Powered By Blogger

Rabu, 02 Februari 2011

Melacak Jejak Generasi Terbaik

Topik kita dalam kesempatan kali ini mengulas tentang siapakah generasi terbaik umat ini? Dan terbaik di sini sangatlah identik dengan prilaku keimanan dan amalan shalih, karena pada dasarnya kedua hal tersebut yang sangat menentukan kepribadian seseorang, inilah hakikat kebaikan. Jadi bukanlah kebaikan yang dimaksud berada pada dataran aplikatif yang sering terjadi perbedaan dalam realitas kehidupan. Maka yang terbaik adalah menurut pandangan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, bukan pandangan orang perorang yang tidak terlepas dari subyektivitas dan kecenderungan perasaan. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam telah memastikan bahwa generasi terbaik itu adalah Salafus Shalih, dimana kebaikan mereka telah terbukti secara lahir maupun batin. Tidak seperti kaum munafik yang menampakkan keimanan namun hatinya menyembunyikan kekufuran.
Siapakah Salafus Shalih?
Salafus Shalih artinya para pendahulu yang shalih yakni dari kalangan Shahabat Nabi (murid-murid Nabi), Tabi’in (murid-murid Shahabat Nabi), dan Tabi’it Tabi’in (murid-murid Tabi’in). Ketiga generasi inilah yang telah Allah puji keimanan mereka secara lahir maupun batin. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan para pendahulu yang pertama kali (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin (para Shahabat yang hijrah ke Madinah) dan Anshar (para Shahabat yang menjadi penduduk asli kota Madinah) dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam beriman dan beramal dengan sebaik-baiknya. Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun juga telah ridha kepada Allah. Dan Allah telah menjanjikan bagi mereka itu taman-taman surga yang mengalir di bawah taman-taman itu sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”. (At Taubah: 100)
Demikian pula firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (10)
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka Muhajirin dan Anshar (yakni para Tabi’in), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Al-’Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa Allah telah menyifati orang-orang yang datang setelah para Shahabat itu (yakni para Tabi’in) dengan keimanan, sebagaimana perkataan mereka سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ (yang telah beriman lebih dahulu dari kami). Hal ini menunjukkan bahwa berkumpulnya mereka dalam satu keimanan. Dan para Tabi’in mengikuti jejak para Shahabat Nabi itu baik dalam perkara aqidah dan landasan-landasan mereka dalam beriman, dan mereka semua adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah…” (Taisirul Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, hal. 852)
Pujian keimanan atas tiga generasi tersebut juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, sebagaimana dalam sabda beliau:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada generasiku (Shahabat Nabi), kemudian generasi setelahnya (Tabi’in), dan kemudian generasi setelahnya (Tabi’it Tabi’in).” (HR. Al-Bukhari 2458)
Maka Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam telah memastikan secara ilmiah maupun amaliah atas keimanan para Shahabat Nabi tersebut, serta Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. Dimana keimanan mereka itu tidak hanya meliputi perkara lahir, akan tetapi Allah juga telah memberitakan bahwa batin mereka diliputi keimanan yang selamat dari kesyirikan, bid’ah, hasad ataupun orientasi “politik” sebagaimana tuduhan-tuduhan yang kerap dialamatkan.
Kepribadian mereka selalu dihiasi dengan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) atas diri-diri mereka sendiri dan saudara-saudara mereka. Meskipun pernah terjadi percekcokan dalam beberapa kesempatan, namun sesungguhnya mereka bersatu dalam keimanan dan landasan-landasan aqidah yang benar. Karena keimanan yang satu itulah menjadi sebab turunnya rahmat Allah dan kebaikan, sehingga mereka kembali kepada persatuan.
Madzhab Salaf dalam Pandangan Ulama
Al-Imam As-Safarini rahimahullah mengatakan: “Bahwa yang dimaksud madzhab Salaf adalah cara beragama para Shahabat Nabi yang mulia ridhwanullah ‘alaihim, dan cara beragama para Tabi’in, dan para Tabi’it Tabi’in serta para Imam Ahli Hadits yang diakui keilmuannya, dan dikenal berperan besar dalam agama. Selain itu, kaum Muslimin menerima perkataan mereka yang diwarisi dari generasi sebelumnya yang tidak tertuduh kebid’ahan, serta mereka tidak dikenal dengan gelaran (laqob) yang berpenyakit seperti Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah, Jabriyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan semisal mereka.” (Lawami’ul Anwar 1/20)
Bersambung, insya Allah.
Fikri Abul Hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar