’ ini dan apa hukum yang Allah tetapkan bagi kedua setelah pelanggaran itu. Dalam hal ini telah diberitakan oleh Allah dalam firmanNya di dalam Al Qur’an di ayat lainnya sebagai berikut :
“Dan Adam telah durhaka kepada Tuhannya dan telah melenceng dari ketentuan Allah. Kemudian Tuhannya telah memilihnya sebagai orang yang bertaubat atas pelanggarannya dan menunjukinya untuk bertaubat kepadaNya. Allahpun menyatakan : Turunlah kalian berdua ke bumi. Sebagian dari kalian menjadi musuh atas sebagian yang lainnya. Maka bila datang kepada kalian dariKu petunjuk, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingat Aku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami bangkitkan dia di hari kiamat sebagai orang buta”. S. Thaha 121 – 124.
Adam dan Hawwa’ diusir dari surga setelah terjadinya pelanggaran itu dan keduanya diturunkan ke bumi bersama dengan iblis dan ular yang mengantarkan iblis ke dalam surga. Tetapi Adam dan Hawwa’ diusir dari surga dan diturunkan ke bumi dalam keadaan dipilih oleh Allah Ta’ala sebagai hambaNya yang bertaubat dari kemaksiyatannya dan Allah mengampuni keduanya dan menunjuki keduanya ke jalan yang diridhaoiNya. Sedangkan iblis dan ular diturunkan oleh Allah kebumi dengan kutukanNya. Sehingga ular dengan kutukanNya dihilangkan darinya keempat kakinya, maka diapun berjalan dengan bergeser di atas bumi. Allah Ta’ala katakan dalam pengusiran Adam dan Hawwa dari surga dan diturunkan semuanya (baik Adam dan Hawwa’ maupun iblis dan ular) ke bumi : “Sebagian dari kalian menjadi musuh atas sebagian yang lainnya”. Artinya; Adam dan Hawwa’ dan segenap anak turunannya menjadi musuh bagi iblis dan ular dan segenap anak turunannya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam At Thabari dalam tafsirnya dari keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Kemudian setelah beliau membawakan riwayat-riwayat tersebut, beliau menambahkan :
“Bila ditanyakan : Apa bentuk permusuhan antara Adam dan istrinya terhadap iblis dan ular ? Jawabannya adalah : Adapun permusuhan iblis terhadap Adam dan turunannya, ialah kedengkiannya terhadap Adam dan penolakannya untuk mentaati Allah ketika memerintahkan kepadanya agar bersujud kepada Adam seraya mengatakan kepada Allah: Aku lebih baik daripadanya, karena engkau menciptakan aku dari api dan engkau menciptakannya dari tanah liat (S. Shad 76). Adapun permusuhan Adam dan anak keturunannya terhadap iblis, adalah permusuhan kaum Mu’minin terhadap iblis karena kekafirannya kepada Allah dan kedurhakaannya terhadap Tuhannya dalam bentuk penolakannya dan pembangkangannya terhadap perintahNya. Dan sikap permusuhan Adam dan anak turunannya yang mu’min terhadap iblis, adalah sebagai sikap dhahir keimanan mereka kepada Allah. Adapun sikap permusuhan iblis terhadap Adam adalah sikap dhahir kekafiran iblis terhadap Allah.
Sedangkan permusuhan antara Adam dan anak turunannya terhadap ular, maka hal ini telah kami sebutkan adanya riwayat dari Ibni Abbas dan Wahhab bin Munabbah. Riwayat-riwayat tersebut menerangkan permusuhan itu. Sebagaimana juga yang telah diriwayatkan dari sabda Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bahwa beliau bersabda : Kita tidak akan membiarkan ular itu sejak kita memeranginya. Maka barangsiapa tidak membunuhnya ketika menemuinya karena takut pembalasannya, maka sungguh dia bukan dari golongan kami”. Demikian At Thabari menerangkannya dalam tafsir beliau jilid 1 halaman 278.
Dikisahkan pula dalam beberapa riwayat, seberapa lama Adam dan Hawwa’ tinggal di surga sejak ditempatkan padanya oleh Allah Ta’ala sampai diusir daripadanya untuk diturunkan kedunia. Al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab beliau Al Bidayah Wannihayah jilid 1 halaman 74, membawakan beberapa riwayat sebagai berikut:
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalhi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan oleh Allah, dan pada hari itu pula dia dimasukkan ke surga. Juga pada hari itu dia dikeluarkan dari surga”. Dan dalam Shahih Al Bukhari disebutkan pula sabda Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang menyatakan : “Dan pada hari Jum’at pula terjadinya hari kiamat”. 
Adapun pengertian bahwa Adam masuk surga pada hari Jum’at dan dikeluarkan darinya pada hari itu juga, ialah sebagaimana yang diterangkan oleh Al Imam At thabari dalam Tarikhnya (jilid 1 hal. 118 – 120), bahwa Adam dan Hawwa’ ditempatkan di surga pada hari Jum’at yang sehari waktu itu ukurannya dengan hari yang ada di dunia ini ialah seribu tahun. Jadi sejam di hari itu, ukurannya ialah delapan puluh tiga tahun dengan hari yang ada di dunia ini. Sedangkan dalam beberapa riwayat diberitakan bahwa Adam diciptakan sesaat menjelang waktu petang. Kemudian di hari itu juga , dia ditempatkan di surga dan Hawwa’ juga diciptakan setelahnya masih di hari itu. Dia dikeluarkan dari surga untuk diturunkan ke bumi juga di hari itu. Yakni keduanya tinggal di surga Firdaus, hanya setengah jam menurut hitungan waktu di sisi Allah Ta’ala atau empat puluh tiga tahun empat bulan dalam ukuran waktu di dunia. Demikian saya ringkaskan dari keterangan Al Imam At Thabari dalam Tarikhnya.
Selanjutnya berkenaan dengan tempat pertama kalinya Adam, Hawwa’, iblis dan ular ke  bumi ini, ialah sebagaimana yang diterangkan oleh Al Imam At Thabari dalam Tarikhnya (jilid 1 hal. 121 – 126), bahwa Mujahid meriwayatkan keterangan Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib yang mengatakan : “Adam diturunkan ketika turun kebumi di negeri India”. Abu Shaleh meriwayatkan juga dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa Hawwa’ diturunkan di Jiddah yang merupakan bagian dari Makkah. Kemudian dalam riwayat lain At Thabari meriwayatkan lagi bahwa iblis diturunkan di negeri Maisan, yaitu negeri yang terletak antara Basrah dengan Wasith. Sedangkan ular diturunkan di negeri Asbahan (Iran).
Demikianlah Allah Ta’ala memulai kehidupan Adam dan Hawwa’ didunia setelah keduanya diusir dari surga. Perpisahan dan perjumpaan adalah satu kemestian dalam kehidupan di dunia ini sebagaimana terpisahnya Adam dari Hawwa’ ketika diturunkan di dunia. Dan juga satu kemestian pula dalam kehidupan di dunia ini, bahwa hidup itu harus berlaga menghadapi musuh-musuh. Karena disamping keduanya diturunkan di dunia ini, juga diturunkan di dunia ini iblis dan ular sebagai kedua musuh anak manusia sampai hari kiamat.
(B  E  R  S  A  M  B  U  N  G) 

Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Adam Manusia Pertama

Allah Ta`ala azali dan abadi, tidak berpermulaan dan tidak pula berakhiran. Dia  Al-Khaliq (Maha Pencipta segenap makhluk-Nya) dan Dia adalah Al-Hafidl (Maha Pemelihara segenap jagat raya) dan Dia juga Al-Maalik (memiliki dengan mutlak segenap alam). Dan Dia pula Al-Qahir (segala kehendak-Nya pasti terlaksana dan tidak ada yang mampu menghalangi kehendak-Nya). Semua itu adalah sifat rububiyah Allah dan karena itu dalam pengertian Tauhid Rububiyahdinyatakan bahwa Allah sajalah satu-satunya Dzat yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas. Konsekwensi keyakinan tersebut ialah Tauhid Uluhiyah, yaitu keyakinan bahwa Allah sajalah yang berhak diibadahi dengan cara peribadatan yang Dia kehendaki sebagaimana yang diajarkan oleh Rasul-Nya.
Dalam rangka mengenali Rububiyah Allah, kita dituntunkan untuk mempelajari dan mengamati makhluk Allah Ta`ala dengan segala keunikannya yang menakjubkan. Allah Ta`ala berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta berselang-selingnya malam dan siang, bahtera yang mengarungi lautan untuk kegunaan bagi manusia, dan hujan yang Allah turunkan dari langit sehingga Dia menghidupkan dengannya tetumbuhan di bumi setelah sebelumnya dalam keadaan tidak bisa tumbuh karena kekeringan, dan dengan air hujan itu pula Allah tebarkan di bumi berbagai jenis makhluk melata. Juga dalam pengaturan peredaran angin dan mendung yang Allah atur pergerakannya di antara langit dan bumi, semua itu sungguh adalah sebagai pertanda kebesaran Rububiyah Allah bagi kaum yang berakal.” (Al-Baqarah: 164).
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
Dari Abdullah bin Salam, dia menyatakan: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian berfikir tentang Allah, tetapi berfikirlah tentang makhluk Allah.” (HR. Abu Nu`aim Al-Asfahani dalam Hilyahnya jilid 6 halaman 66 – 67).

SEJARAH PENCIPTAAN JAGAT RAYA

Termasuk upaya mempelajari makhluk Allah dalam rangka mengenali Rububiyah-Nya, adalah mempelajari sejarah penciptaan langit dan bumi serta isinya. Dan dalam pembicaraan tentang sejarah penciptaan alam semesta ini, Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menceritakannya untuk kita semakin yakin dengan maha sempurnanya Rububiyah Allah, sebagai berikut:
1). Allah Ta`ala azali, ada sebelum adanya segala makhluk. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat berikut ini:
Dari Abi Razin Al-Uqaili, dia menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum terciptanya langit dan bumi?” Beliau menjawab: “Dia berada di Ama’, yaitu posisi yang tidak ada di atasnya hawa dan tidak pula di bawahnya hawa.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya hadits ke 3109 dan beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hasan. Juga hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah jilid. 1 hal. 419 hadits ke 625.
Yazid bin Harun (beliau adalah salah seorang Imam Ahli Hadits di kalangan Ta'biin) menyatakan: “Al-Ama’ itu maknanya ialah bahwa Dia Allah tidak bersama apapun.”
2). Allah Ta`ala menciptakan Arsy dan padanya terdapat Kursi-Nya sebagai makhluk-makhluk-Nya yang pertama kali sebelum menciptakan makhluk yang lainnya. Hal ini diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam menjawab pertanyaan Abi Razin Al-Uqaili tentang di mana Allah ketika sebelum menciptakan segenap makhluk-Nya. Beliau menjawab:
“Dia Allah berada di Ama’ tidak ada hawa di bawah-Nya dan tidak ada pula hawa di atas-Nya, kemudian Dia menciptakan Arsy-Nya dan diletakkan di atas air.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya jld. 4 hal. 11)
Arsy Allah itu adalah makhluk yang terbesar, dan Ibnu Abbas radliyallahu `anhumamenerangkan bahwa Arsy itu adalah makhluk Allah yang tertinggi tempatnya (Riwayat. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya jilid 6 hal. 2005 riwayat ke 10701). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan juga dalam tafsirnya dengan sanadnya, keterangan Imam dari kalangan Tabi`in bernama Sa`ad Abu Mujahid At-Tha`i bahwa Arsy Allah itu diciptakan dari mutiara berwarna merah. Wahab bin Munabbah (juga Imam dari kalangan Tabi`in) menerangkan bawa Allah menciptakan Arsy-Nya dari cahaya-Nya.
Dalam riwayat Ibnu Hibban dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallammenyatakan kepadanya: “Wahai Abu Dzar, langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi Allah adalah seperti gelang tangan yang diletakkan di padang pasir. Dan Arsy Allah dibandingkan dengan Kursi-Nya seperti padang pasir dibandingkan dengan gelang tangan itu.” Demikian disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid 13 hal. 411. Sa`id bin Mansur dalam Sunannya jilid 3 hal. 952 riwayat ke 425 meriwayatkan hadits ini dari Mujahid dalam bentuk omongan Mujahid dan bukan sabda Rasullullah shallallahu `alaihi wa sallam. Demikian pula Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal.55 riwayat ke 268 meriwayatkan omongan Mujahid ini. Ibnu Hajar Al-Asqalani menshahihkan segenap riwayat tersebut.
3). Allah Ta`ala menciptakan Al-Qalam untuk menuliskan taqdir-Nya atas segala kejadian di jagat raya ini sampai hari kiamat. Hal ini telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau:
“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Al-Qalam. Maka Allah menyatakan kepadanya: ((Tulislah)). Maka berkatalah Al-Qalam itu: ((Wahai Tuhanku, apakah yang harus aku tulis?)) Maka berkatalah Allah kepadanya: ((Tulislah segenap taqdir segala kejadian sampai datangnya hari kiamat)).” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya hadits ke 4700 dari Ubadah bin As-Shamit). 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “Para Ulama’ Muslimin dari kalangan Shahabat Nabi, Tabi`in dan Ulama’ sesudah generasi mereka, telah memperbincangkan tentang apakah makhluk Allah yang pertama itu Arsy ataukah Al-Qalam. Al-Hafidh Abul Ala’ Al-Hamdani telah menerangkan bahwa para Ulama’ berselisih pendapat dalam dua pendapat. Yaitu, pendapat yang mengatakan bahwa makhluk pertama itu adalah Arsy. Pendapat kedua menyatakan bahwa makhluk pertama itu adalah Al-Qalam. Mereka menguatkan pendapat pertama (yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Arsy adalah makhluk pertama), karena Al-Qur’an dan As-Sunnah menerangkan bahwasanya Arsy telah ada di atas air ketika Allah Ta`ala menentukan taqdir-Nya atas segenap makhluk-Nya dengan Al-Qalam yang Ia perintah untuk menuliskannya di lembaran penulisan taqdir-Nya. Maka dengan demikian, Arsy-Nya telah diciptakan lebih dulu sebelum Al-Qalam. Para Ulama’ itu menerangkan tentang hadits yang mengatakan bahwa makhluk yang pertama kali diciptakan adalah Al-Qalam, maknanya ialah bahwa Al-Qalam itu adalah makhluk yang diciptakan terlebih dahulu sebelum penciptaan langit dan bumi dari alam raya ini. Dan sungguh Allah Ta`ala telah memberitakan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi ini dalam tempo enam hari.” (Daqa’iqut Tafsir, Ibnu Taimiyah, juz 3 / 4, hal. 228).
Adapun keterangan dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menegaskan bahwa Arsy adalah makhluk Allah yang pertama ialah firman Allah dalam surat Hud ayat ke 7 sebagaimana telah tercantum di atas yang dipahami oleh para Imam dari kalangan Tabi`in bahwa Arsy yang berada di atas air itu diciptakan oleh Allah, sebelum Dia menciptakan makhluk apa pun. Para Imam Tabi`in yang memahami demikian ialah Mujahid bin Jabir Al-Makki, Wahab bin Munabbah, Dhamrah bin Habib bin Shuhaib Az-Zubaidi, Qatadah bin Di`amah As-Sadusi dan lain-lainnya. Adapun dalil dari As-Sunnah bagi para Ulama’ yang meyakini bahwa Arsy itu adalah makhluk yang pertama kali diciptakan, ialah antara lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dari Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallambersabda:
“Allah telah ada sebelum ada apapun yang selain-Nya. Dan (setelah itu) terjadilah Arsy-Nya yang diletakkan di atas air. Dan (setelah itu) Allah menuliskan (melalui Al-Qalam) dalam kitab taqdir-Nya segala sesuatu yang akan terjadi, dan (setelah itu) Allah menciptakan segenap langit dan bumi.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Bad’ul Khalqi hadits ke 3191. Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya jilid 4 hal. 431. Juga diriwayatkan olehMuslim dalam Shahihnya, Kitabul Qadar hadits ke 6690, dari Abdullah bin Amr bin Al-`Ash dengan lafadh yang agak berbeda).
Adapun para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Razin Al-Uqaili dan lain-lainnya. Demikian Ibnu Katsir menerangkan dalam Al-Bidayah wan Nihayahnya juz 1 hal. 7.
4). Allah Ta`ala setelah menciptakan air, kemudian Arsy, dan meletakkan Arsy-Nya di atas air. Kemudian menciptakan Al-Qalam yang diperintah oleh-Nya untuk menuliskan di Al-Lauhil Mahfudh (yakni kitab lembaran taqdir tentang segala kejadian yang telah ditaqdirkan-Nya sampai hari kiamat). Kemudian setelah itu Allah menciptakan zaman atau peredaran waktu. Hal ini diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam dalam sabdanya berikut ini:   
 “Zaman telah beredar seperti keadaannya, di hari diciptakannya langit dan bumi, (peredaran zaman itu ialah) setahun dibagi dalam dua belas bulan, daripadanya ada empat bulan-bulan haram................” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Maghazi, Bab Hajjatil Wada’, hadits ke 4406, dari Abi Bakrah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan makna hadits ini:
“Maka dengan demikian, telah diketahui bahwa zaman itu telah ada lebih dahulu sebelum Allah menciptakan matahari dan bulan, juga sebelum Allah menciptakan malam dan siang.” (Daqa’iqut Tafsir 3 / 4 hal. 228).
5). Allah menciptakan bumi, kemudian menciptakan langit yang tujuh dan segenap isi langit dan bumi itu. Hal ini telah diterangkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya di surat Fusshilat 9 - 12 (artinya): “Katakanlah: Apakah kalian memang mengingkari Yang Menciptakan bumi dalam tempo dua hari dan kalian jadikan bagi-Nya sekutu. Pencipta itu adalah Tuhan bagi sekalian alam. Dan Kemudian Allah jadikan diatas permukaan bumi itu gunung-gunung dan kemudian Allah berkahi bumi itu sehingga menumbuhkan berbagai jenis tetumbuhan, air dan hewan untuk ditentukan menjadi makanan bagi penghuni bumi dan Allah lengkapi semua itu dalam empat hari (yakni dua hari penciptaan bumi dan dua hari melengkapi fasilitas hidup padanya, sehingga selama empat hari itu,jadilah seluruh proses penciptaan bumi untuk layak hidup padanya). Penjelasan ini sebagai jawaban bagi orang yang bertanya tentangnya. Setelah itu Allah menuju ke atas untuk menciptakan langit yang waktu itu dalam keadaan sebagai asap dan dikatakan kepadanya dan kepada bumi, datanglah kalian berdua dalam keadaan taat atau dalam keadaan terpaksa. Maka berkatalah keduanya Bahkan kami datang memenuhi panggilan-Mu dalam keadaan taat. Maka Allah ciptakan langit itu menjadi tujuh lapis dalam dua hari dan Allah tentukan segala kekuatan berdirinya dan segenap penghuni bagi setiap langit itu. Dan Kami hiasi langit yang paling dekat bumi dengan lentera-lentera (yaitu bintang-bintang yang bersinar) dan penjaga (yaitu menjaga langit dari Syaithan yang ingin mencuri berita dari langit). Demikian itu, adalah ketentuan dari yang Maha Mulia dan Maha Mengetahui.”
Dengan telah diciptakannya matahari dan bulan, maka zaman itu mulai dihitung dengan peristiwa tenggelam dan terbitnya matahari dan bulan. Dihitung dengan pergantian malam dan siang. Adapun zaman sebelum terciptanya langit dan bumi, penghitungannya di sisi Allah seperti yang diterangkan oleh-Nya:
“Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu, adalah seperti seribu tahun dari perhitungan kalian.” (Al-Hajj: 47).
Dengan ayat ini, Ibnu Abbas dan lain-lainnya meyakini bahwa penciptaan langit dan bumi itu dalam enam hari ialah hari dalam perhitungan di sisi Allah dan bukan hari dalam perhitungan kita. Yakni enam hari itu maknanya ialah enam ribu tahun. (lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Al-Hajj  47).

DICIPTAKANNYA ADAM ALAIHIS SALAM

Allah Ta`ala telah menciptakan segenap makhluk-Nya dengan proses penciptaan yang telah diberitakan oleh-Nya dan Rasul-Nya dalam uraian di atas. Juga Allah telah menciptakan para malaikat-Nya dari cahaya dan menciptakan pula para jin dari api. Allah menciptakan surga dan neraka sebelumnya dan ditaqdirkan pula siapa-siapa yang akan masuk kepada keduanya. Kemudian Allah tempatkan para malaikat-Nya di tempat tugas masing-masing baik di langit maupun di bumi. Juga Allah tentukan penempatan jin di bumi dan ditempatkan pula dari kalangan mereka, iblis (namanya sebelum dikutuk oleh Allah adalah `Azazil) di surga Allah. Maka dengan demikian, telah lengkaplah alam raya ini dengan kehidupan, dan Allah berada di atas ArsyNya. Semua makhluk Allah itu bertasbih dan bertahmid, memuji dan menyanjung-Nya dan menyatakan sujud dan ruku’ kepada-Nya serta mengikrarkan Maha Sucinya Allah dari segala sifat kekurangan dan kerendahan. Ramailah alam ini dengan ibadah, tasbih, tahmid, takbir, dan doa kepada Allah Yang Maha Mulia. Semuanya mengakui keAgungan dan keBesaran Allah, dan Ia berada di atas seluruh makhluk-Nya, bahkan di atas makhluk-Nya yang paling tinggi yaitu Arsy dan Kursi-Nya. Hal ini diberitakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Bertasbih kepada-Nya langit yang tujuh dan bumi serta segenap isinya. Dan segala makhluk bertasbih dan bertahmid kepada-Nya, akan tetapi kalian tidak mengerti cara tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyabar dan Maha Pengampun.” (Al-Isra’: 44).
Tetapi kemudian muncul fitnah yang terjadi di antara para jin penduduk bumi. Sehingga terjadilah perbuatan saling membunuh di antara mereka dan dengan demikian terjadilah pertumpahan darah dan kerusakan di muka bumi. Maka Allah mengutus para malaikat-Nya yang dipimpin oleh `Azazil untuk menghukum mereka dan kemudian menempatkan mereka di puncak-puncak gunung dan di pulau-pulau yang diliputi lautan. Dengan keberhasilannya memimpin pasukan malaikat untuk menghukum para jin itu, muncullah di hati pimpinan tersebut perasaan besar diri (sombong). Sehingga Allah ingin memunculkan kesombongan di hatinya itu dengan pengumuman-Nya akan menciptakan penduduk bumi yang baru bernama Al-Insan. Demikian diceritakan oleh Al-Imam Ibnu Jarir At-Thabari dalam Tarikhnya jilid 1 / 85 - 88 dari Ibnu Abbas, `Amr bin Hammad, Sa`id bin Al-Musayyib, Syahr bin Hausyab dan lain-lainnya. Ibnu Atsir dalam Al-Kamil fit Tarikh jilid 1 halaman 26 menguatkan pendapat Ibnu Abbas yang tersebut di atas.
Selanjutnya Ibnu Jarir At-Thabari membawakan beberapa riwayat dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan para shahabat Nabi yang lainnya yang menceritakan bahwa Allah Ta`ala memerintahkan malaikat-Nya untuk mengambil tanah liat dari bumi dari berbagai jenis tanah yang ada di bumi. Kemudian dicampurkanlah berbagai jenis tanah itu dan Allah dengan Tangan-Nya sendiri Yang Maha Mulia membentuk Adam. Setelah itu tanah liat dalam bentuk manusia tersebut dibiarkan sehingga berbau busuk dan akhirnya mengering. Di dalam Al-Qur’an diceritakan oleh Allah Ta`ala bahwa Dia menciptakan Adam dari tanah liat, sebagaimana pernyataan iblis kepada-Nya:
“Apakah aku akan sujud kepada makhluk yang Engkau ciptakan dari tanah liat?” (Al-Isra’: 61).
Kemudian tanah liat itu menjadi tanah yang berbau:
“Dan sungguh Kami ciptakan manusia itu dari tanah kering yang semula adalah sebagai tanah liat basah yang berbau.” (Al-Hijr: 26).
Kemudian jadilah ia tanah liat yang telah kering dan berbunyi bila dipukul:
“Dia Allah telah menciptakan manusia dari tanah liat kering, sehingga karena keringnya jadilah ia seperti tembikar (yakni tanah liat yang telah masak karena dipanggang di api).” (Ar-Rahman: 14).
Dan setelah itu Allah meniupkan ruh padanya sehingga jadilah ia hidup dan tanda kehidupannya yang pertama adalah ketika dia bersin. Maka para malaikat Allah menyatakan kepada manusia pertama yang baru hidup ini: “Katakan Alhamdulillah dengan bersinmu,” maka dia pun mengucapkan Alamdulillah. Dan Allah menyatakan kepadanya: “Rahmat Tuhanmu terlimpah padamu.” Dan mulailah Adam hidup dan para malaikat Allah diperintahkan oleh-Nya untuk sujud menghormat padanya. (Tarikh At-Thabari jilid 1 hal. 94).
(B E R S A M B U N G)          
DAFTAR PUSTAKA:
1). Al-Qur’an Al-Karim.
2). Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (Tafsir At-Thabari), Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut – Libanon, cet. th. 1412 H / 1992 M.
3). Tafsirul Qur’anil Adzim, Abdurrahman bin Muhammad bin Idris Ar-Razi Ibnu Abi Hatim, Maktabah Nizar Musthafa Al-Baaz, Makkatul Mukarramah, cet. th. 1419 H / 1999 M.
4). Tafsirul Qur’anil Adzim, Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, Maktabah Musthafa Muhammad, Mesir, cet. th. 1356 H / 1937 M.
5). Daqa’iqut Tafsir, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Qiblah Lits Tsaqafah Al-Islamiyah, Jeddah – Saudi Arabia, cet. th. 1406 H / 1986 M.
6). Musnadul Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, tanpa penerbit, tanpa tahun.
7). Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
8). Shahih Muslim bi Syarah An-Nawawi, Darul Khair Damaskus – Beirut, cet. th. 1414 H / 1994 M.
9). Sunan Abi Dawud, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani Al-Azadi, Darur Rayyan Lit Turats, cet. th. 1408 H / 1988 M.
10). Sunan At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At-Tirmidzi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut – Libanon, cet. th. 1356 H / 1937 M.
11). Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfahani, Darul Fikr, Beirut – Libanon, cet. th. 1416 H / 1996 M.
12). As-Sunnah, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut – Libanon, cet. th. 1414 H / 1994 M.
13). As-Sunnah, Abu Bakr Ahmad bin Amr Ibnu Abi Syaibah, Darus Shumai’ie, Ar-Riyadl – Saudi Arabia, cet. th. 1419 H / 1998 M.
14). Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikh At-Thabari), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Rawa’i’ At-Turats Al-Arabi, Beirut – Libanon, tanpa tahun.
15). Al-Kami Fit Tarikh, Abil Hasan bin Abil Karam Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid As-Syaibani Ibnul Atsir, Darul Fikr, Beirut – Libanon, tanpa tahun.
16). Al-Bidayah wan Nihayah, Abul Fida’ Ismai’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut – Libanon, cet. th. 1408 H / 1988 M.         
Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Berpegang Dengan As-Sunnah Dan Al-Jama'ah

Di dalam bergama, Islam menghendaki agar umatnya mempunyai kejelasan dan kepastian ilmiah. Karena itu Islam melarang umatnya untuk mengikuti suatu perkara tanpa didasari kepastian ilmiah:
“Dan janganlah mengikuti apa-apa yang kamu tidak tahu. Sesungguhnya pendengaran dan pengelihatan dan akal pikiran, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra': 36)
Islam juga membimbing umatnya agar berusaha mendapatkan kepastian ilmiah dengan menanyakan berbagai permasalahan itu kepada ahlinya:
“Maka bertanyalah kalian kepada para ahlinya bila kalian tidak mengerti tentang berbagai keterangan dan kitab-kitab terdahulu. Dan Kami telah menurunkan kepadamu (hai Muhammad) Al-Qur'an agar engkau menerangkan kepada sekalian manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Semoga dengan itu mereka mau berfikir tentang kebenaran itu.” (An-Nahl: 43 – 44)
Bahkan Islam menyatakan bahwa orang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang paling berilmu tentang agama ini:
“Hanyalah orang yang takut kepada Allah itu dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama (yakni ahli ilmu syariat Allah). Sesungguhnya Allah itu Maha Agung dan Maha Pengampun.” (Fathir: 28)
Oleh karena itu orang yang paling tinggi derajatnya dalam Islam adalah orang yang paling berilmu tentang agama ini.
“Allah mengangkat derajat orang-orang beriman dari kalian dan orang-orang yang berilmu tentang agama ini dengan beberapa derajat. Dan Allah Maha Tahu dengan apa yang kalian lakukan.” (Al-Mujadalah: 11)
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikannya, niscaya Allah jadikan dia paham terhadap agama-Nya.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya Kitabul Ilmi bab Man Yuridillahu Khairan Yufaqqihhu fid Dien dari Muawiyah bin Abi Sufyan hadits ke 71)
Dalam menerangkan hadits ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan: “Konsekwensinya ialah bahwa barangsiapa yang tidak Allah jadikan dia mengerti tentang agama-Nya, maka berarti Dia tidak menghendaki kebaikan pada orang itu, sehingga karena itulah upaya untuk memahami agama ini adalah wajib. Sedangkan pengertian memahami agama itu ialah: Memahami hukum-hukum syariah dengan dalil-dalilnya. Maka barangsiapa yang tidak mengerti tentang hal ini, maka dia dikatakan tidak mengerti tentang agama.” (Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 20 hal. 212)
Demikianlah sikap beragama yang dituntunkan oleh Islam, yaitu sikap ilmiah dan tidak ikut-ikutan serta sangat menjunjung tinggi kemestian menuntut ilmu tentang agama ini sebagai kewajiban agama yang sebanding dengan kewajiban lainnya dalam bidang i'tiqad (keyakinan) atau pun bidang ibadah dan berbagai bidang lainnya. Dalam Islam juga sangat dicela sikap asal bicara dalam perkara agama, bahkan sebagian ulama menganggap bahwa sikap demikian ini lebih besar dosanya daripada syirik (yakni menyekutukan Allah dengan yang lainnya). Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
“Katakanlah: Sesungguhnya yang diharamkan oleh Tuhan hanyalah perbuatan keji yang tampak maupun tersembunyi dan dosa besar, serta perbuatan dhalim yaitu mengambil hak orang lain dengan cara tidak benar, dan menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya yang Allah tidak turunkan baginya alasan pembenarannya, dan juga yang Allah larang adalah kalian berbicara tentang agama Allah dengan apa yang kalian tidak mengerti tentangnya.” (Al-A'raf: 33)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menerangkan: “Dan sungguh Allah telah mengharamkan untuk berbicara tentang agama-Nya tanpa ilmu, baik dalam fatwa maupun dalam pemutusan perkara di pengadilan agama, dan Allah telah menjadikan perbuatan demikian sebagai perbuatan haram yang paling besar. Bahkan Allah jadikan sebagai perbuatan haram di tingkat yang paling tinggi sebagaimana firman-Nya (kemudian beliau menukilkan surat Al-A'raf 33 ini). Maka di ayat ini Allah sebutkan tingkatan-tingkatan keharaman ada empat. Dia sebutkan perbuatan haram yang paling ringan yaitu kekejian, kemudian tingkatan kedua ialah dosa dan dhalim yang lebih keras pengharamannya dari kekejian tersebut. Kemudian setelah itu tingkatan ketiga yang lebih besar keharamannya yaitu syirik (menyekutukan Allah) dengan lainnya. Kemudian tingkatan keempat yang merupakan tingkatan keharaman yang keras lebih dari semua yang disebut sebelumnya yaitu berbicara tentang agama Allah dengan tanpa ilmu yang meliputi pembicaraan tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya dan tentang agama-Nya serta syariat-Nya tanpa landasan ilmu.” (I`lamul Muwaqqi`in `an Rabbil `Alamin, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, jilid 1 hal. 38)
Dengan demikian, Islam tidak pernah memberi kesempatan kepada orang yang jahil tentang agama ini untuk berbicara tentang agama Allah Ta`ala. Apalagi untuk membawa bendera dakwah Islamiyah, tentu yang demikian ini lebih tidak pantas lagi. Allah Ta`ala mengajari Rasul-Nya untuk menyeru dan mengajari manusia kepada agama-Nya dengan cara ilmiah, yakni berbekal ilmu yang cukup tentang apa yang akan diucapkan dan apa yang akan dilakukan.
“Katakanlah: Sesungguhnya inilah jalanku, aku berdakwah (menyeru manusia) kepada agama Allah di atas ilmu. Yang menjalankan demikian adalah aku dan orang-orang yang mengikuti jejakku. Dan Maha Suci Allah dan aku tidaklah termasuk orang-orang yang musyrik (yakni tidak termasuk orang yang menyekutukan Allah dengan yang lainnya).” (Yusuf: 108)
Allah juga memerintahkan Rasul-Nya untuk mendebat orang-orang Yahudi dan Nashara dengan cara ilmiah dan dilengkapi dengan sikap seorang intelektual, bukan orang pasaran yang mengandalkan kemampuan caci-maki dan kekuatan fisik.
“Dan janganlah kalian mendebat Ahli Kitab kecuali dengan cara yang baik (yaitu dengan secara ilmiah dan sopan santun). Kecuali terhadap orang-orang yang dhalim dari mereka (yaitu mereka yang tidak bisa diajak bicara kecuali dengan bahasa perang). Dan katakanlah kepada mereka: Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami (yakni Al-Qur'an) dan beriman pula kepada apa yang diturunkan kepada kalian (yakni taurat dan Injil). Dan sesembahan kami sama dengan sesembahan kalian (yaitu Allah Ta`ala) dan kami tunduk berserah diri kepada-Nya.” (Al-Ankabut: 46)
Maka lengkaplah sikap ilmiah dalam beragama sebagaimana yang diajarkan oleh Islam kepada umatnya sehingga kewajiban menuntut ilmu agama ini adalah perkara pokok dalam berislam. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Menuntut ilmu agama ini adalah wajib atas setiap Muslim (pria maupun wanita).” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dan selain keduanya)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah memberi catatan terhadap hadits ini: “Ketahuilah bahwa Al-Imam As-Suyuthi telah mengumpulkan sanad hadits ini yang mencapai lima puluh sanad dan beliau menghukumi hadits ini sebagai hadits yang shahih karenanya. Al-Iraqi juga menshahihkan hadits ini dengan mengambil keterangan dari sebagian imam-imam Ahli Hadits dan mereka menghasankan hadits ini. Wallahu a`lam.” (Misykatul Mashabih jilid 1 hal. 76)
Sehingga akan dianggap berdosa dan maksiat orang Islam yang tidak menyempatkan diri untuk menunaikan kewajiban menuntut ilmu tentang agama Allah ini.
AS-SUNNAH DAN AL-JAMAAH 
Setelah kita mengetahui betapa pentingnya keharusan menuntut ilmu agama dalam berislam, maka kita perlu mengerti tentang pokok ilmu agama agar lebih fokus lagi upaya kita dalam memahami agama ini secara ilmiah. Pokok ilmu agama itu ialah As-Sunnah dan Al-Jamaah karena Islam itu bukanlah agama produk akal seseorang atau sekelompok orang, dan bukan pula budaya suatu bangsa tertentu. Akan tetapi ia adalah agama yang datang dari Allah dengan wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Allah Ta`ala menegaskan:
“Agama ini bukanlah produk pikiran kalian dan bukan pula produk pikiran Ahli Kitab.” (An-Nisa': 123)
Allah Ta`ala juga menegaskan bahwa agama yang diajarkan oleh Rasul-Nya Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam bukanlah hasil pikiran beliau dan bukan pula selera beliau. Akan tetapi semua itu adalah wahyu yang Allah turunkan dari-Nya kepada beliau:
“Dan tidaklah Rasul itu berbicara dari hawa nafsunya. Dia berbicara tentang agama hanyalah dari wahyu yang Allah wahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3 - 4)
Allah Ta`ala lebih memastikan lagi bahwa Muhammad sebagai Rasul-Nya tidak mungkin sama sekali berbicara tentang agama-Nya ini dari produk pikirannya, menyimpang dari wahyu yang diwahyukan kepadanya:
“Dan seandainya Rasul ini memalsukan omongan atas nama Kami Allah, niscaya Kami akan sambar dia dengan tangan kanan Kami, kemudian Kami akan putuskan urat lehernya. Sehingga tidak ada seorang pun dari kalian yang dapat membela dia.” (Al-Haaqah: 44 – 47)
Dengan demikian, pasti yang datang dari Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam adalah agama Allah. Karena itulah Allah memerintahkan kita mentaati-Nya dengan cara mentaati Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
“Barangsiapa mentaati Rasul ini, maka sungguh dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa berpaling darimu, maka sungguh Kami tidaklah mengutus engkau hai Muhammad sebagai penjaga terhadap mereka.” (An-Nisa': 80)
Maka dengan penuh keyakinan kita membenarkan berita Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam, ketika beliau menegaskan:
“Barangsiapa beramal dengan agama ini dengan tanpa perintah dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahihnya dari Aisyah radliyallahu `anha).
Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menegaskan perkara yang kita imani pula kebenarannya:
“Barangsiapa yang masih tetap hidup dari kalian sepeninggal aku, maka sungguh dia akan melihat perselisihan yang keras. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa'ur rasyidin, gigitlah sunnah para khalifah itu dengan gigi gerahammu.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam kitab As-Sunnah hadits ke 55).
Berpegang dengan sunnah Nabi dalam suasana perselisihan yang dahsyat di antara umat Islam adalah jaminan keselamatan. Oleh karena itu perlu kita mengerti apa itu sunnah Nabi. Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya tepat bila kami nukilkan penjelasan dari Imam Ahlul hadits dari kalangan tabi`in yang bernama Mak-hul rahimahullah. Beliau mengatakan:
“As-Sunah itu ada dua macam, yaitu sunnah yang wajib kita berpegang dengannya dan meninggalkannya adalah kufur, (yang kedua) adalah sunnah yang bila mengerjakannya mendapat keutamaan dan meninggalkannya tidak berdosa.” (Asy-Syari'ah, Al-Imam Al-Ajurri, jilid 1 hal. 424 riwayat ke 108)
Maka sunnah yang wajib kita berpegang dengannya dan meninggalkannya berdosa, pengertiannya ialah ajaran-ajaran Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Adapun untuk kita berpegang teguh dengan sunnah Nabi, haruslah kita mempelajarinya yang mengantarkan kita kepada keyakinan yang kuat bahwa kita mengikuti sunnah Nabi.
Lawan dari sunnah ialah bid'ah yang artinya ialah segala bentuk penyimpangan dari sunnah Nabi. Dengan mempelajari sunnah, kita akan dapat memahami Al-Qur'an dengan benar dan mengamalkannya dengan benar pula. Maka orang-orang yang mempelajari sunnah Nabi dan mengamalkannya serta berpegang dengannya dinamakan Ahlus Sunnah. Sedangkan orang yang menyimpang dari sunnah Nabi dan berpegang dengan bid'ah dinamakan Ahlul Bid'ah. Kalau pun sunnah itu lawannya adalah bid'ah, maka demikian pula Ahlus Sunnah itu lawannya ialah Ahlul Bid'ah.
Kemudian sunnah khulafa'ur rasyidin yang kita juga wajib berpegang dengannya ialah pemahaman mereka kepada sunnah Nabi. Dan inilah yang dikatakan Al-Jamaah. Mereka adalah para shahabat Nabi yang agung dan diikuti oleh para shahabat Nabi yang lainnya dalam mengamalkan segenap sunnah Nabi. Oleh karena itu berpegang dengan Al-Jamaah maknanya ialah merujuk kepada pemahaman para khulafa'ur rasyidin terhadap sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam.
SIAPAKAH AL-KHULAFA'UR RASYIDIN ITU?
Dari sisi bahasa, makna khulafa'ur rasyidin ialah para khalifah atau dalam makna lain adalah para penguasa. Ar-Rasyidin artinya ialah yang terbimbing di jalan Allah Ta`ala dan diistilahkan pula dengan al-mahdiyyun, yakni yang mendapatkan petunjuk dari Allah Ta`ala. Jadi al-khulafa'ur rasyidin itu pengertiannya ialah para penguasa yang terbimbing di jalan Allah dan menjalankan kekuasaan dengan bimbingan syariat Allah.
Al-Imam Abul Ali Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan: “Mereka para khulafa'ur rasyidin itu beramal dengan sunnah Nabi dan mengambil kesimpulan hukum daripadanya dan memilih sunnah itu untuk keputusannya. Demikian dinyatakan oleh Al-Qari.” (Tuhfatul Ahwadzi, jilid 7 hal. 440).
Adapun tentang siapakah al-khulafa'ur rasyidin itu, untuk menjawabnya cukup dengan berita dari sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
Khilafah kenabian itu berjalan selama tigapuluh tahun, kemudian Allah datangkan penguasa yang bernama raja atau raja-Nya, siapa yang dikehendaki-Nya jadi raja.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya dari Safinah hadits ke 4646 dan diriwayatkan pula oleh yang lainya dari Safinah juga).
Lebih jelas lagi tentang siapakah yang dimaksud Nabi dalam sabdanya tersebut dengan istilah “khilafah kenabian”, Safinah yang mendengar langsung sabda Nabi itu menjelaskan kepada Said bin Jamhan: “Camkan benar olehmu, Abu Bakar memerintah dua tahun, Umar memerintah sepuluh tahun, Utsman dua belas tahun, dan Ali selama enam tahun.”
Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menerangkan panjang lebar tentang keshahihan hadits ini dan membantah segala keraguan tentang keshahihannya dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah jilid 1 bagian kedua hal. 820 – 827 hadits ke 459)
MEMAHAMI AL-QUR'AN DENGAN AS-SUNNAH DAN AL-JAMAAH
Telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa di suatu masa tertentu akan muncul di umatnya satu kecenderungan sesat, yaitu dalam berislam hanya mau menerima Al-Qur'an dan mengingkari selainnya. Beliau menegaskan:
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Kitab dan yang semisalnya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur'an dan yang semisalnya. Ketahuilah pula bahwa sesungguhnya sangat dikuatirkan akan munculnya orang yang kenyang perutnya duduk di singgasananya sambil berkata: “Wajib kalian berpegang dengan Al-Qur'an ini saja. Maka apa yang kalian dapati padanya perkara halal, maka halalkanlah, dan yang kalian dapati padanya haram, maka haramkanlah.” Kemudian disebutkan hadits selanjutnya.” (HR. Al-Ajurri dalam kitab As-Syari'ah jilid 1 hal. 415 – 416 hadits ke 97 dari Al-Miqdam bin Ma'dikarib Al-Kindi)
Al-Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Khalaf Al-Barbahari rahimahullah menegaskan: “Dan apabila engkau mendengar ada seorang yang dibawakan padanya hadits Nabi kemudian dia tidak menginginkannya, dan yang ia inginkan hanyalah Al-Qur'an, maka tidak ada keraguan bahwa orang yang demikian ini pada hatinya ada keingkaran terhadap Islam. Maka berdirilah engkau dari sisinya dan tinggalkan dia.” (Syarhus Sunnah, Al-Barbahari hal. 119 riwayat ke 145)
Demikianlah salah satu model kesesatan yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang tumbuh menjamur di kalangan umat Islam. Dalam hal ini beliau memperingatkan pula dengan peringatan yang lebih umum tentang adanya berbagai penyimpangan dan kesesatan pada umatnya dan beliau memberi bimbingan pula agar mereka berpegang teguh dengan Al-Jamaah dalam suasana banyaknya kesesatan itu:
“Sesungguhnya Ahli Kitab telah berpecah menjadi tujupuluh dua aliran, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi tujupuluh tiga golongan (yakni golongan karena mengikuti selera hawa nafsu masing-masing). Semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan saja yang selamat dari api neraka itu, ialah yang berpegang dengan al-jamaah.” Selanjutnya beliau mengatakan: “Sesungguhnya akan keluar di umatku suatu kaum yang menjalar pada diri mereka hawa nafsu seperti menjalarnya virus rabies pada tubuh orang yang terkena penyakit tersebut yang tidak ada satu urat pun dan tidak ada satu ruas tubuh pun kecuali dimasuki oleh penyakit tersebut.” (HR. Al-Lalikai dalam Syarhus Sunnah karya beliau hadits ke 150 dari Muawiyah bin Abi Sufyan radliyallahu `anhuma).
Orang-orang yang menjalar pada dirinya hawa nafsu yakni dia didominasi total oleh hawa nafsu itu sehingga pikiran, pemahamannya, tingkah laku dan akhlaknya dikendalikan sepenuhnya oleh hawa nafsunya. Tentu yang dinamakan hawa nafsu itu tidak lain selalu menyeru kepada kejelekan dan penyimpangan. Allah Ta`ala berfirman:
(ayat)
“Sesungguhnya hawa nafsu selalu menyeru kepada kejelekan.” (Yusuf: 53)
Keadaan orang-orang yang demikian inilah yang diberitakan oleh Allah dalam Al-Qur'an:
“Tidakkah engkau melihat keadaan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan yang sangat ditaati dan Allah sesatkan orang yang demikian ini di atas ilmu (yakni dia sesat dalam keadaan mengerti bahwa jalan tersebut adalah menyimpang dari kebenaran) dan Allah tutup pendengarannya (sehingga tidak bermanfaat baginya mendengar nasehat yang mengajak dia untuk kembali kepada kebenaran) dan juga Allah tutup hatinya dan pengelihatannya dengan tabir penutup. Maka siapa lagi yang akan menunjukki orang yang telah Allah sesatkan? Tidakkah kalian mau ingat.” (Al-Jatsiyah: 23)
Maka untuk selamat dari bahaya kesesatan yang demikian ini hanyalah dengan berpegang dengan Al-Jamaah. Sedangkan yang tidak berpegang dengannya akan larut dalam perpecahan sesama Muslimin karena terseret oleh hawa nafsunya masing-masing. Dan untuk lebih menyakinkan lagi bahwa pengertian berpegang dengan Al-Jamaah itu ialah dengan merujuk kepada pemahaman shahabat Nabi, maka berikut ini kami bawakan riwayat sabda Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang menerangkan demikian:
“Sungguh-sungguh akan datang pada umatku keadaan yang pernah datang kepada Bani Israil seperti pasangan sandal satu dengan lainnya (yakni keadaannya persis sama), dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi tujupuluh dua aliran agama dan umatku akan terpecah menjadi tujupuluh tiga golongan. Semuanya di neraka kecuali satu golongan aliran pemahaman saja yang selamat dari neraka.” Para shahabat bertanya kepada Nabi: “Siapakah golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu golongan yang berjalan pada apa yang aku dan para shahabatku jalani.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dan yang lain-lainnya)
Jadi jelas dan tegas dengan riwayat ini bahwa berpegang dengan Al-Jamaah sebagaimana yang diberitakan dalam riwayat Muawiyah bin Abi Sufyan, pengertiannya ialah merujuk kepada jalan hidupnya Rasulullah (as-sunnah) dan para shahabat beliau (al-jamaah), sebagaimana yang diberitakan dalam riwayat Abdullah bin Amr tersebut di atas. Para shahabat Nabi itu dipimpin oleh para khulafaur rasyidin sepeninggal Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Demikianlah mestinya rujukan pemahaman yang benar dalam upaya memahami Al-Qur'an, yaitu As-Sunnah dan Al-Jamaah. Sedangkan tanda kesesatan itu adalah bila seseorang menafsirkan Al-Qur'an dengan selain keduanya. Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhu menasehatkan:
“Akan datang satu kaum yang mendebat kalian dengan kesamar-samaran yang terdapat di sebagian ayat Al-Qur'an, maka bantahlah mereka dengan as-sunnah (yaitu sunnah Nabi dan sunnah khulafa'ur rasyidin) karena sesungguhnya orang-orang yang berilmu tentang as-sunnah lebih mengerti tentang kitab Allah (yakni Al-Qur'an).” (HR. Ibnu Baththah Al-Ukhbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra riwayat ke 83).
Maka orang yang berpegang dengan As-Sunnah dan Al-Jamaah dalam menafsirkan Al-Qur'an dinamakan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sedangkan mereka yang selalu memusuhi Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah Ahlul Bid'ah wal Firqah. Karena lawan daripada Al-Jamaah ialah Al-Firqah (maknanya ialah orang yang berpisah dari al-jamaah atau tidak mau berpegang dengan al-jamaah).
PENUTUP 


Beragama di dalam Islam adalah dalam rangka menyatakan ketundukan total kepada Allah Ta`ala agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, beragama bukanlah mengikuti selera pribadi atau selera seseorang atau selera satu masyarakat, akan tetapi beragama itu hanya mengikuti kemauan Allah Ta`ala semata walau pun kadang-kadang ketentuan agama itu tidak kita sukai. Tetapi dalam rangka berislam, kita tetap tunduk kepada ketentuan agama dan mengalahkan ketidaksukaan demi mendapatkan rahmat dan barakah Allah dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Kadang pula ketentuan agama itu tidak bisa dinalar oleh logika kita. Tetapi karena agama ini bukanlah produk logika, maka dalam rangka berislam, kita tundukkan logika kita kepada ketentuan agama itu demi keselamatan dunia dan akhirat. Agama harus menjadi hakim terhadap akal dan perasaan kita, dan jangan sampai justru akal dan perasaan itu yang menghakimi agama. Karena itu Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita dalam beragama untuk merujuk kepada As-Sunnah dan Al-Jamaah. Karena hanya dengan cara demikian, kita akan selamat dari sikap pembangkangan terhadap agama, hanya karena lebih mengutamakan akal dan perasaan daripada ketentuan agama itu sendiri.

Al Ustadz Ja'far Umar Thalib 

Jadi Salaf Harus Berani ! ! ! !

Majalah GATRA 30 / XIII 9 Jun 2007 dalam rubrik Agama, memuat berita dan ulasan berita yang berkenaan dengan komunitas SALAFI. Saya sebagai penganjur kepada pemahaman SALAFIYAHsangat tersengat dengan pemberitaan tersebut. Betapa tidak, yang diserang menurut berita tersebut adalah orang yang mengibarkan bendera SALAFIYAH . Dan yang diberitakan sebagai pihak yang menyerang ialah gerombolan yang menamakan dirinya MAJELIS MUJAHIDIN INDONESIA (MMI). Gerombolan tersebut tidak terima ketika anak-anak muda SALAFIYAH itu membikin majlis saresehan untuk menjawab pemberitaan di majalah MMI. Pemberitaan di majalah itu berisi gosip yang riwayatnya bersumber dari seorang Yahudi sebagai rawi majhul ( nara sumber tak dikenal). Rawi majhul dari kalangan Yahudi tersebut sangat dipercaya beritanya oleh MMI, sehingga diberitakan dalam majalah mereka. Beritanya mengatakan bahwa “ orang-orang salafi telah dapat diperalat oleh yahudi”. Sementara anak-anak mudaSALAFIYAH itu terbakar kecemburuannya dan merasa berhak menjawab gosip murahan yang dikemas indah dan menggiring kepada satu opini bahwa orang-orang Salafi itu diperalat oleh Yahudi.
Saya mengamati, rupanya MMI sedang menjalankan politik pemberitaan AGS (Asal gue suka)untuk mendukung perjuangannya yang berlabel “menegakkan Syari'ah Islamiyah” . Gerombolan ini dengan se-enaknya memberitakan bahwa orang-orang Salafi telah diperalat oleh Yahudi, yang notabene sebagai vonis sepihak tanpa pengadilan in absensia sekalipun. Namun ketika berita itu dibantah dalam majelis yang khusus diadakan untuk menolak vonis itu, serta merta gerombolan ini beraksi (di depan liputan masmedia) dan menuduh majelis anak-anak muda Salafiyah itu sebagai orang-orang yang mendiskreditkan majalah Risalah Mujahidin. RupanyaSyari'ah MMI mengajarkan : Kalau menuduh dan memvonis orang lain meskipun dengan gosip murahan, itu boleh dan bagus, asal dalam rangka perjuangan menegakkan Syari'ah. Tapi kalau ada orang lain yang membantahnya, itu berarti mendiskreditkan perjuangan Mujahidin Indonesia .Dengan kata lain, MMI dengan Risalah Mujahidin- nya sedang menampilkan gaya politik arogan yang monolitik.
Sikap demikian inilah yang menyeret mereka terus berbenturan dengan Ummat Islam yang ada di kalangan pemerintahan, bahkan dengan Ummat Islam lainnya yang dinilai akan menghalangi perjuangan mereka. Dan benturan itu akan lebih mudah tersulut, bila mereka terbakar oleh apihizbiyah (fanatisme kelompok berdasar hawa nafsu) yang menitahkan : Pejuang penegakan Syari'ah Islamiyah itu hanyalah Abu Bakar Ba'syir dan pengikutnya. Maka yang menentang orang ini dan pengikutnya berarti menentang perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah. Siapa yang menentang perjuangan ini harus dianggap musuh Islam, atau minimal dianggap sebagai kaki tangan musuh Islam atau dengan kata lain sebagai orang yang diperalat oleh musuh Islam.
Bila kita memahami firman hizbiyah yang sangat bombastis tersebut, maka dengan mudah kita memahami mengapa majalah mereka dan sikap mereka itu sangat agitatif terhadap siapapun yang diluar komunitas gerakannya. Namun yang saya tidak paham, mengapa semangat mereka ini kok berkutat di arena politik praktis? Termasuk issu yang selalu disuarakan dalam retorika politik mereka: Berjuang menegakkan Syari'ah , ternyata hampir sepenuhnya dilagakan di arena sial itu. Padahal, bukankah bersikap adil terhadap lawan dan kawan itu adalah inti penegakan Syari'ah Islamiyah (lihat QS Al Maidah 8)? Bukankah berkata benar itu adalah inti akhlaq yang menjadi landasan bagi penegakan Syari'ah Islamiyah (lihat QS An Nisa' 58) ? Bukankah mengikhlaskan segala pengamalan agama itu semata-mata untuk Allah Ta'ala, tanpa pretensi politik apapun atau kepentingan dunia yang manapun juga menjadi landasan bagi penegakan Syari'ah Islamiyah (QS. Al Bayyinah 5)? Tetapi mengapa kepentingan mendidik Ummat Islam untuk bersikap ikhlas bagi Allah Ta'ala, sulit dimengerti dalam kiprah mereka yang selalu tabrak lari dalam berbagai kasus berdarah? Mengapa kepentingan mendidik Ummat Islam untuk jujur dan berkata benar, sulit dipahami dalam aksi tebar gosip dan pemutar balikan fakta yang selalu mereka kiprahkan? Mengapa kepentingan mendidik Ummat Islam untuk bersikap adil terhadap lawan dan kawan, amat sulit dipahami dalam tampilan mereka sebagai lambang perlawanan terhadap penguasa? Saya benar-benar tidak paham penampilan-penampilan yang serba kontradiktif antara perkataan dengan perbuatannya.
Adapun anak-anak muda Salafiyah, saya menganjurkan kepada kalian untuk berani di jalan Allah Ta'ala. Sebab Salafus Shaleh (yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dan para Sahabatnya radhiyallahu ‘anhum) yang menjadi panutan kita, adalah Imamnya para pemberani. Mereka adalah macan yang mengaum dan bukan ayam yang mengaum. Sebab kalau ayam mencoba untuk mengaum, baru dikerumuni ayam-ayam yang lainnya, sudah mengkerut dan ganti berkotek dan tidak bisa mengaum lagi. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan para Sahabatnya radhiyallahu ‘anhum adalah contoh para pemberani di jalan Allah dan tidak takut cercaan si pencerca di manapun dan kapanpun. Allah Ta'ala memuji dan menyanjung mereka dalam firmanNya QS. Al Maidah 54 : “Hai orang-orang yang beriman, siapa dari kalian yang murtad dari agamanya, niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintaiNya. Mereka ini adalah kaum yang bersikap rendah hati terhadap sesama kaum Mu'minin dan tegas penuh kemuliaan dihadapan orang-orang kafir. Kiprah mereka selalu berjihad di jalan Allah dan tidak takut cercaan si pencerca. Demikianlah keutamaan Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah itu Maha luas keutamaanNya dan Maha Mengetahui kepada siapa sepantasnya keutamaan itu diberikan”.
Semua orang selain Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa aalihi wasallam, pantas untuk dikritik. Maka jangan takut mengkritik Ja'far Umar Thalib ataupun Abu Bakar Ba'syir, ataupun diri-diri kalian sendiri, dimanapun dan kapanpun. Jangan takut mengkritik, bila kritik itu memang diperlukan dalam rangka mendidik Ummat Islam agar terbiasa mengontrol dan mengendalikan semua perbuatannya dengan Al Qur'an dan As Sunnah . Dan bila kritik itu dalam rangka mendidik keikhlasan berislam untuk Allah semata. Jangan takut itu sinonimnya adala berani.Oleh sebab itu jadi Salafi memang harus berani !!!

Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Prahara Dakwah Salafiyah

Dalam tulisan ini saya berupaya mendudukan berbagai bentuk kerancuan yang sempat menghinggapi pemahaman Salafiyyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah agar kiranya menambah kejelasan bagi pembaca sekalian, bahwa kesan perpecahan yang muncul di mata masyarakat itu sesungguhnya tidaklah benar. Yang benar ialah adanya kesimpangsiuran pada sebagian orang yang mengaku berpemahaman Salaf, tetapi sesungguhnya pemahamannya sudah terkontaminasi oleh berbagai penyimpangan.
            Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah merambat di banyak wilayah di Indonesia dan sekitarnya sejak dulu kala. Namun digenerasi ini, dakwah yang mulia ini telah terkontaminasi (yakni terkena berbagai kerancuan) oleh berbagai pemikiran lain yang menyimpang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai kerancuan yang menghinggapi dasar pemahaman Dakwah Salafiyah akhir-akhir ini di Indonesia, banyak menimbulkan kesan adanya perpecahan di kalangan Salafiyyin (para penganut pemahaman Salafus Sholeh). Kesan-kesan perpecahan itulah yang saya maksudkan dengan prahara Dakwah Salafiyah di Indonesia.
            Dalam Tulisan ini saya berupaya mendudukan berbagai bentuk kerancuan yang sempat menghinggapi pemahaman Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah agar kiranya menambah kejelasan bagi pembaca sekalian, bahwa kesan perpecahan yang muncul di mata masyarakat itu sesungguhnya tidaklah benar. Yang benar ialah adanya kesimpangsiuran pada sebagian orang yang mengaku berpemahaman Salaf, tetapi sesungguhnya pemahamannya sudah terkontaminasi oleh berbagai penyimpangan. Adapun berbagai kerancuan itu adalah sebagai berikut:

            Salafiyatul Aqidah Ashriyatut Tandhim wal Harakah yakni suatu pergerakan yang pemahaman aqidahnya mengambil dari aqidah Salaf, sedangkan sistem pergerakannya memakai sistem kekinian. Yang dimaksud dengan ungkapan ini ialah upaya menggabungkan berbagai pola dakwah antara Salafiyah dengan berbagai pola pergerakan khalafiyah [1] yang pada umumnya berbau hizbiyyah [2] . Orang-orang yang mempunyai ungkapan demikian akan beranggapan bahwa konsep dakwah Salafiyah yang bisa diambil untuk pergerakan di masa kini hanyalah sisi aqidahnya saja. Sedangkan sisi pergerakannya menurut anggapan mereka, Salaf tidak memmiliki konsep pergerakan masa kini. Melalui pandangan yang demikian ini, terjadilah kerancuan dalam memahami Manhaj Salaf (Manhaj itu maknanya ialah metodologi atau sistem pemahaman, pengamalan dan sistem perjuangan. Dan Manhaj Salaf itu maknanya ialah pemahaman dan pengamalan Islam yang merujuk kepada generasi Salafus Shalih ).
            Kerancuan tersebut menghalangi Ummat Islam untuk memahami Islam dengan cara yang benar sebagaimana yang telah diwariskan oleh generasi Salafus Shalih. Padahal sesungguhnya segala malapetaka yang menimpa Ummat Islam di seluruh dunia di masa kini, adalah sebagai akibat mereka meninggalkan cara beragama Salafus Shalih. Sementara kenyataannya, konsep perjuangan yang lainnya sampai hari ini tidak mampu membuktikan dirinya sebagai konsep perjuangan alternatif yang dapat mengentaskan Ummat Islam dari problem yang mengepungnya.         
            Yang membawa pemahaman semacam ini ke Indonesia –ketika saya pulang ke tanah air dari Pakistan pada bulan September th. 1989- ialah para alumni berbagai perguruan tinggi di Saudi Arabia, seperti alumni Universitas Imam Muhammad bin Su'ud, Universitas Ibnu Su'ud, yang keduanya berada di kota Riyadh. Juga para alumni Universitas Ummul Qura Makkah Al Mukarramah dan Universitas Islam Al Madinah An-Nabawiyah. Mereka mendapatkan pemikiran tersebut dari berbagai kegiatan training center (TC) di kampus selama masa perkuliahan. Berbagai kegiatan TC tersebut biasanya didominasi oleh kelompok Ikhwanul Muslimin bentukan Hasan Al-Banna. Ketika saya menyeru mereka untuk merujuk kepada pemahaman agama kepada Salafus Shalih (yaitu para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam , para Tabi'in, dan para Tabi'it Tabi'in), mereka tidak merasa asing dengan seruan itu. Tetapi dalam kegiatan pesantren kilat yang mereka adakan untuk para mahasiswa baru di Indonesia, masih saja mereka memakai kitab-kitab campuran antara pemahaman Salaf dengan kitab-kitab rujukan utama Ikhwanul Muslimin. Dengan perincian sebagai berikut:
1.      Dalam bidang aqidah, mereka memakai Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama dari kalangan Salafy Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
2.      Dalam bidang wawasan dakwah, yang dikaji ialah kitab Jundullah Akhlaqan wa Tsaqafatan karya Sa'ied Hawwa. Yang ini dari kalangan Ikhwanul Muslimin.
3.      Dalam bidang wawasan pergerakan, yang dipakai adalah kitab Al-Islam karya Sa'id Hawwa. Juga dari kalangan Ikhwanul Muslimin
Ketiga rujukan ini menunjukkan betapa rancunya pemahaman Islam yang disuguhkan kepada Ummat Islam melalui acara pesantren kilat tersebut.
            Tetapi alhamdulillah , kegiatan model demikian ini tidak berlangsung lama. Karena setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya dibacakanlah kepada mereka sebuah kitab kecil berjudul Waqafat Ma'a Kitab lid Du'ah Faqath karya Muhammad bin Saif Al-Ajami. Pada kitab tersebut diuraikan kritikan tajam secara ilmiah terhadap berbagai pemahaman agama yang ada pada Hasan Al-Banna, Umar Tilmasani, Sa'id Hawwa, Fathi Yakan dan lain-lainnya, yang merupakan pendiri dan para tokoh Ikhwanul Muslimin. Dengan dibacakannya kitab ini, kelompok pengajian di Yogyakarta yang didirikan oleh para alumni berbagai perguruan tinggi di Saudi Arabia itu, akhirnya mayoritas mereka mau mengoreksi manhaj campuran Salaf dengan Ikhwanul Muslimin ini. Koreksi yang dibeberkan dalam kitab kecil tersebut menyadarkan banyak pihak bahwa untuk mengikuti manhaj Salaf itu tidak boleh setengah-setengah, akan tetapi harus dengan sepenuh hati dan sepenuh aspek kehidupan. Karena manhaj Salaf itu akan mengantarkan kita kepada kesempurnaan Islam dalam menjawab segala macam problem kehidupan di dunia ini, apakah dalam bidang aqidah, ataukah dalam bidang ibadah, maupun dalam bidang akhlaq. Dalam istilah masa kini, bahwa Islam itu menjawab segala problem dalam bidang poleksosbudhankamrata (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan rakyat semesta). Tidak ada satu bidang kehidupan yang luput dari pembicaraan manhaj Salaf dalam memahami tuntunan Islam tentang bidang kehidupan ini. Jadi tidak ada keperluan sama sekali untuk mengadopsi manhaj lain dalam memahami dan mengamalkan Islam, apalagi dalam bidang pergerakan. Demikianlah yang dinasehatkan oleh para imam Salafus Shalih dalam beberapa riwayat sebagai berikut:
1.      Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib radhiyallahu ‘anhuma menasehatkan: “Kalian harus beristiqomah dan mengikuti Al-Atsar (yakni riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallamserta para shahabat beliau, pent) dan hati-hatilah kalian dari perbuatan membuat kebid'ahan.” Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 1 hal. 339-349 riwayat ke-206.
2.      Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa Abu Darda' radhiyallahu ‘anhu menyatakan: “Jadilah kamu orang yang berilmu atau orang yang belajar ilmu; atau orang yang mendengarkan ilmu atau pencinta ilmu; dan janganlah kamu menjadi pihak kelima, niscaya kamu akan binasa.” Al-Hasan Al-Basri menerangkan: “Yang dimaksud pihak kelima disini ialah ahli bid'ah.” Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari jilid 1 hal. 341 riwayat ke-210.
3.      Abdullah bin Mas'ud menasehatkan: “Ikutilah oleh kalian ajaran Nabi MuhammadShallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam dan janganlah kalian membikin bid'ah, karena telah cukup Islam ini bagi kalian.” Riwayat Ibnu Abi Zamanin dalam Ushulus Sunnah riwayat ke-11.
4.      Abul Aliyah Ar-Riyahi rahimahullah menyatakan: “Belajarlah kalian tentang agama Islam. Maka bila kalian telah mempelajarinya, janganlah kalian membencinya. Wajib atas kalian untuk menjalani cara beragama yang lurus, karena Islam itu adalah agama yang lurus dan jangan kalian menyimpang daripadanya ke kanan atau ke kiri. Dan wajib kalian berpegang dengan Sunnah Nabi kalian (yakni segenap ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa'alaihi wasallam, pent), dan hati-hatilah kalian dari berbagai hawa nafsu yang akan melemparkan api permusuhan dan kebencian di antara pengikut hawa nafsu itu.” Beliau mengingatkan bahaya hawa nafsu ini berulang-ulang. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra riwayat ke-202.
5.      Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menasehatkan: “Rasulullah dan para penguasa sepeninggal Beliau [3] telah mewariskan ajaran-ajaran Islam. Berpegang dengannya berarti membenarkan Islam, merupakan kesempurnaan ketaatan kepada Islam, serta sebagai kekuatan dalam berpegang dengan agama Allah. Tidak ada seorangpun yang berhak merubahnya dan tidak ada pula yang berhak untuk menoleh kepada pikiran siapa saja yang menyelisihinya. Maka barangsiapa yang mengikuti apa yang mereka ajarkan, maka sungguh dia telah mendapat petunjuk. Barangsiapa yang ingin mencari kejelasan dengannya maka sungguh dia akan mendapatkan kejelasan. Dan barangsiapa yang menyelisihinya dan mengikuti cara beragama selain kaum Mu'minin, maka sungguh dia akan dipalingkan oleh Allah kepada apa yang dia berpaling padanya dan Allah akan masukkan dia ke neraka Jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” Diriwayatkan oleh Al-Imam Abul Qasim Al-Lalikai dalamSyarah Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah riwayat ke-134.
Setelah upaya menjelaskan dan mendudukan Manhaj Salaf dilakukan dengan sedemikian gamblang, tetap saja masih ada beberapa kelompok pengajian yang memakai model campuran antara pemahaman Salafus Shalih dengan pemahaman khalafiyah di beberapa tempat di Indonesia. Kelompok tersebut masih saja dianggap oleh sebagian orang sebagai kelompok Salafi. Akibatnya terkesan bahwa pengikut gerakan Salafiyah telah berpecah belah. Dan kesan yang demikian ini menjadi fitnah tersendiri bagi banyak kalangan Muslimin untuk memahami Manhaj Salaf.
As-Sururiyyah sebagai bentuk lain dari upaya modifikasi pemahaman Ikhwanul Muslimin dengan Salafiyyah. Penggagasnya ialah Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Sang penggagas berupaya menampilkan diri sebagai seorang yang telah bertaubat dari pemikiran Ikhwanul Muslimin Hasan Al-Banna. Namun penampilan pura-pura taubat ini adalah dalam rangka manuver penyusupan di kalangan Salafiyyin. Dan pemikiran yang dibawa olehnya dari Hasan Al-Banna untuk dipasarkan di kalangan Salafiyyin adalah slogan utama gerakan tersebut yang berbunyi: Nata'awanu fi mattafaqna wa na'tadziru ba'dluna ba'dlan fi makhtalafna (yakni: Kami saling tolong-menolong dalam apa saja yang kita sepakat padanya dan kami saling memaafkan dalam apa saja yang kami berselisih padanya).
Slogan ini sedemikian mutlaknya sehingga hampir tidak ada batasannya. Akibatnya, gerakan Ikhwanul Muslimin bisa kerjasama dengan Yahudi dan Nashara, bahkan dapat pula kerjasama dengan kelompok Sosialis – Komunis dalam suatu perjuangan. Karena dengan kelompok manapun, pada dasarnya mempunyai sisi kesamaan walaupun mempunyai perbedaan dalam perkara yang sangat prinsip.
Menurut mereka, kaum Muslimin mempunyai kesamaan dengan Yahudi dan Nashara dalam sisi sebagai sama-sama penganut agama samawi, sama-sama memuliakan Nabi Musa dan Nabi Isa ‘ alaihimas salam , walaupun mempunyai perbedaan yang sangat prinsip dengan Islam dalam perkara konsep Ketuhanan Allah Ta'ala dan perkara kenabian Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam . Kita mentauhidkan Allah dalam segala Rububiyah-Nya, sifat-sifat-Nya, Nama-nama-Nya yang Maha Mulia dan mentauhidkan-Nya dalam Uluhiyah-Nya sebagai satu-satunya pihak yang berhak mendapatkan persembahan peribadatan dari segenap makhluk. Sebaliknya Yahudi dan Nashara, mereka menyekutukan Allah dalam segala perkara tersebut. Kita meyakini bahwa Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam adalah Nabi dan Rasul Allah. Segala yang diberitakan kepada kita adalah kebenaran dan tidak ada unsur kedustaannya sedikitpun. Sedangkan orang-orang Yahudi dan Nashara sama sekali tidak beriman kepada MuhammadShallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam dan dengan apa yang dibawa olehnya. Bahkan mereka menganggap bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam adalah pendusta. Demikian tajam perbedaan kita dengan Yahudi dan Nashara. Namun dengan qaidah Al-Banna tersebut, dimungkinkan kaum Muslimin untuk bersatu barisan dan bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashara itu dalam satu perjuangan. Karena prinsipnya dimungkinkan untuk saling tolong-menolong dalam perkara yang kita sepakati dan kita bisa saling memaafkan dalam perkara yang kita berbeda pendapat padanya.
Demikian pula dengan qaidah Al-Banna ini, ummat dimungkinkan untuk bersatu barisan dengan Ahlul Bid'ah yang paling sesat sekalipun, bahkan Ahlul Bid'ah yang telah keluar dari Islam karena kebid'ahannya yang terlalu jauh. Sehingga dengan demikian qaidah banna'iyah ini menghancurkan prinsip utama dalam aqidah Islamiyah, yaitu prinsip Al-Furqon . Yaitu prinsip yang mengharuskan adanya sikap membedakan antara yang benar dari yang bathil, yang Sunnah dari yang Bid'ah, dan yang Islam dari yang kufur. Kehancuran prinsip Al-Furqan ini akan berakibat terjadinya proses pengkaburan agama yang amat dahsyat dan kerancuan. Begitulah kerusakan yang diakibatkan oleh qaidah Al-Banna tersebut.
Kemudian muncullah qaidah serupa dari Muhammad Surur yang terkenal dengan nama qaidahmuwazanah . Secara bahasa, Al-Muwazanah itu artinya ialah keseimbangan yang maksudnya adalah keadilan. Dalam kaitannya dengan qaidah pergerakan, yang dimaksud dengan Al-Muwazanah itu ialah apa yang diistilahkan oleh Muhammad Surur sebagai sikap adil terhadap adanya keragaman dalam pergerakan. Katanya, bahwa dalam rangka bersikap adil, kita harus mengakui nilai positif berbagai kelompok dan aliran pemahaman Islam, disamping adanya unsur negatifnya. Sikap yang demikian ini mereka terapkan terhadap Ahlul Bid'ah atau terhadap kelompok dan tokoh yang ada di luar lingkaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Tetapi anehnya sikap ini tidak berlaku bagi Ahlus Sunnah dan para Ulama'nya. Terhadap Ahlus Sunnah dan terhadap para Ulama'nya, tidak ada lagi pertimbangan Al-Muwazanah . Bahkan mereka sangat keras dalam merendahkan dan mengejek pada Ulama'nya. Salah satunya, Muhammad Surur sempat menyatakan bahwa buku-buku karya para Ulama' yang berkenaan dengan aqidah itu adalah karya tulis yang kaku dan kasar. Dia menyatakan pula bahwa para Ulama yang tidak mengkritik pemerintahnya di depan umum, adalah para Ulama yang masuk dalam jaringan piramid kekuasaan para thagut. Dan masih banyak lagi pelecehan terhadap para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tanpa mempertimbangkan qaidah al-muwazanah yang dia bangun sendiri.
Apa yang telah diletakkan oleh Muhammad Surur dengan istilah qaidah muwazanah tersebut adalah dalam rangka menuju upaya penegakkan qaidah Hasan Al-Banna tersebut diatas. Yaitu berkerjasama dengan siapapun dalam sisi kesamaannya dan saling memaafkan pada sisi yang berbeda. Dengan kata lain, berkerja sama dalam sisi positifnya dan toleran dalam sisi negatifnya. Dari sini kemudian tampillah tokoh lain yang bernama A'id Al-Qarni. Dia mengkampanyekan ide pergerakan Islam yang menampung berbagai sisi kelebihan dari berbagai pergerakan. Kata penggagas ini, sisi kekuatan aqidah diambil dari Salaf . Kemudian sisi sistem kedisiplinan bertandhim diambil dari Ikhwanul Muslimin. Dalam hal sistem pendidikan rohani diambil dari gerakan thariqat sufiyah semacam Jama'ah Tabligh. Dalam hal semangat jihad diambil konsep Jama'atul Jihad pimpinan Dr. Umar Abdurrahman. Dalam perkara konsepsi politik; diambil konsep dari Hizbut Tahrir yang terkenal dengan gerakan untuk memperjuangkan berdirinya kembali apa yang dinamakan Khalifah Islamiyah. Untuk lebih menyakinkan kalangan Salafiyyin, tampillah Salman bin Fahad Al-Audah menulis buku-buku tentang masalah ini dalam Silsilatul Ghuraba' . Uraiannya dalam buku-buku tersebut menggiring pembaca untuk meyakini bahwa Al-Firqatun Najiah (Kelompok yang selamat), At-Tha'ifah Al-Mansuroh (kelompok yang dimenangkan oleh Allah), dan Al-Ghuraba' (orang-orang yang dianggap asing karena menjalankan agamanya dengan benar), tidak tertumpu pada satu golongan saja dari ummat ini, akan tetapi ia adalah simbol-simbol kemuliaan bagi segenap kelompok ummat dengan potensi masing-masing. Tampil pula Abdurrahman Abdul Khaliq untuk meyakinkan Salafiyyin agar jangan menumpahkan perhatian kepada ilmu Qur'an dan Al-Hadits saja, akan tetapi harus pula menumpahkan perhatian kepada ilmu-ilmu yang sifatnya keduniaan. Ulama' yang dimuliakan oleh Allah Ta'ala itu bukan hanya Ulama Ahlil Hadits saja, akan tetapi para Ulama dalam berbagai bidang disiplin ilmu-ilmu yang untuk kemaslahatan kaum Muslimin juga dimuliakan oleh Allah Ta'ala. Bahkan Abdurrahman Abdul Khaliq sangat keras mengecam para Ulama Ahlil Hadits dan menggelarinya dengan “Cetakan Lama yang Perlu Revisi”. Juga dalam rangka bahu-membahu membangun prinsip ini, Dr. Nasir Al-Umar mengkampanyekan pentingnya apa yang dinamakan “Fiqhul Waqi'”, sebagai ilmu yang sebanding dengan ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dan fardhu ‘ain atas setiap muslim untuk mempelajarinya. Fiqhul Waqi' itu maknanya ialah wawasan kekinian dan kedisinian. Yaitu mengikuti perkembangan masa kini dan apa yang terjadi disini, melalui media massa. Biasanya pelajaran wajib seperti ini kalau di kalangan Ikhwanul Muslimin dinamakan “ Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah. 
Maka lengkaplah gerbong Sururiyah dalam membangun rumah kardus yang amat indah menakjubkan bagi yang memandangnya sepintas. Namun seindah apapun rumah itu, tetap saja dia itu sebagai rumah kardus yang akan mudah untuk roboh diterpa angin sepoi-sepoi dan hujan rintik-rintik. Karena rumah ini sangat rapuh dan untuk merobohkannya tidak perlu angin ribut dan tidak perlu pula hujan badai. Berbagai pemikiran yang dilontakannya bagi banyak orang, seakan indah dan sebagai hujjah yang kokoh. Namun semua itu  adalah kabut syubhat yang akan sirna dalam sekejab, tidak menunggu berhari-hari. Sementara syubhat itu sendiri maknanya ialah kekaburan batas-batas agama antara al-haq dengan al-bathil , antaraas-sunnah dengan al-bid'ah, at-tauhid dengan as-syirik , dan al-halal dengan al-haram dan begitu selanjutnya. Padahal agama Allah telah menjelaskan dengan jelas dan gamblang tentang batas-batas itu. Tentu jawaban yang paling tepat terhadap berbagai syubhat itu adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagaimana yang telah dipahami para Salafus Shalih. Agar runut jawabannya, baiklah kita bahas satu persatu berbagai syubhat itu sebagai berikut:
1.    Apakah kita bisa berkerja sama dengan siapa saja yang mempunyai sisi kesamaan pandangan dan apakah kita bisa memaklumi segala macam perbedaan dalam rangka membangun upaya kerjasama?
Untuk menjawab pertanyaan ini, haruslah kita kembalikan jawabannya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ada sebuah ayat Al-Qur'an yan menjadi dasar pandang bagi kita dalam membangun kerjasama dengan sesama kaum Muslimin. Yaitu surat Al-Maidah 2:
“ Dan saling tolong-menolonglah kalian di atas kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran hukum Allah.” (Al-Maidah:2)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini dalam kitab beliau berjudul Ar-Risalah At-Tabukiyyah sebagai berikut:
Ayat ini membimbing kepada pengertian tentang kewajiban seorang hamba Allah terhadap sesama makhluk, dan kewajiban hamba berkenaan dengan hubungan antara dia dengan Al-Haq (Yakni Allah Ta'ala). Tidak akan sempurna pelaksanaan kewajiban pertama, kecuali dengan menyingkirkan perantara (antara dia dengan Allah dalam niat mengamalkannya), serta menunaikan segenap kewajiban itu semata-mata sebagai nasehat, berbuat baik, dan menjaga batas-batas hukum Allah. Sedangkan kewajiban kedua tidak akan sempurna kecuali bila menyingkirkan makhluk dalam hubungan dengan Allah, dan menunaikan segala kewajiban ibadah kepada Allah dengan ikhlas karena-Nya dan cinta kepada-Nya serta menyadari bahwa diri ini adalah hamba Allah.”
Demikian Ibnu Qayyim menjelaskan tentang prinsip hubungan kerjasama saling tolong-menolong di antara sesama Muslimin. Dimana kerjasama itu harus dalam rangka menjaga batas-batas hukum Allah yakni hukum Syari'ah Islamiyah.
Adapun hubungan kerjasama dan saling tolong-menolong dengan orang-orang kafir, telah diterangkan oleh Allah Ta'ala batasannya adalah sebagai berikut:
“ Janganlah kaum Mu'minin menjadikan orang kafir sebagai sahabat-sahabat selain dari kalangan kaum Mu'minin. Barangsiapa yang berbuat demikian maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari Allah dalam segala masalah. Kecuali bila kalian dalam keadaan takut dari mereka. Dan Allah mengancam kalian dengan hukuman-Nya. Dan kepada Allah-lah kalian akan kembali.” Ali Imran: 28 )
Ibnu Jarir At-Thabari dan Ibnu Abi Hatim rahimahullah telah meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma  sebagai berikut:
“Allah telah melarang kaum Mu'minin untuk berlembut-lembut dengan orang kafir dan melarang menjadikan mereka sebagai tempat berlindung dengan mengesampingkan kaum Mu'minin sebagai tempat berlindung. Tetapi bila orang-orang kafir itu dalam posisi sebagai penguasa terhadap mereka, maka kaum Mu'minin bisa menampakkan sikap lemah lembut terhadap mereka, tetapi menyelisihi mereka dalam perkara agamanya. Karena Allah Ta'ala telah berfirman: “ kecuali karena kalian takut dari orang-orang kafir itu .” Demikian diterangkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu tentang makna ayat tersebut. Jadi dengan demikian, tidaklah bisa diterima memutlakkan bolehnya berkerja sama dengan siapapun dalam perkara yang disepakati dan memaafkan sebagian atas sebagian yang lainnya dalam perkara yang diperselisihkan. Kerjasama itu boleh dilakukan dengan sesama kaum Muslimin, bila dalam rangka amalan shalih dan taqwa kepada Allah Ta'ala dan dalam batas-batas Syari'at Allah. Demikian pula kerjasama dengan orang-orang kafir, tidak boleh sampai memberi peluang untuk menjual prinsip agama dan harus dilakukan dalam perkara-perkara tertentu yang dibutuhkan kaum Muslimin dengan cara yang dituntunkan oleh Syari'at Allah.
Oleh karena itu, tidak bisa dibenarkan adanya kerjasama bahu-membahu antara Ahlus Sunnah wl Jama'ah dengan Ahlul Bid'ah wal Furqah. Karena keduanya sangat berbeda dan sangat bertentangan prinsip agamanya. Dmikian pula antara kafir harbi (Yakni orang kafir yang sedang memusuhi dan memerangi kaum Muslimin) dengan kaum Muslimin, tidak mungkin berkerja sama dalam segala masalah. Apalagi dalam perjuangan untuk kepentingan agama Allah Ta'ala.
2.    Apakah masuk akal bila kita disuruh mengambil berbagai bentuk pergerakan dari berbagai kelompok hizbiyah, dengan alasan demi mengambil “kelebihan” kelompok-kelompok pergerakan tersebut? Padahal dalam ilmu dan amal yang diwariskan kepada kita oleh para Salafus Sholeh itu telah lengkap dalam segala bidangnya, apalagi bidang yang menyangkut cara perjuangan. Dalam hal ini Al-Imam Al-Auza'i menasehatkan: “Bersabarlah kalian dalam berpegang dengan As-Sunnah dan berhentilah engkau pada apa yang para Salafus Shalih itu berhenti. Dan berkatalah dengan apa yang mereka katakan, dan tahanlah dirimu dari apa yang mereka telah menahan diri padanya, dan tempuhlah jalan para Salafus Shalih. Niscaya engkau akan mendapat kelapangan sebagaimana kelapangan yang mereka dapatkan.” Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Abul Qasim Al-Lalika'i dalam kitab beliau Syarah Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah jilid 1 hal 154-155 riwayat ke 315.
3.    Apakah ilmu-ilmu dunia selain Al-Qur'an dan Al-Hadits itu sejajar dengan kedua ilmu tersebut dan apakah para ilmuwan dalam berbagai ilmu dunia itu sejajar kedudukannya dengan para Ulama‘ Ahli Al-Qur'an dan Al-Hadits? Jawabannya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam sebagai berikut:
“ Baransiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, niscaya Allah jadikan dia paham tentang agama. Aku hanyalah pembagi, sedangkan Allah sajalah yang memberi. Dan ummat ini akan terus menerus berusaha menegakkan agama Allah, tidak akan merugikan mereka orang-orang yang menyelisihi mereka, sehingga datang keputusan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahihkeduanya. Dan hadits ini dari lafadh riwayat Al-Bukhari. Lihat Fathul Bari juz 1 hal. 164 babMan Yuridillahu Khairan Yufaqqihu Fid-Dien no. 71 dari Muawiyah bin Abi Sofyan radliyallahu ‘anhuma )
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah ketika menerangkan hadits ini menyatakan: “Pengertian yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa orang yang tidak belajar kaidah-kaidah agama Islam dan berbagai cabang-cabang Ilmu daripadanya, maka dia diharamkan dari kebaikan.” Kemudian beliau menambahkan keterangannya: “Karena orang yang tidak mengerti tentang urusan agamanya, maka dia tidak dikatakan sebagai orang yang faqih dan bukanlah orang yang belajar fiqih. Maka sepantasnyalah orang yang demikian ini dikatakan bahwa dia tidak diingini kebaikannya. Dengan demikian maka jelaslah disini, betapa keutamaan para Ulama' di hadapan sekalian manusia, dan juga menunjukkan keutamaan ilmu yang untuk memahami agama dibanding dengan sekalian ilmu-ilmu yang lainnya.” Demikian Ibnu Hajar Al-Asqalani menerangkan dalam Fathul Bari jilid 1 hal. 163, keterangan bagi hadits ke. 71.
4.    Apakah mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berarti tidak mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya? Jawabannya tidaklah demikian. Hanya saja para Ulama dengan dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, mengklasifikasikan ilmu ke dalam dua bagian, yaitu:
a.       Ilmu yang fardlu ‘ain , yaitu ilmu yang wajib atas diri setiap Muslim untuk mempelajarinya, berupa ilmu-ilmu yang berkenaan dengan pengenalan kita kepada Allah Ta'ala, dan Rasul-Nya, dan Kewajiban-kewajiban Agama-Nya.
b.      Ilmu yang fardhu kifayah , yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh masyarakat Muslimin, berupa ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan kaum Muslimin di dunia ini. Seperti ilmu kedokteran, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan sebagai sarana kehidupan di dunia. Bila ilmu-ilmu tersebut telah dipelajari oleh sekelompok Muslimin, maka gugurlah kewajiban itu bagi kaum Muslimin lainnya.
Demikian diterangkan oleh Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Maqdisi (meninggal pada th. 742 H) dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin .

Jadi kalau Abdur Rahman Abdul Khaliq dan Dr. Nasir Al-Umari menyerukan agar Salafiyyin jangan hanya mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka seruan itu salah alamat. Karena Salafiyyin tidaklah seperti yang digambarkan oleh keduanya, yaitu kalau mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah berarti antipati terhadap ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun kalau yang dimaksud dengan seruannya itu adalah untuk mengecilkan atau merendahkan para Ulama Ahlil Hadits dan kemudian mengeluk-elukkan para tokoh pergerakan yang banyak dari kalangan teknokrat, maka tentu yang demikian ini adalah makar terhadap Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Sayang sekali, keumuman orang sulit mengenali makar mereka sehingga banyak orang menganggap bahwa mereka juga termasuk Salafiyyin. Akibatnya perbedaan yang tajam dan frontal antara mereka dengan Salafiyyin yang betul-betul merujuk kepada Ulama Ahlul Hadits, terkesan oleh banyak orang sebagai perselisihan diantara kalangan Salafiyyin sendiri. Atau dengan kata lain sebagai perpecahan di kalangan Salafiyyin.
[1] .Pola pergerakan Khalafiyah itu artinya pergerakan dan perjuangan yang berdasarkan pemikiran Khalaf. Sedangkan pemikiran Khalaf itu ialah pemikian yang menyimpang dari Salafus Shalih dan banyak dipengaruhi oleh Ilmu Kalam dan berbagai pemikiran filsafat yang meracuni pemahaman agama kaum Muslimin di masa kini. Seperti Materialisme, Demokratisme, Liberalisme, dan lain-lainnya
[2]   Hizbiyyah itu maknanya ialah melakukan penggolongan di kalangan Ummat Islam dengan tidak berdasarkan tuntunan Syari'ah.
[3] Yakni para penguasa yang dinamakan dengan Al-Khulafa' Ar-Rasyidin Al-Mahdiyyin, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum ajma'in .
Haddadiyah yaitu bentuk lain peyusupan pemahaman dari kalangan yang berpandangantakfiriyah ke dalam kalangan Salafiyyin. Takfiriyah itu sendiri maknanya ialah pemahaman sesat yang cenderung mengkafirkan kaum Muslimin di luar komunitasnya hanya karena dosa-dosa yang dilakukannya. Sedangkan haddadiyah berpandangan bahwa seorang Muslim bila telah melakukan perbuatan bid'ah, maka dia dihukumi sebagai ahlul bid'ah dan keluar dari kedudukannya sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Orang yang pertama kali mengkampanyekan pemikiran ini adalah Abu Abdillah Mahmud bin Muhammad Al-Haddad Al-Masri. Orang ini semula menampilkan diri sebagai thalibul ilmi yang amat tekun menuntut ilmu di majlisnya para Ulama' seperti As-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali dan lain-lainnya. Tetapi dia kemudian menampilkan pemikiran-pemikiran anehnya sebagaimana yang disebutkan diatas.

Keanehan pemikiran haddadiyah itu sesungguhnya terletak pada syubhat (pengkaburan) yang dibuatnya dalam perkara Qa'idah Aamah dengan Qa'idah Ta'yin ketika menghukumi orang yang berbuat / berkata bid'ah atau orang yang padanya terdapat perbuatan / perkataan yang mengandung kekafiran. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Qa'idah Aamah itu ialah kaidah umum yang merupakan hukum yang mengikat semua Muslim pria dan wanita. Di mana telah ditetapkan bahwa setiap orang yang berbuat kemusyrikan itu adalah musyrik dan setiap orang yang berbuat kekafiran maka dia itu adalah kafir. Demikian pula hukumnya atas orang yang berbuat bid'ah, maka dia adalah ahlul bid'ah. Tetapi dalam penerapan kaidah ini pada seorang individu yang berbuat atau berkata dengan kekafiran, kemusyrikan dan kebid'ahan, masih ada apa yang dinamakan mawani' (beberapa penghalang) sebelum suatu vonis dijatuhkan. Adapun mawani' tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Pelaku perbuatan / perkataan kufur, bid'ah atau syirik itu dalam keadaan tidak tahu dan belum sampai ilmu padanya. Maka tentu orang yang demikian, tidak bisa dikafirkan atau divonis musyrik atau mubtadi' (ahli bid'ah).
2.         Pelaku perbuatan / perkataan kufur, bid'ah atau syirik itu dalam keadaan terpaksa melakukan berbagai perbuatan itu karena takut dari ancaman pihak lain. Padahal dia meyakini bahwa perbuatan itu adalah kufur, bid'ah, dan syirik. Maka orang yang demikian tidak bisa divonis sebagai orang kafir, musyrik, dan mubtadi'.
Maka bagaimana pula kalau pelaku itu dalam keadaan sekaligus jahil dan terpaksa. Tentu lebih tidak mungkin lagi untuk divonis dengan berbagai vonis-vonis itu. Oleh sebab itu dalam rangka menjatuhkan vonis-vonis tersebut terhadap individu atau kelompok tertentu, haruslah dengan apa yang dinamakan Qa'idah Ta'yin . Yaitu kaidah-kaidah yang harus ditegakkan dalam menjatuhkan vonis-vonis agama terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Dalam kaidah ini dijelaskan, bahwa untuk menjatuhkan satu vonis kepada individu atau kelompok tertentu, haruslah dijalankan proses sebagai berikut:
1.      Tabayyun (mencari kejelasan) dan tatsabbut (mencari kepastian). Yaitu mencari kejelasan dan kepastian apakah dia telah mengucapkan dan atau mengerjakan amalan kufur, bid'ah atau fasiq.
2.      Bila memang benar dapat dipastikan bahwa dia telah mengucapkan dan mengerjakan amalan dan perkataan tersebut, maka harus dijalankan pada individu tersebut upaya iqamatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi), menjelaskan tentang kebenaran apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dan kebatilan segala yang menyimpang dari padanya. Dalam upaya kedua ini akan dapat diketahui, apa sesungguhnya motif pelaku amalan atau perkataan kufur, bid'ah dan maksiat itu. Apakah karena tidak mengerti ketika melakukan atau mengatakannya, atau karena terpaksa, ataukah karena memang benar dia sengaja melakukan dan mengatakannya dalam rangka ingkar kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Maka bila didapati bahwa dia melakukan atau mengatakannya karena tidak mengerti, tentu dia harus diajari ilmu agar terhindar dari perkataan dan perbuatan tersebut. Bila karena takut atau terpaksa, maka dia harus dibantu agar terlepas dari ancaman atau keterpaksaannya.
3.      Tetapi bila ternyata setelah upaya iqamatul hujjah , pelaku perbuatan atau perkataan kufur dan bid'ah itu memang adalah orang yang mempunyai semangat kekafiran dan kebid'ahan serta penolakan terhadap Iman dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa alihi wasallam, maka barulah vonis dijatuhkan terhadapnya sebagai orang kafir atau ahlul bid'ah.
Proses iqamatul hujjah itu dilakukan oleh Ulama' atau Thalibul Ilmi (penuntut ilmu agama) yang mantap keilmuannya dan manhajnya dan proses itu dilaksanakan dalam bentuk dialog ilmiah yang padanya dipatahkan segala kerancuan berfikir tentang Islam dan dibantah pula segala alasan menjalankan kekafiran dan kebid'ahan itu. Perlu diingatkan disini, bahwa dialog ilmiah tersebut adalah dalam rangka nasehat dan dakwah.
Demikian mestinya qa'idah ta'yin yang dikenal dikalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun pemahaman haddadiyah mengabaikan qaidah ini. Sehingga mereka yang dijangkiti pemahaman ini akan mencukupkan diri mereka dengan qa'idah aamah dalam memvonis setiap individu atau golongan tertentu sebagai kafir atau ahlul bid'ah. Tentu yang demikian ini akan menimbulkan fitnah besar di kalangan kaum Muslimin, yang diatasnamakan pemahaman Salafiyah. Orang yang tidak tahu akan dengan mudah menganggap bahwa mereka yang membawa pemahaman seperti ini adalah orang-orang Salafiyyin. Jadi kesimpulannya ialah, bahwa Salafiyyin itu adalah gerombolan orang-orang yang suka memvonis orang lain sebagai ahlul bid'ah. Padahal sesungguhnya yang demikian itu bukanlah akhlaq yang diajarkan oleh manhaj Salafy Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang agung ini. Manhaj Salafy itu sangat ketat kehati-hatiannya dalam memvonis seseorang atau sekelompok tertentu sebagai kafir atau ahlul bid'ah, sebagaimana para pembaca yang budiman telah mengikuti uraian disini tentang Qa'idah Ta'yin Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun kemunculan orang-orang yang berpemahaman haddadiyah ini amat menimbulkan kesan, adanya prahara dalam perjalanan Dakwah Salafiyah, khususnya di Indonesia.
Penutup            

Makin banyak orang-orang yang mengaku di atas manhaj Salafi Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun akhlaq dan manhaj mereka tidak menunjukkan warna Salafy, bahkan banyak pula yang menunjukkan akhlaq dan manhaj hizbiyah tetapi berbendera Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Namun biarlah semua orang mengaku dengan pengakuannya. Hanya Allah Ta'ala jualah yang akan menampakkan apa yang sebenarnya disembunyikan di hati mereka. Bersama perjalanan waktu dan berbagai peristiwa, Allah Ta'ala akan menunjukkan perbedaan antara yang asli dari yang palsu. Yang penting, dakwah Salafiyah harus terus berlangsung. Perjuangan untuk mengentaskan Ummat Islam dari kejahilan tentang agama harus terus bergulir. Upaya menyelamatkan Ummat Islam dari kekafiran, kebid'ahan dan kemaksiatan harus terus dilagakan. Semua itu adalah simbol perjuangan Dakwah Salafiyah, dan dakwah ini tidak pernah membikin prahara di Indonesia atau di bumi manapun. Hanya saja para calo dakwah itu yang sering bikin ribut.
Kalau begitu, biar anjing menggonggong, kafilah Dakwah Salafiyah tetap berlalu menuju ‘ Izzul Islam wal Muslimin (kemuliaan Islam dan Kemuliaan Kaum Muslimin)


Al Ustadz Ja'far Umar Thalib